Kisah Pasukan Tameng dan Klewang, Penumpas Antek-antek PKI di Bali
loading...
A
A
A
DENPASAR - Perayaan Tumpek Landep, hari ritual Hindu Bali untuk benda-benda pusaka, dilakoni Komang dengan membersihkan benda-benda warisan leluhurnya sejak pagi di sebuah desa di Kabupaten Jembrana.
Ia mengumpulkan benda itu dari prapen, tempat pembuatan senjata dan benda-benda dari besi, warisan keluarga besarnya yang terawat bersih dengan cat tembok sekelilingnya berwarna merah.
Jejeran senjata dan benda-benda bersejarah itu ia turunkan, dilap bersih menggunakan minyak kelapa. Setelah itu semua benda akan diupacarai di taman, sebuah pusat mata air yang disakralkan dekat rumahnya. Menginjak siang, Komang menyiapkan sesaji dan membawa benda-benda itu ke taman.
Ada yang tidak biasa pada perayaan tumpek landep kali ini. Komang hafal betul senjata dan benda-benda warisan leluhur yang harus diupacarainya.
Tapi kali ini, ia melihat sebuah benda baru yang terselip di antara kain kasa, kain putih untuk membungkus mayat saat upacara pengabenan. Benda itu terbungkus sobekan kain putih yang sudah lusuh, dengan warna kehitam-hitaman dari bercak darah yang sudah terawetkan oleh waktu.
Komang membuka balutan kain kasa itu dan ia melihat sebuah klewang, samurai panjang, terbungkus di dalam tempat kayu panjang dengan patra, ukiran-ukiran Bali, bercat hitam. Sungguh panjang klewang itu.
Komang penasaran. Tanpa ragu dia hunus klewang itu. Ia tercengang, darimana asal benda ini? Apakah ini peninggalan leluhurnya? Untuk apa klewang ini? Apa karena ia keturunan seorang empu, pembuat keris dan senjata-senjata, ia harus mewariskan sebuah klewang yang sungguh mengagumkan ini? Kalau ini memang warisan leluhur, kenapa tidak disungsung, disembah sebagai senjata yang disucikan?
Rasa penasaran dan segudang pertanyaan itu ia tumpahkan pada neneknya. Sang nenekpun terkejut saat Komang menunjukkan klewang tersebut. “Barang tenget, de ampah (barang sakral jangan sembarangan membawanya)," ujar sang nenek mengambil klewang secara tiba-tiba dari tangan Komang.
Selanjutnya, klewang itu kembali dibawa ke prapen, bahkan oleh nenek dihaturkan canang, sesaji, untuk memohon maaf.
Begitulah I Ngurah Suryawan mengawali esai panjangnya berjudul "Lorong Gelap Ingatan (Etnografi Kekerasan dan Kesaksian Tameng)". Esai itu juga menjadi bagian isi bukunya yang terkenal "Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965".
Nenek Komang oleh masyarakat sekitar akrab dipanggil Odah Mangku karena memang ia adalah seorang pemangku, pemimpin upacara-upacara ritual keagamaaan Hindu untuk melanjutkan suaminya yang telah meninggal tahun 1980-an.
Suaminya, Ketut Darta adalah tokoh masyarakat terpandang di desa, menjadi veteran pejuang, dan menjadi pemimpin PNI (Partai Nasionalis Indonesia) saat tahun 1960-an di desa.
Orang-orang desa setempat sering menyebutkan Zaman Gestok (Gerakan 1 Oktober 1965) itu sebagai Gumi Wug, Gumi Genting (bumi hancur, bumi gawat).
Saat seruan gerakan mengikis habis komunis sampai ke akar-akarnya dicanangkan akhir November 1965, rumah Darta menjadi markas barisan tameng dan massa Front Pancasila untuk “Pengganyangan Komunis”.
Ini tidak lepas dari posisi Darta sebagai tokoh PNI. Setiap hari rumahnya ramai dengan pasukan tameng, milisi sipil dari massa PNI dan pemburu PKI. Mereka berseragam serba hitam, berbaret merah bersenjata klewang.
Sore hari mereka berkumpul di rumah Darta dan bersiap untuk menghabiskan jatah (daftar bagian orang yang harus dicari) di desa tetangga. Sebelum eksekusi dilakukan, massa akan melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI.
Tengah malam mereka datang dan acara berlanjut dengan pesta lawar (makanan tradisi Bali dari daging babi) dan arak. Odah Mangku menyaksikan saat para tameng ini datang dengan berbaju hitam, klewang terhunus dengan tangan yang berlumuran darah.
Semua barisan massa ini dikoordinasi oleh Darta yang selalu sibuk menghadiri rapat-rapat tokoh PNI di berbagai desa. Setiap bepergian, ia selalu dikawal oleh seorang Tameng dan selalu membawa sebuah klewang yang dianggapnya sangat bertuah menyelamatkan nyawanya dalam berbagai perkelahian antar geng di desa.
Pengawal setia Darta adalah Pekak atau kakek Pegeg, yang tanpa sadar ditemui Komang di sebuah upacara keagamaan dan bercerita panjang lebar tentang riwayat Gestok padanya.
Komang kemudian tersadar bahwa klewang yang sering dibersihkannya saat Tumpek Landep itu adalah senjata kekeknya saat hari-hari penculikan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh terlibat PKI.
Di klewang itu nasib puluhan nyawa manusia berakhir. Pantas saja neneknya mengeramatkan klewang itu sepeninggal kepergian kakek Komang.
Kak Pegeg juga yang menuturkan pada Komang bagaimana cikal bakal pembunuhan orang-orang yang dituduh komunis di desanya. Kak Pegeg tahu betul karena ia sering mengikuti rapat-rapat massa PNI dan tentara untuk menculik dan membunuh orang-orang komunis.
Komang jadi terkejut karena tragedi 65 pembunuhan massal orang-orang yang dituduh komunis melibatkan keluarga besarnya, yaitu perselisihan antara saudara, yang melibatkan Ketut Darta, kakek Komang dan saudaranya Wayan Warda. Rumah mereka berdua saling berhadapan dan sama-sama menjadi tokoh partai di desa, juga sama-sama memasang papan sekretariat PNI dan PKI.
Men PKI menang kal guling nase (kalau PKI menang akan kita guling dia) adalah kata-kata Wayan Warda yang tidak dilupakan Kak Pegeg. Kata-kata itulah yang selalu keluar darinya saat berada di depan massa PKI. Ini untuk mengancam Ketut Darta dan pengikutnya dari PNI yang akan diperlakukan seperti babi, diguling.
Pengikut PKI saat itu lebih banyak jumlahnya dari PNI. Banyak warga yang ikut PKI karena dijanjikan akan mendapatkan tanah tegalan, ladang untuk bertani. PKI nanti yang membagikan tanah-tanah itu.
Janji itu tentu sangat menggugah masyarakat dan kemudian menjatuhkan pilihan mendukung setiap gerakan partai komunis nomor tiga terbesar di dunia saat tahun 1960an itu.
Kak Pegeg masih ingat, saat ada acara pelantikan dan ramai-ramai apel partai, Warda selalu memimpin massa untuk berkumpul dan berjalan bersama menuju tempat pertemuan partai.
Di desanya Warda adalah tokoh menonjol dan diketahui aktif dalam kegiatan-kegiatan PKI. Tidak bisa yang membantah bahwa di tahun 1960-an itu, massa Warda di desa sangat banyak.
Rintihan dan kesulitan rakyat dijawab dengan program dan pemihakan pada rakyat. Dan keyakinan untuk memenangkan persaingan melawan PNI dan partai lainnya dalam pemilihan umum adalah sebuah kewajaran.
Tapi angin kemudian berembus tanpa terduga. Di rumah warga desa yang memiliki radio-radio disesaki orang yang ingin mendengar ada sebuah berita tak terduga. Ada gerakan kudeta terhadap pemerintahan yang sah dengan membunuh jendral-jendral pada malam hari 30 September 1965 dan memasuki dini hari 1 Oktober 1965.
Oleh Soeharto kemudian gerakan kudeta itu dinyatakan dilakukan oleh PKI, dan kemudian menyebutkan peristiwa itu sebagai G30S/PKI. Kekuasaan diambil alih Soeharto dengan melakukan pembubaran PKI dan menetapkannya sebagai partai terlarang di Indonesia.
Setiap jengkal tanah di Tanah Air ini diperintahkan untuk mengganyang dan menumpas sampai ke akar-akarnya PKI dan para pengikutnya. Dan mulailah tahun-tahun kelam dalam sejarah di negeri ini, pembunuhan massal pada setiap manusia yang terkait atau dikait-kaitkan dengan PKI dan komunis.
Kak Pegeg memastikan, hampir lima lembar carik kertas yang ada di tangan Ketut Darta berisi daftar nama orang-orang yang kene garis, terkena garis PKI untuk mati dan tercatat pernah terlibat dalam acara PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya.
Daftar nama itu diperolehnya dari catatan absensi kegiatan-kegiatan PKI ditambah dengan laporan masing-masing desa. Dari PNI, lawan politik PKI, juga mencatat siapa saja orang-orang yang pernah tersangkut dalam kegiatan PKI.
Tapi Kak Pegeg yakin sebagian lagi dari orang-orang yang terbunuh dalam tahun 1965-1966 adalah korban dari pisuna, fitnah, sentimen dan masalah pribadi, tidak ada sangkut pautnya dengan PKI. Dari lima lembar carik kertas daftar nama itulah pedoman untuk melakukan penculikan dan pembunuhan.
Di sinilah posisi sulit dialami Ketut Darta. Di daftar itu tertera jelas nama kakaknya, Wayan Warda, yang jelas-jelas menjadi moncol, tokoh PKI di desa yang harus dibunuh.
Dari November 1965 hingga Februari 1966 adalah hari-hari mencekam di desa. Setiap hari hampir pasti ada rumah yang terbakar, orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya.
Ramai-ramai orang berkumpul di bale banjar, balai desa, dan hilir mudik truk pengangkut manusia yang berteriak, merintih, pasrah dan ketakutan yang amat sangat. Ratusan orang di desa, menurut cerita Kak Pegeg, mengungsi mencari perlindungan.
Rumah-rumah mereka terbakar dan telah rata menjadi tanah. Kakek, suami, saudara mereka entah hilang ke mana.
Kak Pegeg menjadi salah satu anggota dari barisan massa tameng PNI yang menyaksikan kejadian itu. Saat itu, barisan massa akan melakukan pengganyangan terhadap sebuah desa tetangga, yang hampir seluruh kramanya masuk PKI.
Ratusan massa berteriak, mengacungkan klewang dan membakar seluruh rumah di desa tersebut. Sebelumnya para perempuan dan anak-anak diamankan di bale banjar, sementara barang-barang yang masih bisa diselematkan dikumpulkan.
Massa Tameng beringas dan menculik para laki-laki di desa tersebut. Ada yang dibunuh langsung di desa tersebut dan diangkut truk untuk dibunuh di tempat lain. Setelah massa Tameng mengamuk, desa tersebut telah rata menjadi tanah.
Tanpa diduga, massa tameng bergerak ke arah desa Kak Pegeg dan Ketut Darta. Massa yang beringas memaksa untuk melakukan pembakaran dan penculikan terhadap orang-orang yang telah didaftar terkait dengan PKI. “Nyen jelma barak dini? Matiang!!!“ (Siapa orang merah (PKI) di sini? Bunuh!!!), teriak massa seperti ditirukan Kak Pegeg.
Ketut Darta dan Kak Pegeg yang ikut dalam rombongan itu pasang badan. Mereka melarang massa untuk membakar rumah dan menculik orang. Ketut Darta sebagai ketua PNI dan massa Tameng di desa itu memastikan ia sendiri dan anggotanya yang akan melakukan pembersihan terhadap komunis.
Massa menuruti pernyataan Ketut Darta dan kemudian bisa tenang karena kepercayaan padanya sebagai tokoh PNI di desa tersebut. Massa berlalu melewati desa Ketut Darta dengan tenang.
Hampir semua membawa klewang berceceran darah yang diseret di jalan-jalan. Kadang massa akan mengacungkan klewang tersebut dan berteriak, “Matiang PKI“ (Bunuh PKI)
Langkah apa yang dilakukan Ketut Darta untuk membersihkan orang-orang komunis di desa? Sementara salah satu yang sudah pasti kene garis mati adalah kakaknya sendiri dan puluhan teman-teman sepermainannya dulu? Situasi yang sulit.
Tapi Ketut Darta punya cara untuk melakukannya. Ini pasti menyakitkan karena kehilangan saudara satu desa, tapi ia tidak bisa mengelak karena posisinya sebagai ketua PNI dan barisan tameng yang diberikan kepercayaan untuk membunuh dan mengikis habis PKI sampai ke akar-akarnya.
Kak Pegeg menceritakan, Ketut Darta pernah berkeluh padanya, “Nguding gumi dadi panes kene?“ (Kenapa bumi, suasana menjadi panas seperti ini?). Ketut Darta sendiri tidak yakin apa yang sedang terjadi saat itu, ketika massa begitu beringas membakar dan membunuh orang-orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI.
Posisinya saat itu memang terhimpit. Alasan membunuh atau terbunuh adalah keputusan yang sangat menyakitkan baginya. Tapi, khusus untuk di desanya, ia tidak akan pernah mau menjadi penjagal dan menyaksikan pembunuhan saudara dan teman-temannya.
Karena itulah saat penculikan dan pembunuhan orang-orang yang tersangkut PKI di desanya, ia selama dua hari menghilang dari rumahnya. Entah ke mana.
Rumah Ketut Darta pada malam hari layaknya tempat pengungsian yang mencekam dan mendebarkan. Banyak masyarakat desa yang berlindung di rumahnya. Rumah mereka telah habis terbakar, dan bisa dipastikan suami, ayah, paman, atau saudara mereka telah hilang diculik oleh barisan tameng.
Bahkan banyak orang yang merasa pernah ikut dalam kegiatan PKI berlindung di rumah Ketut Darta. Rumah empat bilik beratapkan alang-alang itu penuh sesak dengan tangis anak-anak, kebingungan ibu-ibu menanyakan suaminya, kecemasan dan kebisuan menghadapi teror pembunuhan yang berada di sekitar mereka.
Selama Ketut Darta berada di rumahnya mendengar cerita ibu-ibu yang kehilangan anggota keluarganya, tidak terjadi keributan di sekitar rumah apalagi penculikan terhadap orang-orang tersangkut PKI yang bersembunyi di rumah tersebut.
Penuturan Kak Pegeg, banyak massa tameng di daerah lain yang bertanya pada Ketut Darta, kenapa si A tidak dibunuh? Ia akan menjawabnya dengan tenang. Yang “diambil“ itu anggota-anggota PKI yang aktif, yang tidak aktif dan ikut-ikutan kita selamatkan, toh mereka juga saudara kita.
Ketut Darta selain berpedoman pada daftar lima carik kertas, juga berhasil “memutihkan“ beberapa nama di daftar tersebut untuk ia selamatkan nyawanya, orang yang ikut-ikutan dan tidak terkenal menjadi tokoh partai di desa. Tapi ia tidak bisa mengelak saat kakaknya yang sudah dikenal menjadi tokoh PKI sudah dipastikan harus terbunuh, dan ia tidak bisa melawan keputusan itu.
Kak Pegeg bercerita, banyak tetua di desa yang sekarang masih hidup, saat zaman Gestok bersujud, nitipang angkian, menitipkan napas/nyawa pada Ketut Darta.
Dan baru beberapa jam sejak Ketut Darta dan Kak Pegeg meninggalkan rumah untuk berangkat rapat partai di desa lain, massa menyeruak masuk ke rumahnya menggeledah rumah dan mencari Wayan Warda yang telah diincar sejak lama.
Kak Pegeg memastikan massa tameng di desa itu segan masuk saat Ketut Darta ada di rumah, padahal massa mengetahui bahwa Wayan Warda bersembunyi di dalamnya.
Wayan Warda menyadari kondisinya terancam. Setelah adiknya pergi meninggalkan rumah, Warda menghilang pergi entah ke mana. Dipastikan oleh Kak Pegeg ia dibunuh di desa tetangga oleh massa Tameng yang telah lama mengincarnya.
Ia mengumpulkan benda itu dari prapen, tempat pembuatan senjata dan benda-benda dari besi, warisan keluarga besarnya yang terawat bersih dengan cat tembok sekelilingnya berwarna merah.
Jejeran senjata dan benda-benda bersejarah itu ia turunkan, dilap bersih menggunakan minyak kelapa. Setelah itu semua benda akan diupacarai di taman, sebuah pusat mata air yang disakralkan dekat rumahnya. Menginjak siang, Komang menyiapkan sesaji dan membawa benda-benda itu ke taman.
Baca Juga
Ada yang tidak biasa pada perayaan tumpek landep kali ini. Komang hafal betul senjata dan benda-benda warisan leluhur yang harus diupacarainya.
Tapi kali ini, ia melihat sebuah benda baru yang terselip di antara kain kasa, kain putih untuk membungkus mayat saat upacara pengabenan. Benda itu terbungkus sobekan kain putih yang sudah lusuh, dengan warna kehitam-hitaman dari bercak darah yang sudah terawetkan oleh waktu.
Komang membuka balutan kain kasa itu dan ia melihat sebuah klewang, samurai panjang, terbungkus di dalam tempat kayu panjang dengan patra, ukiran-ukiran Bali, bercat hitam. Sungguh panjang klewang itu.
Komang penasaran. Tanpa ragu dia hunus klewang itu. Ia tercengang, darimana asal benda ini? Apakah ini peninggalan leluhurnya? Untuk apa klewang ini? Apa karena ia keturunan seorang empu, pembuat keris dan senjata-senjata, ia harus mewariskan sebuah klewang yang sungguh mengagumkan ini? Kalau ini memang warisan leluhur, kenapa tidak disungsung, disembah sebagai senjata yang disucikan?
Rasa penasaran dan segudang pertanyaan itu ia tumpahkan pada neneknya. Sang nenekpun terkejut saat Komang menunjukkan klewang tersebut. “Barang tenget, de ampah (barang sakral jangan sembarangan membawanya)," ujar sang nenek mengambil klewang secara tiba-tiba dari tangan Komang.
Selanjutnya, klewang itu kembali dibawa ke prapen, bahkan oleh nenek dihaturkan canang, sesaji, untuk memohon maaf.
Begitulah I Ngurah Suryawan mengawali esai panjangnya berjudul "Lorong Gelap Ingatan (Etnografi Kekerasan dan Kesaksian Tameng)". Esai itu juga menjadi bagian isi bukunya yang terkenal "Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965".
Nenek Komang oleh masyarakat sekitar akrab dipanggil Odah Mangku karena memang ia adalah seorang pemangku, pemimpin upacara-upacara ritual keagamaaan Hindu untuk melanjutkan suaminya yang telah meninggal tahun 1980-an.
Suaminya, Ketut Darta adalah tokoh masyarakat terpandang di desa, menjadi veteran pejuang, dan menjadi pemimpin PNI (Partai Nasionalis Indonesia) saat tahun 1960-an di desa.
Orang-orang desa setempat sering menyebutkan Zaman Gestok (Gerakan 1 Oktober 1965) itu sebagai Gumi Wug, Gumi Genting (bumi hancur, bumi gawat).
Saat seruan gerakan mengikis habis komunis sampai ke akar-akarnya dicanangkan akhir November 1965, rumah Darta menjadi markas barisan tameng dan massa Front Pancasila untuk “Pengganyangan Komunis”.
Ini tidak lepas dari posisi Darta sebagai tokoh PNI. Setiap hari rumahnya ramai dengan pasukan tameng, milisi sipil dari massa PNI dan pemburu PKI. Mereka berseragam serba hitam, berbaret merah bersenjata klewang.
Sore hari mereka berkumpul di rumah Darta dan bersiap untuk menghabiskan jatah (daftar bagian orang yang harus dicari) di desa tetangga. Sebelum eksekusi dilakukan, massa akan melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI.
Tengah malam mereka datang dan acara berlanjut dengan pesta lawar (makanan tradisi Bali dari daging babi) dan arak. Odah Mangku menyaksikan saat para tameng ini datang dengan berbaju hitam, klewang terhunus dengan tangan yang berlumuran darah.
Semua barisan massa ini dikoordinasi oleh Darta yang selalu sibuk menghadiri rapat-rapat tokoh PNI di berbagai desa. Setiap bepergian, ia selalu dikawal oleh seorang Tameng dan selalu membawa sebuah klewang yang dianggapnya sangat bertuah menyelamatkan nyawanya dalam berbagai perkelahian antar geng di desa.
Pengawal setia Darta adalah Pekak atau kakek Pegeg, yang tanpa sadar ditemui Komang di sebuah upacara keagamaan dan bercerita panjang lebar tentang riwayat Gestok padanya.
Komang kemudian tersadar bahwa klewang yang sering dibersihkannya saat Tumpek Landep itu adalah senjata kekeknya saat hari-hari penculikan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh terlibat PKI.
Di klewang itu nasib puluhan nyawa manusia berakhir. Pantas saja neneknya mengeramatkan klewang itu sepeninggal kepergian kakek Komang.
Kak Pegeg juga yang menuturkan pada Komang bagaimana cikal bakal pembunuhan orang-orang yang dituduh komunis di desanya. Kak Pegeg tahu betul karena ia sering mengikuti rapat-rapat massa PNI dan tentara untuk menculik dan membunuh orang-orang komunis.
Komang jadi terkejut karena tragedi 65 pembunuhan massal orang-orang yang dituduh komunis melibatkan keluarga besarnya, yaitu perselisihan antara saudara, yang melibatkan Ketut Darta, kakek Komang dan saudaranya Wayan Warda. Rumah mereka berdua saling berhadapan dan sama-sama menjadi tokoh partai di desa, juga sama-sama memasang papan sekretariat PNI dan PKI.
Men PKI menang kal guling nase (kalau PKI menang akan kita guling dia) adalah kata-kata Wayan Warda yang tidak dilupakan Kak Pegeg. Kata-kata itulah yang selalu keluar darinya saat berada di depan massa PKI. Ini untuk mengancam Ketut Darta dan pengikutnya dari PNI yang akan diperlakukan seperti babi, diguling.
Pengikut PKI saat itu lebih banyak jumlahnya dari PNI. Banyak warga yang ikut PKI karena dijanjikan akan mendapatkan tanah tegalan, ladang untuk bertani. PKI nanti yang membagikan tanah-tanah itu.
Janji itu tentu sangat menggugah masyarakat dan kemudian menjatuhkan pilihan mendukung setiap gerakan partai komunis nomor tiga terbesar di dunia saat tahun 1960an itu.
Kak Pegeg masih ingat, saat ada acara pelantikan dan ramai-ramai apel partai, Warda selalu memimpin massa untuk berkumpul dan berjalan bersama menuju tempat pertemuan partai.
Di desanya Warda adalah tokoh menonjol dan diketahui aktif dalam kegiatan-kegiatan PKI. Tidak bisa yang membantah bahwa di tahun 1960-an itu, massa Warda di desa sangat banyak.
Rintihan dan kesulitan rakyat dijawab dengan program dan pemihakan pada rakyat. Dan keyakinan untuk memenangkan persaingan melawan PNI dan partai lainnya dalam pemilihan umum adalah sebuah kewajaran.
Tapi angin kemudian berembus tanpa terduga. Di rumah warga desa yang memiliki radio-radio disesaki orang yang ingin mendengar ada sebuah berita tak terduga. Ada gerakan kudeta terhadap pemerintahan yang sah dengan membunuh jendral-jendral pada malam hari 30 September 1965 dan memasuki dini hari 1 Oktober 1965.
Oleh Soeharto kemudian gerakan kudeta itu dinyatakan dilakukan oleh PKI, dan kemudian menyebutkan peristiwa itu sebagai G30S/PKI. Kekuasaan diambil alih Soeharto dengan melakukan pembubaran PKI dan menetapkannya sebagai partai terlarang di Indonesia.
Setiap jengkal tanah di Tanah Air ini diperintahkan untuk mengganyang dan menumpas sampai ke akar-akarnya PKI dan para pengikutnya. Dan mulailah tahun-tahun kelam dalam sejarah di negeri ini, pembunuhan massal pada setiap manusia yang terkait atau dikait-kaitkan dengan PKI dan komunis.
Kak Pegeg memastikan, hampir lima lembar carik kertas yang ada di tangan Ketut Darta berisi daftar nama orang-orang yang kene garis, terkena garis PKI untuk mati dan tercatat pernah terlibat dalam acara PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya.
Daftar nama itu diperolehnya dari catatan absensi kegiatan-kegiatan PKI ditambah dengan laporan masing-masing desa. Dari PNI, lawan politik PKI, juga mencatat siapa saja orang-orang yang pernah tersangkut dalam kegiatan PKI.
Tapi Kak Pegeg yakin sebagian lagi dari orang-orang yang terbunuh dalam tahun 1965-1966 adalah korban dari pisuna, fitnah, sentimen dan masalah pribadi, tidak ada sangkut pautnya dengan PKI. Dari lima lembar carik kertas daftar nama itulah pedoman untuk melakukan penculikan dan pembunuhan.
Di sinilah posisi sulit dialami Ketut Darta. Di daftar itu tertera jelas nama kakaknya, Wayan Warda, yang jelas-jelas menjadi moncol, tokoh PKI di desa yang harus dibunuh.
Dari November 1965 hingga Februari 1966 adalah hari-hari mencekam di desa. Setiap hari hampir pasti ada rumah yang terbakar, orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya.
Ramai-ramai orang berkumpul di bale banjar, balai desa, dan hilir mudik truk pengangkut manusia yang berteriak, merintih, pasrah dan ketakutan yang amat sangat. Ratusan orang di desa, menurut cerita Kak Pegeg, mengungsi mencari perlindungan.
Rumah-rumah mereka terbakar dan telah rata menjadi tanah. Kakek, suami, saudara mereka entah hilang ke mana.
Kak Pegeg menjadi salah satu anggota dari barisan massa tameng PNI yang menyaksikan kejadian itu. Saat itu, barisan massa akan melakukan pengganyangan terhadap sebuah desa tetangga, yang hampir seluruh kramanya masuk PKI.
Ratusan massa berteriak, mengacungkan klewang dan membakar seluruh rumah di desa tersebut. Sebelumnya para perempuan dan anak-anak diamankan di bale banjar, sementara barang-barang yang masih bisa diselematkan dikumpulkan.
Massa Tameng beringas dan menculik para laki-laki di desa tersebut. Ada yang dibunuh langsung di desa tersebut dan diangkut truk untuk dibunuh di tempat lain. Setelah massa Tameng mengamuk, desa tersebut telah rata menjadi tanah.
Tanpa diduga, massa tameng bergerak ke arah desa Kak Pegeg dan Ketut Darta. Massa yang beringas memaksa untuk melakukan pembakaran dan penculikan terhadap orang-orang yang telah didaftar terkait dengan PKI. “Nyen jelma barak dini? Matiang!!!“ (Siapa orang merah (PKI) di sini? Bunuh!!!), teriak massa seperti ditirukan Kak Pegeg.
Ketut Darta dan Kak Pegeg yang ikut dalam rombongan itu pasang badan. Mereka melarang massa untuk membakar rumah dan menculik orang. Ketut Darta sebagai ketua PNI dan massa Tameng di desa itu memastikan ia sendiri dan anggotanya yang akan melakukan pembersihan terhadap komunis.
Massa menuruti pernyataan Ketut Darta dan kemudian bisa tenang karena kepercayaan padanya sebagai tokoh PNI di desa tersebut. Massa berlalu melewati desa Ketut Darta dengan tenang.
Hampir semua membawa klewang berceceran darah yang diseret di jalan-jalan. Kadang massa akan mengacungkan klewang tersebut dan berteriak, “Matiang PKI“ (Bunuh PKI)
Langkah apa yang dilakukan Ketut Darta untuk membersihkan orang-orang komunis di desa? Sementara salah satu yang sudah pasti kene garis mati adalah kakaknya sendiri dan puluhan teman-teman sepermainannya dulu? Situasi yang sulit.
Tapi Ketut Darta punya cara untuk melakukannya. Ini pasti menyakitkan karena kehilangan saudara satu desa, tapi ia tidak bisa mengelak karena posisinya sebagai ketua PNI dan barisan tameng yang diberikan kepercayaan untuk membunuh dan mengikis habis PKI sampai ke akar-akarnya.
Kak Pegeg menceritakan, Ketut Darta pernah berkeluh padanya, “Nguding gumi dadi panes kene?“ (Kenapa bumi, suasana menjadi panas seperti ini?). Ketut Darta sendiri tidak yakin apa yang sedang terjadi saat itu, ketika massa begitu beringas membakar dan membunuh orang-orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI.
Posisinya saat itu memang terhimpit. Alasan membunuh atau terbunuh adalah keputusan yang sangat menyakitkan baginya. Tapi, khusus untuk di desanya, ia tidak akan pernah mau menjadi penjagal dan menyaksikan pembunuhan saudara dan teman-temannya.
Karena itulah saat penculikan dan pembunuhan orang-orang yang tersangkut PKI di desanya, ia selama dua hari menghilang dari rumahnya. Entah ke mana.
Rumah Ketut Darta pada malam hari layaknya tempat pengungsian yang mencekam dan mendebarkan. Banyak masyarakat desa yang berlindung di rumahnya. Rumah mereka telah habis terbakar, dan bisa dipastikan suami, ayah, paman, atau saudara mereka telah hilang diculik oleh barisan tameng.
Bahkan banyak orang yang merasa pernah ikut dalam kegiatan PKI berlindung di rumah Ketut Darta. Rumah empat bilik beratapkan alang-alang itu penuh sesak dengan tangis anak-anak, kebingungan ibu-ibu menanyakan suaminya, kecemasan dan kebisuan menghadapi teror pembunuhan yang berada di sekitar mereka.
Selama Ketut Darta berada di rumahnya mendengar cerita ibu-ibu yang kehilangan anggota keluarganya, tidak terjadi keributan di sekitar rumah apalagi penculikan terhadap orang-orang tersangkut PKI yang bersembunyi di rumah tersebut.
Penuturan Kak Pegeg, banyak massa tameng di daerah lain yang bertanya pada Ketut Darta, kenapa si A tidak dibunuh? Ia akan menjawabnya dengan tenang. Yang “diambil“ itu anggota-anggota PKI yang aktif, yang tidak aktif dan ikut-ikutan kita selamatkan, toh mereka juga saudara kita.
Ketut Darta selain berpedoman pada daftar lima carik kertas, juga berhasil “memutihkan“ beberapa nama di daftar tersebut untuk ia selamatkan nyawanya, orang yang ikut-ikutan dan tidak terkenal menjadi tokoh partai di desa. Tapi ia tidak bisa mengelak saat kakaknya yang sudah dikenal menjadi tokoh PKI sudah dipastikan harus terbunuh, dan ia tidak bisa melawan keputusan itu.
Kak Pegeg bercerita, banyak tetua di desa yang sekarang masih hidup, saat zaman Gestok bersujud, nitipang angkian, menitipkan napas/nyawa pada Ketut Darta.
Dan baru beberapa jam sejak Ketut Darta dan Kak Pegeg meninggalkan rumah untuk berangkat rapat partai di desa lain, massa menyeruak masuk ke rumahnya menggeledah rumah dan mencari Wayan Warda yang telah diincar sejak lama.
Kak Pegeg memastikan massa tameng di desa itu segan masuk saat Ketut Darta ada di rumah, padahal massa mengetahui bahwa Wayan Warda bersembunyi di dalamnya.
Wayan Warda menyadari kondisinya terancam. Setelah adiknya pergi meninggalkan rumah, Warda menghilang pergi entah ke mana. Dipastikan oleh Kak Pegeg ia dibunuh di desa tetangga oleh massa Tameng yang telah lama mengincarnya.
(shf)