Cabin Fever dan Risiko di Tengah Pandemi, Apa Itu?
Kamis, 28 Mei 2020 - 12:31 WIB
SURABAYA - Pandemi Corona (COVID-19) serta kebijakan PSBB dari pemerintah, membuat setiap orang membatasi kegiatan di luar ruangan. Untuk mencegah penyebaran virus, semua warga disarankan berada di dalam rumah.
Efek domino yang terjadi, masyarakat juga turut dihadapkan pada ancaman kesehatan psikologis akibat isolasi diri, yang sering disebut dengan cabin fever.
Cabin fever atau demam kabin secara sederhana dijelaskan sebagai rasa kegelisahan, akibat terjebak atau terisolasi dalam suatu tempat untuk waktu yang lama.
Psikiater dan Spesialis Kedokteran Jiwa Unair dr Hafid Algristian, Sp.KJ. menuturkan, cabin fever menjadi fenomena yang berpotensi besar muncul di masa-masa pandemi ini.
“Tidak semua orang mengetahui gejala ini. Tapi saat warga telah belajar, mungkin beberapa dari kita akan menyadari terdapat gejala cabin fever dalam diri kita.” kata dr. Hafid, Kamis (28/5/2020).
Ia melanjutkan, cabin fever sendiri bukan diagnosis maupun sindrom, penyembuhannya dapat dilakukan melalui manajemen stres. Makanya gejala cabin fever tidak perlu diberikan medikamentosa atau obat-obatan.
"Gejalanya secara umum muncul ketika individu mengalami deprivasi sensorik yang terjadi saat seorang individu secara tiba-tiba harus membatasi sosialisasinya," ungkapnya.
Hal tersebut membuat individu mendapat sensor cahaya dan suara yang terbatas sehingga kerap kali menimbulkan halusinasi. “Kita mungkin pernah saat sendirian tiba-tiba teringat memori masa lalu, hingga seakan memori itu berbicara pada kita," jelasnya.
Sebenarnya, katanya, itu bukan hal serius. Tapi kemudian dapat dikategorikan sindroma apabila seseorang menikmatinya. "Lalu memori menjadi personifikasi dari karakter yang kita ciptakan sendiri.” sambungnya.
Efek domino yang terjadi, masyarakat juga turut dihadapkan pada ancaman kesehatan psikologis akibat isolasi diri, yang sering disebut dengan cabin fever.
Cabin fever atau demam kabin secara sederhana dijelaskan sebagai rasa kegelisahan, akibat terjebak atau terisolasi dalam suatu tempat untuk waktu yang lama.
Psikiater dan Spesialis Kedokteran Jiwa Unair dr Hafid Algristian, Sp.KJ. menuturkan, cabin fever menjadi fenomena yang berpotensi besar muncul di masa-masa pandemi ini.
“Tidak semua orang mengetahui gejala ini. Tapi saat warga telah belajar, mungkin beberapa dari kita akan menyadari terdapat gejala cabin fever dalam diri kita.” kata dr. Hafid, Kamis (28/5/2020).
Ia melanjutkan, cabin fever sendiri bukan diagnosis maupun sindrom, penyembuhannya dapat dilakukan melalui manajemen stres. Makanya gejala cabin fever tidak perlu diberikan medikamentosa atau obat-obatan.
"Gejalanya secara umum muncul ketika individu mengalami deprivasi sensorik yang terjadi saat seorang individu secara tiba-tiba harus membatasi sosialisasinya," ungkapnya.
Hal tersebut membuat individu mendapat sensor cahaya dan suara yang terbatas sehingga kerap kali menimbulkan halusinasi. “Kita mungkin pernah saat sendirian tiba-tiba teringat memori masa lalu, hingga seakan memori itu berbicara pada kita," jelasnya.
Sebenarnya, katanya, itu bukan hal serius. Tapi kemudian dapat dikategorikan sindroma apabila seseorang menikmatinya. "Lalu memori menjadi personifikasi dari karakter yang kita ciptakan sendiri.” sambungnya.
tulis komentar anda