Fondasi Nasionalisme Bung Karno Dibangun dalam Ritual Meditasi Buku
Sabtu, 03 Juli 2021 - 05:01 WIB
M Purwadi
Meditasi melalui buku itu pun mempertemukannya dengan George Washington. Serta berjalan-jalan bersama Paul Revere, dan sesekali mencari-cari kesalahan Abraham Lincoln untuk menyempurnakan nasionalismenya pada Tanah Air.
Pemikiranya semakin terbuka ketika meditasi dengan buku membawanya bertemu dengan Glad Stone serta Beatrice Webb yang mendirikan gerakan buruh di Inggris. “Aku pun berhadapan dengan Mazzini, Cavour dan Garibaldi dari Italia. Berhadapan dengan Karl Marx, Friederich Engels dan Lenin dari Rusia serta mengobrol dengan Jean Jacques Rousseau. Aku meneguk semua cerita itu, kualami kehidupan mereka,” jelas Bung Karno seperti yang ditulis Cindy Adams.
Bung Karno sendiri datang ke Surabaya di usia 15 tahun dan tinggal di rumah kos Tjokroaminoto. Ia merupakan indung semang yang dikenal dengan pidato yang menyentuh hati untuk menggerakan massa. Peracik siasat yang jitu, serta bapak pergerakan nasional yang ulung.
Tiap malam di rumah Peneleh gang VII itu selalu datang para tokoh pergerakan nasional untuk bertemu dengan Tjokroaminoto. Bung Karno kecil tak mau melewatkan momen tersebut untuk menambah kemampuannya dalam mengenal dunia pergerakan.
Dalam larut malam yang begitu dingin, Bung Karno masih tetap memasang mata, tanpa melewatkan sedikitpun percakapan. “Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?” cletuk Bung Karno kecil.
“Anak ini sangat ingin tahu,” kata Tjokroaminoto. Kemudian menambahkan,” De Vereenigde Oost Indische Compagnie atau mencuri kira-kira 1.800 juta gulden dari tanah kita setiap tahunnya untuk memberi makan Den Haag.”
Racikan nasionalisme di dapur Surabaya benar-benar membentuk pemikiran Bung Karno. Dengan tegas Bung Karno menyebut pengaruh berbagai tokoh dalam membangun semangat kemerdekaan dalam dirinya.
Pada kamar yang sempit itu, Soekarno membentuk dirinya menjadi singa podium. Sebuah cermin di kamar kos yang gelap tanpa lampu penerangan melatih Putra Sang Fajar untuk mengerakan ribuan massa melawan penjajah. Di depan cermin yang menempel di kamar kos Sukarno, tepatnya di bagian paling belakang rumah Tjokroaminoto telah menjadikan suara-suara perlawanan yang sampai kini masih terdengar nyaring di telinga bangsa Indonesia.
Meditasi melalui buku itu pun mempertemukannya dengan George Washington. Serta berjalan-jalan bersama Paul Revere, dan sesekali mencari-cari kesalahan Abraham Lincoln untuk menyempurnakan nasionalismenya pada Tanah Air.
Pemikiranya semakin terbuka ketika meditasi dengan buku membawanya bertemu dengan Glad Stone serta Beatrice Webb yang mendirikan gerakan buruh di Inggris. “Aku pun berhadapan dengan Mazzini, Cavour dan Garibaldi dari Italia. Berhadapan dengan Karl Marx, Friederich Engels dan Lenin dari Rusia serta mengobrol dengan Jean Jacques Rousseau. Aku meneguk semua cerita itu, kualami kehidupan mereka,” jelas Bung Karno seperti yang ditulis Cindy Adams.
Bung Karno sendiri datang ke Surabaya di usia 15 tahun dan tinggal di rumah kos Tjokroaminoto. Ia merupakan indung semang yang dikenal dengan pidato yang menyentuh hati untuk menggerakan massa. Peracik siasat yang jitu, serta bapak pergerakan nasional yang ulung.
Tiap malam di rumah Peneleh gang VII itu selalu datang para tokoh pergerakan nasional untuk bertemu dengan Tjokroaminoto. Bung Karno kecil tak mau melewatkan momen tersebut untuk menambah kemampuannya dalam mengenal dunia pergerakan.
Dalam larut malam yang begitu dingin, Bung Karno masih tetap memasang mata, tanpa melewatkan sedikitpun percakapan. “Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?” cletuk Bung Karno kecil.
“Anak ini sangat ingin tahu,” kata Tjokroaminoto. Kemudian menambahkan,” De Vereenigde Oost Indische Compagnie atau mencuri kira-kira 1.800 juta gulden dari tanah kita setiap tahunnya untuk memberi makan Den Haag.”
Racikan nasionalisme di dapur Surabaya benar-benar membentuk pemikiran Bung Karno. Dengan tegas Bung Karno menyebut pengaruh berbagai tokoh dalam membangun semangat kemerdekaan dalam dirinya.
Pada kamar yang sempit itu, Soekarno membentuk dirinya menjadi singa podium. Sebuah cermin di kamar kos yang gelap tanpa lampu penerangan melatih Putra Sang Fajar untuk mengerakan ribuan massa melawan penjajah. Di depan cermin yang menempel di kamar kos Sukarno, tepatnya di bagian paling belakang rumah Tjokroaminoto telah menjadikan suara-suara perlawanan yang sampai kini masih terdengar nyaring di telinga bangsa Indonesia.
tulis komentar anda