Fondasi Nasionalisme Bung Karno Dibangun dalam Ritual Meditasi Buku

Sabtu, 03 Juli 2021 - 05:01 WIB
loading...
Fondasi Nasionalisme Bung Karno Dibangun dalam Ritual Meditasi Buku
Fondasi nasionalisme Presiden Pertama RI Soekarno dibangun dalam pergulatan panjang. Di tengah keterbatasan, pundi-pundi kecintaan pada Tanah Air terbangun ketika Bung Karno kesepian di masa mudanya. Foto SINDOnews
A A A
SURABAYA - Fondasi nasionalisme Presiden Pertama RI Soekarno dibangun dalam pergulatan panjang. Di tengah keterbatasan, pundi-pundi kecintaan pada Tanah Air terbangun ketika Bung Karno kesepian di masa mudanya dan menempa semua keraguan itu di dapur nasionalime yang ada di Surabaya.

Malam-malam yang dilalui Bung Karno ketika menempuh sekolah dan tinggal di rumah milik HOS Tjokroaminoto berlalu dengan rangkaian kecemasan dan kesepian yang berkumpul dalam satu lipatan waktu. Kegelisahan anak muda yang penuh dengan pertanyaan dan daya cipta yang terbangun di tengah keterbatasan. Baca Juga: Soekarno, Golongan Kiri, dan Pengkhianatan Pancasila

Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia menuliskan, Bung Karno bercerita tentang masa kecilnya di Peneleh, Surabaya. Malam-malam yang kesepian terkadang membuatnya menangis dan ingin bersandar pada sosok ayah.

Tjokroaminoto yang menjadi bapak kos merupakan panutan. Dan Bung Karno ingin bersandar di bahunya, hanya untuk sekedar membunuh rasa kesepian. Namun, Tjokroaminoto adalah pemimpin besar yang memiliki karakter kuat.

“Pak Cokro mencintaiku dengan caranya sendiri. Hanya caranya itu tidak cukup bagi seorang anak yang kesepian. Ia jarang berbicara, kalau ia ada di rumah selalu ada tamu atau ia bersamadi dalam kesunyian,” kata Bung Karno dalam bukunya.

Tjokroaminoto selalu memiliki cara untuk mendidik anak muda. Bung Karno pun selalu ikut nimbrung ketika ada tokoh yang datang ke Peneleh. Di kaki Tjokroaminoto, ia selalu mendapatkan banyak cerita. “Aku duduk di dekat kakinya, dan diberikan kepadaku buku-bukunya. Diberikannya padaku miliknya yang berharga,” kata Bung Karno.

Selama di Peneleh, buku-buku menjadi teman setia Bung Karno. Dengan dikelilingi kesadarannya, ia memperoleh konpensasi untuk mengimbangi diskriminasi dan keterputuasaan di luar. Ia benar-benar menikmati kesenangan dan kegembiraan dalam buku.

Seluruh waktunya dipakai untuk membaca. Ketika teman sebayanya bermain, Bung Karno berselancar di perpustakaan perkumpulan Theosofi. Ia pun menyelami dunia kebathinan dan bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiran Bung Karno dalam menata nasionalisme.

Bung Karno menegaskan kalau dirinya secara mental sering berbicara dengan Thomas Jefferson. Merasakan kedekatan dan bersahabat dengannya serta selalu berbicara tentang Declaration of Independence yang ditulis pada 1776.
M Purwadi

Meditasi melalui buku itu pun mempertemukannya dengan George Washington. Serta berjalan-jalan bersama Paul Revere, dan sesekali mencari-cari kesalahan Abraham Lincoln untuk menyempurnakan nasionalismenya pada Tanah Air.

Fondasi Nasionalisme Bung Karno Dibangun dalam Ritual Meditasi Buku


Pemikiranya semakin terbuka ketika meditasi dengan buku membawanya bertemu dengan Glad Stone serta Beatrice Webb yang mendirikan gerakan buruh di Inggris. “Aku pun berhadapan dengan Mazzini, Cavour dan Garibaldi dari Italia. Berhadapan dengan Karl Marx, Friederich Engels dan Lenin dari Rusia serta mengobrol dengan Jean Jacques Rousseau. Aku meneguk semua cerita itu, kualami kehidupan mereka,” jelas Bung Karno seperti yang ditulis Cindy Adams.

Bung Karno sendiri datang ke Surabaya di usia 15 tahun dan tinggal di rumah kos Tjokroaminoto. Ia merupakan indung semang yang dikenal dengan pidato yang menyentuh hati untuk menggerakan massa. Peracik siasat yang jitu, serta bapak pergerakan nasional yang ulung.

Tiap malam di rumah Peneleh gang VII itu selalu datang para tokoh pergerakan nasional untuk bertemu dengan Tjokroaminoto. Bung Karno kecil tak mau melewatkan momen tersebut untuk menambah kemampuannya dalam mengenal dunia pergerakan.

Dalam larut malam yang begitu dingin, Bung Karno masih tetap memasang mata, tanpa melewatkan sedikitpun percakapan. “Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?” cletuk Bung Karno kecil.

“Anak ini sangat ingin tahu,” kata Tjokroaminoto. Kemudian menambahkan,” De Vereenigde Oost Indische Compagnie atau mencuri kira-kira 1.800 juta gulden dari tanah kita setiap tahunnya untuk memberi makan Den Haag.”

Racikan nasionalisme di dapur Surabaya benar-benar membentuk pemikiran Bung Karno. Dengan tegas Bung Karno menyebut pengaruh berbagai tokoh dalam membangun semangat kemerdekaan dalam dirinya.

Pada kamar yang sempit itu, Soekarno membentuk dirinya menjadi singa podium. Sebuah cermin di kamar kos yang gelap tanpa lampu penerangan melatih Putra Sang Fajar untuk mengerakan ribuan massa melawan penjajah. Di depan cermin yang menempel di kamar kos Sukarno, tepatnya di bagian paling belakang rumah Tjokroaminoto telah menjadikan suara-suara perlawanan yang sampai kini masih terdengar nyaring di telinga bangsa Indonesia.

Alimin dan Muso juga satu rumah kos dengan Bung Karno. Mereka merasakan betul gesekan intelektual dan gagasan gila kemerdekaan di gang Peneleh. Di kamar mereka, tumpukan buku-buku juga memenuhi sudut ruangan. Kamar itu seketika menjadi dapur Marxis dan Hegelian. Keduanya pun memperkenalkan konsep pemikiran kiri dari buku-buku yang dibaca di kamar-kamar Peneleh. Soekarno sendiri dalam ceritanya sempat mengaku kalau dirinya dikenalkan pemikiran kiri oleh teman kosnya, Alimin.

Meditasi buku mengantarkan Bung Karno menjadi pemimpin besar di dunia. Pengetahuannya tentang sejarah, siasat dan racikan strategi menjadikannya sebagai bapak bangsa dan mampu meletakan pondasi nasionalisme di Indonesia. Dan dapur dalam meracik nasinalisme itu di sebuah gang kecil Peneleh.
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2923 seconds (0.1#10.140)