Tak Netral di Pilwali Surabaya 2020, Risma Diadukan ke Bawaslu
Selasa, 06 Oktober 2020 - 11:48 WIB
SURABAYA - Tiga dari empat laporan dugaan pelanggaran Pilwali Surabaya 2020 yang diterima Bawaslu, menyoal keterlibatan Tri Rismaharini sebagai kepala daerah. Pasalnya, sejumlah baliho calon wali kota paslon nomor urut 2 memasang foto dirinya.
(Baca juga: Uang Berhamburan di Mobil Timses, Ini yang Dilakukan Bawaslu)
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) oleh tim advokasi pasangan calon (paslon) wali kota dan wakil wali kota Surabaya nomor urut 2, Machfud Arifin-Mujiaman Sukirno (MAJU).
(Baca juga: Khofifah Klaim Penyebaran COVID-19 di Jawa Timur Terkendali)
Tim advokasi Machfud-Mujiaman, Purwanto menjelaskan, bahwa laporan dibuat karena Risma diduga sudah bersikap tidak netral dalam Pilkada Surabaya 2020.
"Kami dari tim advokasi pasangan nomor urut 2 dan tim kampanye mengadukan pelanggaran norma yang dilakukan oleh Bu Risma selaku pejabat publik," tutur Purwanto pada Kamis (1/10/2020).
Purwanto menjelaskan, penilaian itu merujuk pada foto Risma yang terpampang di baliho kampanye paslon nomor urut 1 Eri Cahyadi-Armuji. Keterlibatan Risma yang saat ini masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya itu, dinilai tidak elok dan merupakan contoh buruk demokrasi.
"Jelas itu tidak sejalan dengan kehidupan demokrasi Indonesia, itu yang kita laporkan ke Bawaslu," jelas Purwanto.
Lebih lanjut tim Machfud- Mujiaman menilai, Risma selaku pejabat publik seharusnya bersikap independen dan tidak memihak. Purwanto mengatakan, sikap Risma tersebut bisa berpotensi memicu ketidaknetralan para aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Ketidaknetralan ASN tidak hanya berpengaruh pada optimalisasi tugas pelayanan publik, tetapi juga dapat menimbulkan berbagai konsekuensi negatif. Konsekuensi tersebut antara lain, polarisasi ASN ke dalam kutub-kutub kepentingan politik praktis, yang dapat memicu timbulnya benturan dan konflik kepentingan antar ASN, yang pada akhirnya menyebabkan terganggunya pelayanan publik.
"Keberpihakan dan keterlibatan ASN pada kegiatan politik praktis juga sangat berpotensi melahirkan praktik koruptif, di mana ASN memanfaatkan fasilitas negara untuk memberikan dukungan politik,” pungkas Purwanto.
(Baca juga: Uang Berhamburan di Mobil Timses, Ini yang Dilakukan Bawaslu)
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) oleh tim advokasi pasangan calon (paslon) wali kota dan wakil wali kota Surabaya nomor urut 2, Machfud Arifin-Mujiaman Sukirno (MAJU).
(Baca juga: Khofifah Klaim Penyebaran COVID-19 di Jawa Timur Terkendali)
Tim advokasi Machfud-Mujiaman, Purwanto menjelaskan, bahwa laporan dibuat karena Risma diduga sudah bersikap tidak netral dalam Pilkada Surabaya 2020.
"Kami dari tim advokasi pasangan nomor urut 2 dan tim kampanye mengadukan pelanggaran norma yang dilakukan oleh Bu Risma selaku pejabat publik," tutur Purwanto pada Kamis (1/10/2020).
Purwanto menjelaskan, penilaian itu merujuk pada foto Risma yang terpampang di baliho kampanye paslon nomor urut 1 Eri Cahyadi-Armuji. Keterlibatan Risma yang saat ini masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya itu, dinilai tidak elok dan merupakan contoh buruk demokrasi.
"Jelas itu tidak sejalan dengan kehidupan demokrasi Indonesia, itu yang kita laporkan ke Bawaslu," jelas Purwanto.
Lebih lanjut tim Machfud- Mujiaman menilai, Risma selaku pejabat publik seharusnya bersikap independen dan tidak memihak. Purwanto mengatakan, sikap Risma tersebut bisa berpotensi memicu ketidaknetralan para aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Ketidaknetralan ASN tidak hanya berpengaruh pada optimalisasi tugas pelayanan publik, tetapi juga dapat menimbulkan berbagai konsekuensi negatif. Konsekuensi tersebut antara lain, polarisasi ASN ke dalam kutub-kutub kepentingan politik praktis, yang dapat memicu timbulnya benturan dan konflik kepentingan antar ASN, yang pada akhirnya menyebabkan terganggunya pelayanan publik.
"Keberpihakan dan keterlibatan ASN pada kegiatan politik praktis juga sangat berpotensi melahirkan praktik koruptif, di mana ASN memanfaatkan fasilitas negara untuk memberikan dukungan politik,” pungkas Purwanto.
(zil)
tulis komentar anda