KIPP Kecam Ketidaknetralan Risma di Pilwali Surabaya
Minggu, 27 September 2020 - 11:53 WIB
SURABAYA - Memasuki masa kampanye Pilwali Surabaya 2020 yang berlangsung mulai tanggal 26 September sampai 5 Desember muncul banyak sorotan. Terutama adanya gambar Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam baliho Eri Cahyadi yang terpasang di berbagai sudut jalan protokol.
Pengamat politik Eko Ernada menilai, seharusnya pejabat negara aktif bersikap arif, tegas, dan tidak boleh memihak. "Ini pendidikan politik kepada masyarakat," ujarnya. (Baca: Kolaborasi Eri-Armuji Gaet Suara Milenial dan Pendukung Risma di Pilkada Surabaya )
Menurutnya, munculnya baliho Eri Cahyadi- Armuji yang memasang foto Risma bisa memberikan ruang kepada pelanggaran peraturan dan perundangan yang berlaku. Selain itu, pejabat negara aktif yang dikenal sangat dekat dengan paslon akan memunculkan opini tidak sehat.
Dimana hal itu bisa menguntungkan salah satu paslon dan merugikan paslon yang lain. "Maka sudah semestinya pejabat politik setingkat kepala daerah harus memberi contoh dan menjadi panutan yang baik, terlebih sudah 10 tahun memimpin Surabaya," ucapnya.
Eko menegaskan, jika memang ada kadernya yang dicalonkan, maka harus dilakukan secara fair dan objektif. Sehingga tidak memberi kesan memanfaatkan posisi dan jabatannya untuk intervensi politik yang bisa menciderai azas pilkada, jujur dan adil (jurdil). "Sebagai calon (Eri) tentunya harus menunjukkan eksistensi secara benar dan siap bersaing dengan baik," ujarnya.
Sebagai calon, katanya, Eri-Armuji harus memegang teguh pakta integritas yang dilakukan dan dibacakan saat mendaftar. Apalagi KPU dan Bawaslu Surabaya dengan dua paslon sudah melakukan deklarasi Pilwali damai. "Calon harus bersaing dengan baik sebagaimana pakta integritas. Itu sebagai komitmen moral dan patuh terhadap peraturan yang berlaku," jelasnya.
Pilwali Surabaya, menurutnya, memiliki dinamika yang sangat tinggi dan persaingan ketat. Maka perlu dilakukan dengan sehat dan masyarakat ikut mengawal perjalanan demokrasi ini sehingga menghasilkan pemimpin yang memiliki integritas.
Sementara itu Ketua KIPP Jatim Novli Bernado Thyssen mengecam ketidaknetralan Risma dalam Pilwali Surabaya. Sikap Risma yang tidak netral melanggar undang-undang 1 nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota. "Posisi Risma sebagai wali kota Surabaya harus netral dan tidak berpihak kepada salah satu paslon," ujarnya.
Novli menegaskan, pasal 71 uu 10/2016 disebutkan secara eksplisit bahwa gubernur dan wakilnya, bupati dan wakilnya, wali kota dan wakilnya dilarang menggunakan program dan kegiatan yang menguntungkan salah satu calon terhitung sejak 6 bulan sebelum penetapan calon.
Pengamat politik Eko Ernada menilai, seharusnya pejabat negara aktif bersikap arif, tegas, dan tidak boleh memihak. "Ini pendidikan politik kepada masyarakat," ujarnya. (Baca: Kolaborasi Eri-Armuji Gaet Suara Milenial dan Pendukung Risma di Pilkada Surabaya )
Menurutnya, munculnya baliho Eri Cahyadi- Armuji yang memasang foto Risma bisa memberikan ruang kepada pelanggaran peraturan dan perundangan yang berlaku. Selain itu, pejabat negara aktif yang dikenal sangat dekat dengan paslon akan memunculkan opini tidak sehat.
Dimana hal itu bisa menguntungkan salah satu paslon dan merugikan paslon yang lain. "Maka sudah semestinya pejabat politik setingkat kepala daerah harus memberi contoh dan menjadi panutan yang baik, terlebih sudah 10 tahun memimpin Surabaya," ucapnya.
Eko menegaskan, jika memang ada kadernya yang dicalonkan, maka harus dilakukan secara fair dan objektif. Sehingga tidak memberi kesan memanfaatkan posisi dan jabatannya untuk intervensi politik yang bisa menciderai azas pilkada, jujur dan adil (jurdil). "Sebagai calon (Eri) tentunya harus menunjukkan eksistensi secara benar dan siap bersaing dengan baik," ujarnya.
Sebagai calon, katanya, Eri-Armuji harus memegang teguh pakta integritas yang dilakukan dan dibacakan saat mendaftar. Apalagi KPU dan Bawaslu Surabaya dengan dua paslon sudah melakukan deklarasi Pilwali damai. "Calon harus bersaing dengan baik sebagaimana pakta integritas. Itu sebagai komitmen moral dan patuh terhadap peraturan yang berlaku," jelasnya.
Pilwali Surabaya, menurutnya, memiliki dinamika yang sangat tinggi dan persaingan ketat. Maka perlu dilakukan dengan sehat dan masyarakat ikut mengawal perjalanan demokrasi ini sehingga menghasilkan pemimpin yang memiliki integritas.
Sementara itu Ketua KIPP Jatim Novli Bernado Thyssen mengecam ketidaknetralan Risma dalam Pilwali Surabaya. Sikap Risma yang tidak netral melanggar undang-undang 1 nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota. "Posisi Risma sebagai wali kota Surabaya harus netral dan tidak berpihak kepada salah satu paslon," ujarnya.
Novli menegaskan, pasal 71 uu 10/2016 disebutkan secara eksplisit bahwa gubernur dan wakilnya, bupati dan wakilnya, wali kota dan wakilnya dilarang menggunakan program dan kegiatan yang menguntungkan salah satu calon terhitung sejak 6 bulan sebelum penetapan calon.
tulis komentar anda