Kisah Panasnya Perang Intelijen Indonesia vs Uni Soviet di Masa Lampau
Minggu, 09 Februari 2025 - 14:37 WIB
Mendapati keberadaannya keberadaannya terancam, sebagian anggota KGB terus bergerak. Di Jakarta dan beberapa kota besar lain, mereka bersama GRU (dinas intelijen militer Soviet), tetap melakukan operasi secara senyap.
Pada usahanya, mereka sempat mencoba menyadap informasi rezim baru yang telah mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Bahkan, mereka disebut berhasil menempatkan sejumlah petingginya di Indonesia.
"Mereka yakni 24 pejabat KGB dan GRU yang ditempatkan di Jakarta, Medan dan Surabaya sejak awal 70-an," ungkap Ken Conboy dalam buku “ Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia”.
Ken Conboy kemudian menyebut nama Boris Liapine, salah satu pejabat Atase Kebudayaan yang yang gerak geriknya dalam pantauan tim Satsus Intel (Satuan Khusus Intelijen). Untuk diketahui, Satsus Intel ini adalah unit baru Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yang didirikan 16 November 1968.
Unit tersebut biasa menjuluki agen KGB dan GRU yang diawasi dengan sebutan “Gatot”. Hal ini termasuk agen Boris Liapine yang berada dalam pantauan.
Selain Boris, ada agen Soviet lain yang dipantau Satsus Intel, yakni Vladislav Romanov dan Oleg Brykin. Brykin dianggap berbahaya karena jago membangun jaringan dan dapat merekrut anggota baru.
Pada aksinya, Satsus Intel rezim Soeharto senantiasa melakukan kontraintelijen untuk melawan agen rahasia Soviet. Pada pertengahan 1972, Satsus Intel berhasil mengkooptasi Nikolai Grigoryevich Petrov, seorang Kapten GRU berusia 33 tahun.
Petrov adalah agen Soviet yang awalnya menyamar sebagai juru bahasa dalam Proyek 055. Dia kemudian bekerja di kedutaan Soviet, datang ke Jakarta bersama kontingen GRU yang berjumlah sepuluh orang.
Melalui bocoran informasi Petrov, Satsus Intel mengetahui banyak hal terkait penyusupan mata-mata Soviet di tubuh militer Indonesia.
Dari situ, Satsus Intel tahu bahwa GRU telah berhasil merekrut seorang letnan angkatan udara produktif yang bertugas di bagian teknik.
Pada usahanya, mereka sempat mencoba menyadap informasi rezim baru yang telah mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Bahkan, mereka disebut berhasil menempatkan sejumlah petingginya di Indonesia.
"Mereka yakni 24 pejabat KGB dan GRU yang ditempatkan di Jakarta, Medan dan Surabaya sejak awal 70-an," ungkap Ken Conboy dalam buku “ Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia”.
Ken Conboy kemudian menyebut nama Boris Liapine, salah satu pejabat Atase Kebudayaan yang yang gerak geriknya dalam pantauan tim Satsus Intel (Satuan Khusus Intelijen). Untuk diketahui, Satsus Intel ini adalah unit baru Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yang didirikan 16 November 1968.
Unit tersebut biasa menjuluki agen KGB dan GRU yang diawasi dengan sebutan “Gatot”. Hal ini termasuk agen Boris Liapine yang berada dalam pantauan.
Selain Boris, ada agen Soviet lain yang dipantau Satsus Intel, yakni Vladislav Romanov dan Oleg Brykin. Brykin dianggap berbahaya karena jago membangun jaringan dan dapat merekrut anggota baru.
Pada aksinya, Satsus Intel rezim Soeharto senantiasa melakukan kontraintelijen untuk melawan agen rahasia Soviet. Pada pertengahan 1972, Satsus Intel berhasil mengkooptasi Nikolai Grigoryevich Petrov, seorang Kapten GRU berusia 33 tahun.
Petrov adalah agen Soviet yang awalnya menyamar sebagai juru bahasa dalam Proyek 055. Dia kemudian bekerja di kedutaan Soviet, datang ke Jakarta bersama kontingen GRU yang berjumlah sepuluh orang.
Melalui bocoran informasi Petrov, Satsus Intel mengetahui banyak hal terkait penyusupan mata-mata Soviet di tubuh militer Indonesia.
Dari situ, Satsus Intel tahu bahwa GRU telah berhasil merekrut seorang letnan angkatan udara produktif yang bertugas di bagian teknik.
Lihat Juga :
tulis komentar anda