Mahkamah Etik Nasional Perlu Dibentuk untuk Kembalikan Demokrasi
Rabu, 18 September 2024 - 23:05 WIB
"Partai politik, yang seharusnya menjadi penjaga moral dan pengontrol kekuasaan, justru terjebak dalam politik transaksional, mengutamakan kepentingan sesaat daripada rakyat. Akibatnya, hukum tak lagi ditegakkan demi kebenaran dan keadilan, tetapi demi melindungi kekuasaan," jelasnya.
Ironisnya, Pancasila yang menjadi dasar negara sering kali hanya dijadikan slogan politik kosong tanpa implementasi nyata. Jika Pancasila benar-benar dijadikan falsafah politik dan hukum, produk hukum yang dihasilkan seharusnya mampu mengatasi konflik kepentingan dan mengedepankan etika.
"Kenyataannya, politik Indonesia kerap menjadi medan perselingkuhan antara kekuasaan dan modal. Kolaborasi ini merusak tatanan demokrasi dan budaya hukum, menyebabkan hukum kehilangan moralitas dan mengukuhkan kekuasaan atas nama kepentingan elite," terangnya.
Sistem hukum yang terjebak dalam pusaran kepentingan politik dan kapital, kata Benny, membutuhkan Reformasi. Salah satu solusinya menegakkan supremasi etika, bukan hanya supremasi hukum. Artinya, hukum harus dijalankan dengan berlandaskan nilai-nilai etika, bukan hanya sekadar aturan yang tertulis.
"Jika hukum hanya dilihat sebagai sekumpulan aturan, maka ia akan tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, di mana masyarakat kecil menjadi korban ketidakadilan sementara elite berkuasa dapat dengan mudah menghindari jerat hukum," paparnya.
Untuk mengembalikan martabat hukum dan demokrasi di Indonesia perlu dibentuk undang-undang yang mengatur etika berbangsa dan bernegara serta pembentukan Mahkamah Etik Nasional yang bertugas menegakkan etika di kalangan penyelenggara negara.
"Hal ini penting agar perilaku para pemimpin politik tidak hanya diukur dari kepatuhan mereka pada hukum, tetapi juga dari sejauh mana mereka menjunjung tinggi nilai-nilai etika," tegasnya.
Ironisnya, Pancasila yang menjadi dasar negara sering kali hanya dijadikan slogan politik kosong tanpa implementasi nyata. Jika Pancasila benar-benar dijadikan falsafah politik dan hukum, produk hukum yang dihasilkan seharusnya mampu mengatasi konflik kepentingan dan mengedepankan etika.
"Kenyataannya, politik Indonesia kerap menjadi medan perselingkuhan antara kekuasaan dan modal. Kolaborasi ini merusak tatanan demokrasi dan budaya hukum, menyebabkan hukum kehilangan moralitas dan mengukuhkan kekuasaan atas nama kepentingan elite," terangnya.
Sistem hukum yang terjebak dalam pusaran kepentingan politik dan kapital, kata Benny, membutuhkan Reformasi. Salah satu solusinya menegakkan supremasi etika, bukan hanya supremasi hukum. Artinya, hukum harus dijalankan dengan berlandaskan nilai-nilai etika, bukan hanya sekadar aturan yang tertulis.
"Jika hukum hanya dilihat sebagai sekumpulan aturan, maka ia akan tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, di mana masyarakat kecil menjadi korban ketidakadilan sementara elite berkuasa dapat dengan mudah menghindari jerat hukum," paparnya.
Baca Juga
Untuk mengembalikan martabat hukum dan demokrasi di Indonesia perlu dibentuk undang-undang yang mengatur etika berbangsa dan bernegara serta pembentukan Mahkamah Etik Nasional yang bertugas menegakkan etika di kalangan penyelenggara negara.
"Hal ini penting agar perilaku para pemimpin politik tidak hanya diukur dari kepatuhan mereka pada hukum, tetapi juga dari sejauh mana mereka menjunjung tinggi nilai-nilai etika," tegasnya.
(kri)
tulis komentar anda