Kisah Asmara Gajah Mada dengan 3 Wanita yang Menggegerkan Majapahit
Selasa, 11 Juni 2024 - 10:15 WIB
Lalu terjadi Perang Bubat antara Majapahit dengan Kerajaan Sunda, yang menyebabkan Dyah Pitaloka bunuh diri karena seluruh pasukan Kerajaan Sunda yang dipimpin Maharaja Linggabuana berhasil dibunuh oleh prajurit Majapahit, pimpinan Gajah Mada.
Namun dari buku karya Gesta Bayuadhy juga disebutkan kalau Gajah Mada adalah sesosok pimpinan yang tidak berambisi pada harta, tahta dan wanita. Ini disebut-sebut setelah Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa guna mempersatukan Nusantara.
Selain itu sosok sang mahapatih ini dalam biografi novel sejarah karya Langit Kresna Hadi berjudul " Gajah Mada: Hamukti Palapa", yang diterbitkan penerbit Tiga Serangkai, Solo juga disebutkan tidak berambisi pada wanita.
Dalam biografi tersebut ditulis kutipan dialog antara Gajah Mada dengan Mahapatih Arya Tadah tentang isteri atau wanita. Berikut kutipan tersebut :
"Perempuan adalah sumber kelemahan bagiku, Paman! Yang jika aku layani, akan menjadi penghambat semua gerak langkahku. Ke depan, aku tak ingin terganggu oleh hal sekecil apapun. Padahal, ke depan, Majapahit membutuhkan para lelaki perkasa, membutuhkan laki-laki yang tangguh, tidak takut darah tumpah dari tubuhnya, dibutuhkan laki-laki pilih tanding yang berani berkorban dan tidak terikat oleh waktu. Bagaimana seorang laki-laki bisa bebas dan berani meluaskan wilayah Majapahit, yang untuk keperluan itu mungkin harus dengan pergi bertahun-tahun jika dia terikat oleh seorang isteri, terikat oleh anak atau keluarga. Bagaimana aku bisa mewujudkan semua impianku itu jika aku terganggu makhluk perempuan bernama isteri, yang merengek merajuk. Isteri atau perempuan bagiku tidak ubahnya rasa lapar dan haus yang harus dilawan."
Gajah Mada mampu mewujudkan sumpah palapanya dengan mempersatukan Nusantara di bawah panji Kerajaan Majapahit. Pelaksanaan politik penyatuan Nusantara, dilakukannya selama 21 tahun lamanya.
"Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa".
Sepenggal cerita pengangkatan Gajah Mada, sebagai Mahapatih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1334 M) yang tercatat dalam kitab Pararaton, apabila diterjemahkan memiliki arti "Ia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Sumpah tersebut, sempat menggemparkan seantero Nusantara. Kegemparan itu, termuat dalam tulisan sejarawan Slamet Muljana dalam "Tafsir Sejarah Nagarakretagama". Para petinggi kerajaan seperti Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng merespons dengan negatif.
Namun dari buku karya Gesta Bayuadhy juga disebutkan kalau Gajah Mada adalah sesosok pimpinan yang tidak berambisi pada harta, tahta dan wanita. Ini disebut-sebut setelah Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa guna mempersatukan Nusantara.
Selain itu sosok sang mahapatih ini dalam biografi novel sejarah karya Langit Kresna Hadi berjudul " Gajah Mada: Hamukti Palapa", yang diterbitkan penerbit Tiga Serangkai, Solo juga disebutkan tidak berambisi pada wanita.
Dalam biografi tersebut ditulis kutipan dialog antara Gajah Mada dengan Mahapatih Arya Tadah tentang isteri atau wanita. Berikut kutipan tersebut :
"Perempuan adalah sumber kelemahan bagiku, Paman! Yang jika aku layani, akan menjadi penghambat semua gerak langkahku. Ke depan, aku tak ingin terganggu oleh hal sekecil apapun. Padahal, ke depan, Majapahit membutuhkan para lelaki perkasa, membutuhkan laki-laki yang tangguh, tidak takut darah tumpah dari tubuhnya, dibutuhkan laki-laki pilih tanding yang berani berkorban dan tidak terikat oleh waktu. Bagaimana seorang laki-laki bisa bebas dan berani meluaskan wilayah Majapahit, yang untuk keperluan itu mungkin harus dengan pergi bertahun-tahun jika dia terikat oleh seorang isteri, terikat oleh anak atau keluarga. Bagaimana aku bisa mewujudkan semua impianku itu jika aku terganggu makhluk perempuan bernama isteri, yang merengek merajuk. Isteri atau perempuan bagiku tidak ubahnya rasa lapar dan haus yang harus dilawan."
Gajah Mada mampu mewujudkan sumpah palapanya dengan mempersatukan Nusantara di bawah panji Kerajaan Majapahit. Pelaksanaan politik penyatuan Nusantara, dilakukannya selama 21 tahun lamanya.
Sumpah Palapa
"Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa".
Sepenggal cerita pengangkatan Gajah Mada, sebagai Mahapatih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1334 M) yang tercatat dalam kitab Pararaton, apabila diterjemahkan memiliki arti "Ia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Sumpah tersebut, sempat menggemparkan seantero Nusantara. Kegemparan itu, termuat dalam tulisan sejarawan Slamet Muljana dalam "Tafsir Sejarah Nagarakretagama". Para petinggi kerajaan seperti Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng merespons dengan negatif.
tulis komentar anda