Kisah Asmara Gajah Mada dengan 3 Wanita yang Menggegerkan Majapahit
loading...
A
A
A
Gajah Mada merupakan mahapatih yang mendampingi Raja Hayam Wuruk membawa kejayaan Kerajaan Majapahit. Kisah asmara sosok yang terkenal dengan Sumpah Palapanya menarik untuk diketahui.
Tercatat dari sejumlah referensi, ada tiga nama wanita cantik yang dikaitkan dengan Gajah Mada. Mulai dari Puranti yang merupakan putri Demang Suryanata dari Kerajaan Kahuripan.
Selanjutnya Dyah Pitaloka Citaresmi putri Kerajaan Sunda, yang terkenal akan kecantikannya pada masa itu. Perempuan yang ketiga yakni, Ni Luh Ayu Sekarini putri Ki Dukuh Gedangan dari Kerajaan Bali.
Berdasarkan Prasasti Aria Bebed yang berupa lempengan tembaga di halaman Candi Aria Bebed di Desa Bubunan, Kecamatan Sririt, Kabupaten Buleleng, Singaraja, hanya dengan Ni Luh Ayu Sekarini ini lah Gajah Mada disebut-sebut menikah dan dikaruniai putera bernama Aria Bebed.
Dalam prasasti tersebut, memuat cerita tentang Gajah Mada yang diutus Ratu Tribhuwanatunggadewi untuk melakukan penyerbuan dan penaklukan terhadap Kerajaan Bali. Nah saat penaklukan Bali, Gajah Mada sempat mendatangi Pedukuhan Gedangan untuk bermeditasi.
Lalu Gajah Mada yang sempat tinggal dan melakukan meditasi di tempat itu sekitar kurang lebih empat bulanan, sering bertemu dengan putri Ki Dukuh Gedangan yang bernama Ni Luh Ayu Sekarini.
Dikisahkan Gajah Mada pun langsung jatuh hati terhadap Ni Luh Ayu Sekarini yang cantik jelita.
Lalu benih-benih cinta tumbuh di antara keduanya hingga sampai menikah. Sehingga Ni Luh Ayu Sekarini mengandung. Namun sebelum anaknya lahir, Gajah Mada harus kembali ke Mahapahit karena dipanggil Ratu Tribhuwanatunggadewi.
Setelah putera Gajah Mada itu menjadi dewasa, dia mencari ayahnya ke Majapahit. Anak hasil buah cinta Gajah Mada dengan Ni Luh Ayu Sekarini, yang diberi nama Aria Bebed, sempat beberapa lama tinggal di Majapahit, sebelum akhirnya kembali ke Bali.
Sementara mengenai kisah cinta Gajah Mada dengan Puranti, dimuat dalam buku "Kisah Cinta Gajah Mada, Kontroversi Kehidupan Sang Mahapatih" karya Gesta Bayuadhy, Cetakan Pertama, 2015.
Kisahnya dimulai sebelum Gajah Mada menjadi prajurit Bhayangkara. Saat itu Gajah Mada dikenal sebagai seorang Bekel Dipa, atau prajurit biasa yang mengabdi di Kerajaan Kahuripan, yang merupakan kerajaan bawahan Majapahit.
Gajah Mada yang seorang prajurit ini pun jatuh hati terhadap putri Demang Suryanata, dari Kerajaan Kahuripan yang bernama Puranti. Namun saat cinta keduanya bersemi sang kekasih Puranti ketika itu dilamar oleh Raden Damar, putra seorang patih bernama Rangga Tanding di Kahuripan.
Tentu saja Demang Suryanata tidak bisa menolak lamaran tersebut mengingat dia adalah bawahan Patih Rangga Tanding. Posisi Gajah Mada yang hanya seorang Bekel Dipa (prajurit biasa) hanya bisa menerima kenyataan, dan bersedia mundur demi kebahagian sang kekasih Puranti.
Namun celakanya ketika Gajah Mada tengah berduaan dengan Puranti dipergoki Raden Damar. Akibatnya Raden Damar salah paham, sehingga terjadilah pertarungan antara Gajah Mada dengan Raden Damar.
Dalam pertarungan tersebut Raden Damar tewas, sehingga mengharuskan Gajah Mada pergi mengabdi ke Majapahit. Sehingga kisah cinta ini pun terputus.
Sementara kisah cintanya dengan Dyah Pitaloka Citaresmi juga disebutkan dalam beberapa literatur. Di mana disebutkan bahwa Gajah Mada juga pernah menjalin hubungan asmara dengan Dyah Pitaloka Citaresmi.
Putri Kerajaan Sunda tersebut, terkenal akan kecantikannya pada masa itu. Sehingga kecantikan Dyah Pitaloka Citaresmi ini pun terdengar hingga ke telinga Prabu Hayam Wuruk. Namun saat Dyah Pitaloka dilamar Prabu Hayam Wuruk, sang patih berusaha menggagalkannya.
Lalu terjadi Perang Bubat antara Majapahit dengan Kerajaan Sunda, yang menyebabkan Dyah Pitaloka bunuh diri karena seluruh pasukan Kerajaan Sunda yang dipimpin Maharaja Linggabuana berhasil dibunuh oleh prajurit Majapahit, pimpinan Gajah Mada.
Namun dari buku karya Gesta Bayuadhy juga disebutkan kalau Gajah Mada adalah sesosok pimpinan yang tidak berambisi pada harta, tahta dan wanita. Ini disebut-sebut setelah Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa guna mempersatukan Nusantara.
Selain itu sosok sang mahapatih ini dalam biografi novel sejarah karya Langit Kresna Hadi berjudul " Gajah Mada: Hamukti Palapa", yang diterbitkan penerbit Tiga Serangkai, Solo juga disebutkan tidak berambisi pada wanita.
Dalam biografi tersebut ditulis kutipan dialog antara Gajah Mada dengan Mahapatih Arya Tadah tentang isteri atau wanita. Berikut kutipan tersebut :
"Perempuan adalah sumber kelemahan bagiku, Paman! Yang jika aku layani, akan menjadi penghambat semua gerak langkahku. Ke depan, aku tak ingin terganggu oleh hal sekecil apapun. Padahal, ke depan, Majapahit membutuhkan para lelaki perkasa, membutuhkan laki-laki yang tangguh, tidak takut darah tumpah dari tubuhnya, dibutuhkan laki-laki pilih tanding yang berani berkorban dan tidak terikat oleh waktu. Bagaimana seorang laki-laki bisa bebas dan berani meluaskan wilayah Majapahit, yang untuk keperluan itu mungkin harus dengan pergi bertahun-tahun jika dia terikat oleh seorang isteri, terikat oleh anak atau keluarga. Bagaimana aku bisa mewujudkan semua impianku itu jika aku terganggu makhluk perempuan bernama isteri, yang merengek merajuk. Isteri atau perempuan bagiku tidak ubahnya rasa lapar dan haus yang harus dilawan."
Gajah Mada mampu mewujudkan sumpah palapanya dengan mempersatukan Nusantara di bawah panji Kerajaan Majapahit. Pelaksanaan politik penyatuan Nusantara, dilakukannya selama 21 tahun lamanya.
"Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa".
Sepenggal cerita pengangkatan Gajah Mada, sebagai Mahapatih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1334 M) yang tercatat dalam kitab Pararaton, apabila diterjemahkan memiliki arti "Ia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Sumpah tersebut, sempat menggemparkan seantero Nusantara. Kegemparan itu, termuat dalam tulisan sejarawan Slamet Muljana dalam "Tafsir Sejarah Nagarakretagama". Para petinggi kerajaan seperti Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng merespons dengan negatif.
Resnpons negatif para petinggi kerajaan Majapahit tersebut, membuat Gajah Mada sangat marah karena ditertawakan. Analisa tersebut, juga dikuatkan oleh tulisan Muhammad Yamin dalam "Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara".
Dalam tulisannya, Yamin menyebutkan, Gajah Mada meninggalkan paseban dan terus pergi menghadap Batara Kahuripan, Tribhuana Tunggadewi. Sang mahapatih merasa sakit hati karena harus menghadapi rintangan dari petinggi kerajaan, untuk mewujudkan sumpahnya.
Berbagai intrik politik yang didasari oleh rasa tidak suka dan kedengkian, menjangkiti internal kerajaan Majapahit, utamanya di kalangan para petinggi kerajaan.
Meskipun dalam perjalanannya Gajah Mada, dibantu oleh Arya Tadah, ternyata Arya Tadah juga sempat ikut menertawakan sumpah yang diucapkan sang mahapatih.
Dalam tulisannya, Slamet Mujana menyebutkan, Arya Tadah atau Empu Krewes sebenarnya menyimpan rasa dengki terhadap Gajah Mada, karena dia tidak rela Gajah Mada menggantikan posisinya sebagai mahapatih di kerajaan Majapahit.
Di tengah badai intrik politik petinggi kerajaan Majapahit, Gajah Mada mulai mencoba mewujudkan sumpahnya untuk menyatukan Nusantara. Upaya itu dilakukan selama 21 tahun, yaitu pada tahun 1336-1357 Masehi.
Upaya penyatuan Nusantara itu, dilakukannya dengan menundukkan kerajaan-kerajaan yang berada di luar kekuasaan Majapahit, seperti Gurun (Lombok), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura). Dalam kitab Nagarakretagama pupuh 13 dan 14, nama-nama kerajaan yang ditundukkan lebih banyak dari pada yang disebutkan sumpahnya.
Penakhlukkan kerajaan-kerajaan di luar Majapahit, untuk mewujudkan Sumpah Palapa tersebut, terus dilakukan Gajah Mada saat raja Majapahit berganti dari Tribhuwanatunggadewi, ke Raja Hayam Wuruk (1350-1389).
Saat masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, Gajah Mada melakukan penakkhlukan kerajaan-kerajaan di wilayah timur, di antaranya Sukun, Taliwung, Logajah, Gurun, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Timor, Dompo, Wanin, dan Seran.
Sumber :
- Buku Kisah Cinta Gajah Mada, Grsta Bayuadhy, Cetakan Pertama, 2015.
- Wikipedia dan diolah dari berbagai sumber.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
Tercatat dari sejumlah referensi, ada tiga nama wanita cantik yang dikaitkan dengan Gajah Mada. Mulai dari Puranti yang merupakan putri Demang Suryanata dari Kerajaan Kahuripan.
Selanjutnya Dyah Pitaloka Citaresmi putri Kerajaan Sunda, yang terkenal akan kecantikannya pada masa itu. Perempuan yang ketiga yakni, Ni Luh Ayu Sekarini putri Ki Dukuh Gedangan dari Kerajaan Bali.
Berdasarkan Prasasti Aria Bebed yang berupa lempengan tembaga di halaman Candi Aria Bebed di Desa Bubunan, Kecamatan Sririt, Kabupaten Buleleng, Singaraja, hanya dengan Ni Luh Ayu Sekarini ini lah Gajah Mada disebut-sebut menikah dan dikaruniai putera bernama Aria Bebed.
Dalam prasasti tersebut, memuat cerita tentang Gajah Mada yang diutus Ratu Tribhuwanatunggadewi untuk melakukan penyerbuan dan penaklukan terhadap Kerajaan Bali. Nah saat penaklukan Bali, Gajah Mada sempat mendatangi Pedukuhan Gedangan untuk bermeditasi.
Lalu Gajah Mada yang sempat tinggal dan melakukan meditasi di tempat itu sekitar kurang lebih empat bulanan, sering bertemu dengan putri Ki Dukuh Gedangan yang bernama Ni Luh Ayu Sekarini.
Dikisahkan Gajah Mada pun langsung jatuh hati terhadap Ni Luh Ayu Sekarini yang cantik jelita.
Lalu benih-benih cinta tumbuh di antara keduanya hingga sampai menikah. Sehingga Ni Luh Ayu Sekarini mengandung. Namun sebelum anaknya lahir, Gajah Mada harus kembali ke Mahapahit karena dipanggil Ratu Tribhuwanatunggadewi.
Setelah putera Gajah Mada itu menjadi dewasa, dia mencari ayahnya ke Majapahit. Anak hasil buah cinta Gajah Mada dengan Ni Luh Ayu Sekarini, yang diberi nama Aria Bebed, sempat beberapa lama tinggal di Majapahit, sebelum akhirnya kembali ke Bali.
Sementara mengenai kisah cinta Gajah Mada dengan Puranti, dimuat dalam buku "Kisah Cinta Gajah Mada, Kontroversi Kehidupan Sang Mahapatih" karya Gesta Bayuadhy, Cetakan Pertama, 2015.
Kisahnya dimulai sebelum Gajah Mada menjadi prajurit Bhayangkara. Saat itu Gajah Mada dikenal sebagai seorang Bekel Dipa, atau prajurit biasa yang mengabdi di Kerajaan Kahuripan, yang merupakan kerajaan bawahan Majapahit.
Gajah Mada yang seorang prajurit ini pun jatuh hati terhadap putri Demang Suryanata, dari Kerajaan Kahuripan yang bernama Puranti. Namun saat cinta keduanya bersemi sang kekasih Puranti ketika itu dilamar oleh Raden Damar, putra seorang patih bernama Rangga Tanding di Kahuripan.
Tentu saja Demang Suryanata tidak bisa menolak lamaran tersebut mengingat dia adalah bawahan Patih Rangga Tanding. Posisi Gajah Mada yang hanya seorang Bekel Dipa (prajurit biasa) hanya bisa menerima kenyataan, dan bersedia mundur demi kebahagian sang kekasih Puranti.
Namun celakanya ketika Gajah Mada tengah berduaan dengan Puranti dipergoki Raden Damar. Akibatnya Raden Damar salah paham, sehingga terjadilah pertarungan antara Gajah Mada dengan Raden Damar.
Dalam pertarungan tersebut Raden Damar tewas, sehingga mengharuskan Gajah Mada pergi mengabdi ke Majapahit. Sehingga kisah cinta ini pun terputus.
Sementara kisah cintanya dengan Dyah Pitaloka Citaresmi juga disebutkan dalam beberapa literatur. Di mana disebutkan bahwa Gajah Mada juga pernah menjalin hubungan asmara dengan Dyah Pitaloka Citaresmi.
Putri Kerajaan Sunda tersebut, terkenal akan kecantikannya pada masa itu. Sehingga kecantikan Dyah Pitaloka Citaresmi ini pun terdengar hingga ke telinga Prabu Hayam Wuruk. Namun saat Dyah Pitaloka dilamar Prabu Hayam Wuruk, sang patih berusaha menggagalkannya.
Lalu terjadi Perang Bubat antara Majapahit dengan Kerajaan Sunda, yang menyebabkan Dyah Pitaloka bunuh diri karena seluruh pasukan Kerajaan Sunda yang dipimpin Maharaja Linggabuana berhasil dibunuh oleh prajurit Majapahit, pimpinan Gajah Mada.
Namun dari buku karya Gesta Bayuadhy juga disebutkan kalau Gajah Mada adalah sesosok pimpinan yang tidak berambisi pada harta, tahta dan wanita. Ini disebut-sebut setelah Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa guna mempersatukan Nusantara.
Selain itu sosok sang mahapatih ini dalam biografi novel sejarah karya Langit Kresna Hadi berjudul " Gajah Mada: Hamukti Palapa", yang diterbitkan penerbit Tiga Serangkai, Solo juga disebutkan tidak berambisi pada wanita.
Dalam biografi tersebut ditulis kutipan dialog antara Gajah Mada dengan Mahapatih Arya Tadah tentang isteri atau wanita. Berikut kutipan tersebut :
"Perempuan adalah sumber kelemahan bagiku, Paman! Yang jika aku layani, akan menjadi penghambat semua gerak langkahku. Ke depan, aku tak ingin terganggu oleh hal sekecil apapun. Padahal, ke depan, Majapahit membutuhkan para lelaki perkasa, membutuhkan laki-laki yang tangguh, tidak takut darah tumpah dari tubuhnya, dibutuhkan laki-laki pilih tanding yang berani berkorban dan tidak terikat oleh waktu. Bagaimana seorang laki-laki bisa bebas dan berani meluaskan wilayah Majapahit, yang untuk keperluan itu mungkin harus dengan pergi bertahun-tahun jika dia terikat oleh seorang isteri, terikat oleh anak atau keluarga. Bagaimana aku bisa mewujudkan semua impianku itu jika aku terganggu makhluk perempuan bernama isteri, yang merengek merajuk. Isteri atau perempuan bagiku tidak ubahnya rasa lapar dan haus yang harus dilawan."
Gajah Mada mampu mewujudkan sumpah palapanya dengan mempersatukan Nusantara di bawah panji Kerajaan Majapahit. Pelaksanaan politik penyatuan Nusantara, dilakukannya selama 21 tahun lamanya.
Sumpah Palapa
"Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa".
Sepenggal cerita pengangkatan Gajah Mada, sebagai Mahapatih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1334 M) yang tercatat dalam kitab Pararaton, apabila diterjemahkan memiliki arti "Ia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Sumpah tersebut, sempat menggemparkan seantero Nusantara. Kegemparan itu, termuat dalam tulisan sejarawan Slamet Muljana dalam "Tafsir Sejarah Nagarakretagama". Para petinggi kerajaan seperti Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng merespons dengan negatif.
Resnpons negatif para petinggi kerajaan Majapahit tersebut, membuat Gajah Mada sangat marah karena ditertawakan. Analisa tersebut, juga dikuatkan oleh tulisan Muhammad Yamin dalam "Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara".
Dalam tulisannya, Yamin menyebutkan, Gajah Mada meninggalkan paseban dan terus pergi menghadap Batara Kahuripan, Tribhuana Tunggadewi. Sang mahapatih merasa sakit hati karena harus menghadapi rintangan dari petinggi kerajaan, untuk mewujudkan sumpahnya.
Berbagai intrik politik yang didasari oleh rasa tidak suka dan kedengkian, menjangkiti internal kerajaan Majapahit, utamanya di kalangan para petinggi kerajaan.
Meskipun dalam perjalanannya Gajah Mada, dibantu oleh Arya Tadah, ternyata Arya Tadah juga sempat ikut menertawakan sumpah yang diucapkan sang mahapatih.
Dalam tulisannya, Slamet Mujana menyebutkan, Arya Tadah atau Empu Krewes sebenarnya menyimpan rasa dengki terhadap Gajah Mada, karena dia tidak rela Gajah Mada menggantikan posisinya sebagai mahapatih di kerajaan Majapahit.
Di tengah badai intrik politik petinggi kerajaan Majapahit, Gajah Mada mulai mencoba mewujudkan sumpahnya untuk menyatukan Nusantara. Upaya itu dilakukan selama 21 tahun, yaitu pada tahun 1336-1357 Masehi.
Upaya penyatuan Nusantara itu, dilakukannya dengan menundukkan kerajaan-kerajaan yang berada di luar kekuasaan Majapahit, seperti Gurun (Lombok), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura). Dalam kitab Nagarakretagama pupuh 13 dan 14, nama-nama kerajaan yang ditundukkan lebih banyak dari pada yang disebutkan sumpahnya.
Penakhlukkan kerajaan-kerajaan di luar Majapahit, untuk mewujudkan Sumpah Palapa tersebut, terus dilakukan Gajah Mada saat raja Majapahit berganti dari Tribhuwanatunggadewi, ke Raja Hayam Wuruk (1350-1389).
Saat masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, Gajah Mada melakukan penakkhlukan kerajaan-kerajaan di wilayah timur, di antaranya Sukun, Taliwung, Logajah, Gurun, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Timor, Dompo, Wanin, dan Seran.
Sumber :
- Buku Kisah Cinta Gajah Mada, Grsta Bayuadhy, Cetakan Pertama, 2015.
- Wikipedia dan diolah dari berbagai sumber.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
(shf)