Kisah Mayor Sabarudin, Sosok Prajurit Bengis Berjuluk Macan Sidoarjo
Sabtu, 20 April 2024 - 08:14 WIB
Selepas makan bangku sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau sekolah setingkat menengah pertama, Sabaruddin cari nafkah jadi juru tulis di Kabupaten Sidoarjo dan menangani pembukuan di perkebunan tebu.
Saat Jepang masuk nusantara, Sabaruddin selayaknya para pemuda lain, ikut pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang dan lulus dengan pangkatShodancho(komandan peleton). Kariernya melesat pasca-Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.
Sabaruddin naik pangkat jadi kapten, kemudian mayor dan jadi Komandan PTKR Karesidenan Surabaya. Tugasnya, mengawasi tawanan Jepang dan para orang-orang Belanda dan pribumi pro-Belanda yang baru keluar dari kamp-kamp interniran.
Dari sinilah kebrutalan dan kegilaan Mayor Sabaruddin dan ratusan anak buahnya yang fanatik bermula. Sepak terjang petarung republik yang berjuluk si Macan Sidoarjo ini sungguh bikin geleng-geleng kepala.
Siapapun yang ditangkapnya dengan dugaan atau tuduhan sesuatu seperti mata-mata misalnya, bisa-bisa langsung dicabut nyawanya tanpa penyelidikan lebih lanjut. Pernah termaktub kisahnya dalam buku di atas, dia menangkap tiga pemuda asal Maluku dan dituduh mata-mata.
Kelanjutannya? Ketiga pemuda itu dibakar hidup-hidup setelah lebih dulu diguyur bensin. Mayor Sabaruddin juga gila wanita. Sabaruddin yang juga diketahui punya istri keturunan Belanda, sering mengumpulkan eks tawanan interniran wanita kulit putih untuk dijadikan budak seks.
Wanita-wanita itu baru kemudian ditemukan dan diselamatkan M Jasin, Komandan Polisi Istimewa (kini Brimob) bersama Laskar Pesindo, Laskar Minyak dan Hizbullah.
“Dalam penggerebekan (di satu Harem di sekitar Trawas) itu ditemukan 8 wanita Eropa yang sedang hamil, 4 besek penuh perhiasan. Wanita dan emas itu diduga dirampas dari kamp-kamp interniran,” ungkap M Jasin dalam ‘Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang’.
Baca Juga
Saat Jepang masuk nusantara, Sabaruddin selayaknya para pemuda lain, ikut pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang dan lulus dengan pangkatShodancho(komandan peleton). Kariernya melesat pasca-Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.
Sabaruddin naik pangkat jadi kapten, kemudian mayor dan jadi Komandan PTKR Karesidenan Surabaya. Tugasnya, mengawasi tawanan Jepang dan para orang-orang Belanda dan pribumi pro-Belanda yang baru keluar dari kamp-kamp interniran.
Dari sinilah kebrutalan dan kegilaan Mayor Sabaruddin dan ratusan anak buahnya yang fanatik bermula. Sepak terjang petarung republik yang berjuluk si Macan Sidoarjo ini sungguh bikin geleng-geleng kepala.
Siapapun yang ditangkapnya dengan dugaan atau tuduhan sesuatu seperti mata-mata misalnya, bisa-bisa langsung dicabut nyawanya tanpa penyelidikan lebih lanjut. Pernah termaktub kisahnya dalam buku di atas, dia menangkap tiga pemuda asal Maluku dan dituduh mata-mata.
Kelanjutannya? Ketiga pemuda itu dibakar hidup-hidup setelah lebih dulu diguyur bensin. Mayor Sabaruddin juga gila wanita. Sabaruddin yang juga diketahui punya istri keturunan Belanda, sering mengumpulkan eks tawanan interniran wanita kulit putih untuk dijadikan budak seks.
Baca Juga
Wanita-wanita itu baru kemudian ditemukan dan diselamatkan M Jasin, Komandan Polisi Istimewa (kini Brimob) bersama Laskar Pesindo, Laskar Minyak dan Hizbullah.
“Dalam penggerebekan (di satu Harem di sekitar Trawas) itu ditemukan 8 wanita Eropa yang sedang hamil, 4 besek penuh perhiasan. Wanita dan emas itu diduga dirampas dari kamp-kamp interniran,” ungkap M Jasin dalam ‘Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang’.
Lihat Juga :
tulis komentar anda