Sejarah Kelenteng Eng An Kiong, Tempat Etnis Tionghoa Malang Rayakan Imlek
Sabtu, 10 Februari 2024 - 08:33 WIB
Tak heran secara keterikatan sejarah dan budaya perkembangan kaum Tionghoa di Malang dengan Jawa Tengah.
”Sejak datang bawa (keluarga) dan peranak pinak di sini. Mereka berdagang, dulu naik perahu ratusan tahun lalu, laut masih tenang, nggak ada polusi nggak ada apa-apa, jadi berani dan menempati di pesisir pantai, Semarang, Surabaya, Tuban, sampai sini juga,” tuturnya.
Para pendatang dari negeri China mayoritas berdagang sehingga mereka lantas mendirikan sebuah perkumpulan di Malang dan tentu juga mendirikan tempat ibadah berupa klenteng ini. Jadi antara kedatangan orang Tionghoa di Malang dengan pendirian klenteng nyaris sama.
”(Kedatangan Tionghoa) hampir sama, 1825 jadi mereka datang namanya manusia cari Tuhannya, akhirnya mendirikan klenteng ini. Tapi berdagang dulu, terus mendirikan klenteng ini, terus bersama mendirikan klenteng, seperti muslim mendirikan musala,” paparnya.
Seiring banyaknya jamaah membuat kaum Tionghoa yang bermukim di Malang berinisiatif membangun secara gotong royong klenteng. Alhasil mereka mendonasikan uang untuk rekonstruksi klenteng pertamanya.
Menariknya, saat rekonstruksi pertama terdapat ratusan donatur yang menyumbang dengan nominal satu gulden Belanda.
”Satu gulden di tahun 1903 di rekonstruksi pertama itu sudah sangat mahal. Donaturnya ada 200an orang yang dicatatkan pada plakat ini, jadi di sini ada namanya, nama marga, marga Phan contohnya. Dari sini tahu rumpunnya, ini orang mana, orang Hogian,” terangnya.
Di klenteng sendiri terdapat dua plakat yang memuat ratusan nama di dua rekonstruksi awal Klenteng Eng An Kiong. Rekonstruksi pertama pada 1903, sedangkan rekonstruksi kedua dilakukan pada 1912.
Dimana donatur rekonstruksi juga termuat di plakat prasasti yang tertempel di dinding di dalam klenteng, tepatnya di depan kantor yayasan pengelola.
”Sejak datang bawa (keluarga) dan peranak pinak di sini. Mereka berdagang, dulu naik perahu ratusan tahun lalu, laut masih tenang, nggak ada polusi nggak ada apa-apa, jadi berani dan menempati di pesisir pantai, Semarang, Surabaya, Tuban, sampai sini juga,” tuturnya.
Para pendatang dari negeri China mayoritas berdagang sehingga mereka lantas mendirikan sebuah perkumpulan di Malang dan tentu juga mendirikan tempat ibadah berupa klenteng ini. Jadi antara kedatangan orang Tionghoa di Malang dengan pendirian klenteng nyaris sama.
”(Kedatangan Tionghoa) hampir sama, 1825 jadi mereka datang namanya manusia cari Tuhannya, akhirnya mendirikan klenteng ini. Tapi berdagang dulu, terus mendirikan klenteng ini, terus bersama mendirikan klenteng, seperti muslim mendirikan musala,” paparnya.
Seiring banyaknya jamaah membuat kaum Tionghoa yang bermukim di Malang berinisiatif membangun secara gotong royong klenteng. Alhasil mereka mendonasikan uang untuk rekonstruksi klenteng pertamanya.
Menariknya, saat rekonstruksi pertama terdapat ratusan donatur yang menyumbang dengan nominal satu gulden Belanda.
”Satu gulden di tahun 1903 di rekonstruksi pertama itu sudah sangat mahal. Donaturnya ada 200an orang yang dicatatkan pada plakat ini, jadi di sini ada namanya, nama marga, marga Phan contohnya. Dari sini tahu rumpunnya, ini orang mana, orang Hogian,” terangnya.
Di klenteng sendiri terdapat dua plakat yang memuat ratusan nama di dua rekonstruksi awal Klenteng Eng An Kiong. Rekonstruksi pertama pada 1903, sedangkan rekonstruksi kedua dilakukan pada 1912.
Dimana donatur rekonstruksi juga termuat di plakat prasasti yang tertempel di dinding di dalam klenteng, tepatnya di depan kantor yayasan pengelola.
tulis komentar anda