Sejarah Rembang, Diambil dari Ritual Membabat Pengantin Pohon Tebu
Minggu, 26 Juli 2020 - 05:05 WIB
Orang-orang tadi pindah untuk membuat gula merah yang tidak dapat dipatahkan itu, berangkatnya melalui lautan menuju arah barat hingga mendarat di sekitar sungai yang pinggir dan kanan kirinya tumbuh tak teratur pohon bakau.
Kepindahan orang-orang itu dipimpin oleh kakek Pow Ie Din. Setelah mendarat, kemudian mengadakan doa dan semedi, lalu mulai menebang pohon bakau tadi yang diteruskan oleh orang-orang lainnya.
Tanah lapang itu kemudian dibuat tegalan dan pekarangan serta perumahan yang selanjutnya menjadi perkampungan itu dinamakan kampung atau Kabongan, mengambil kata dari sebutan pohon bakau, menjadi Ka-bonga-an (Kabongan).
Pada suatu hari saat fajar menyising di bulan Waisaka, orang-orang akan memulai ngrembang (mbabat atau memangkas) tebu. Sebelum dimulai mbabat diadakan upacara suci Sembahyang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan dikepras atau dipangkas dua pohon, untuk tebu “Pengantin”.
Upacara pengeprasan itu dinamakan “ngRembang sakawit”. Begitulah asal mula kata “ngRembang”. Hingga akhirnya dijadikan nama Kota Rembang hingga saat ini.
Menurut Mbah Guru , upacara ngRembang sakawit ini dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat dinyanyikan Kidung, Minggu Kasadha, Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan Candra Sengkala : Sabda Tiga Wedha Isyara.
Kabupaten Rembang dikenal dengan julukan The Cola of Java, Little Tiongkok dan kota garam. Wilayah Rembang memiliki kontur tanah berdataran rendah dengan ketinggian wilayah maksimum kurang lebih 70 meter di atas permukaan air laut. (Baca juga: Curahan Hati Penyanyi Dangdut Rembang Terdampak Pandemi COVID-19 )
Sedangkan bagian selatan wilayah ini merupakan daerah perbukitan bagian dari Pegunungan Kapur Utara, dengan puncaknya Gunung Butak setinggi 679 meter.
Kini, Kabupaten Rembang mempunyai semboyan "Rembang BANGKIT" yang bermakna Bahagia, Aman, Nyaman, Gotong-royong, Kerja keras, Iman, dan Takwa.
Kepindahan orang-orang itu dipimpin oleh kakek Pow Ie Din. Setelah mendarat, kemudian mengadakan doa dan semedi, lalu mulai menebang pohon bakau tadi yang diteruskan oleh orang-orang lainnya.
Tanah lapang itu kemudian dibuat tegalan dan pekarangan serta perumahan yang selanjutnya menjadi perkampungan itu dinamakan kampung atau Kabongan, mengambil kata dari sebutan pohon bakau, menjadi Ka-bonga-an (Kabongan).
Pada suatu hari saat fajar menyising di bulan Waisaka, orang-orang akan memulai ngrembang (mbabat atau memangkas) tebu. Sebelum dimulai mbabat diadakan upacara suci Sembahyang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan dikepras atau dipangkas dua pohon, untuk tebu “Pengantin”.
Upacara pengeprasan itu dinamakan “ngRembang sakawit”. Begitulah asal mula kata “ngRembang”. Hingga akhirnya dijadikan nama Kota Rembang hingga saat ini.
Menurut Mbah Guru , upacara ngRembang sakawit ini dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat dinyanyikan Kidung, Minggu Kasadha, Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan Candra Sengkala : Sabda Tiga Wedha Isyara.
Kabupaten Rembang dikenal dengan julukan The Cola of Java, Little Tiongkok dan kota garam. Wilayah Rembang memiliki kontur tanah berdataran rendah dengan ketinggian wilayah maksimum kurang lebih 70 meter di atas permukaan air laut. (Baca juga: Curahan Hati Penyanyi Dangdut Rembang Terdampak Pandemi COVID-19 )
Sedangkan bagian selatan wilayah ini merupakan daerah perbukitan bagian dari Pegunungan Kapur Utara, dengan puncaknya Gunung Butak setinggi 679 meter.
Kini, Kabupaten Rembang mempunyai semboyan "Rembang BANGKIT" yang bermakna Bahagia, Aman, Nyaman, Gotong-royong, Kerja keras, Iman, dan Takwa.
(nth)
tulis komentar anda