Pakar HTN: Kebijakan Jokowi Bubarkan 18 Lembaga Negara, Tepat
Rabu, 15 Juli 2020 - 10:48 WIB
Secara empiris, problem inflasi lembaga negara idependen atau kehadiran Lembaga, Komisi dan badan pemerintahan ini mengalami ekspansi secara signifikan karena setiap muncul masalah nasional atau kebijakan membentuk peraturan perundang-undangan untuk urusan tertentu oleh DPR dan Presiden, maka dimunculkan suatu lembaga negara baru tanpa adanya “blue print” yang jelas tentang hakikat serta konsep dasar pembentukan lembaga negara tersebut.
Fahri menuturkan, salah satu bentuk perkembangan teori dan praktik hukum tata negara modern yang banyak diperdebatkan adalah hadirnya organ negara yang dikenal dengan “komisi negara” atau ‘lembaga negara independen’ atau “state auxiliary bodies” atau “state auxiliary agencies”.
"Muara perdebatan ini, hadirnya komisi negara menjadi semacam keniscayaan dalam menjawab kebutuhan praktik ketatanegaraan. Selain itu, kehadiran komisi negara juga didorong oleh fakta munculnya krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara konvensional. Dengan demikian Lembaga, Badan atau Komisi negara diproduksi secara tidak terkendali," tutur dia.
Fahri Bachmid mengungkapkan, menambahkan setelah reformasi pada 1998 lembaga negara independen mulai mendapat tempat dan eksis, karena pada umumnya kinerja lembaga konvensional dianggap tidak memadai.
Namun secara teoritik pertumbuhan lembaga negara independen yang tidak terkendali itu menimbulkan problem teknis ketatanegaraan dan pemerintahan, seperti “overlapping” kewenangan serta membebani keuangan negara.
Menurut Fahri Bachmid, secara akademis, berbagai lembaga negara/komisi/badan itu lahir tanpa konstruksi desain serta konsep ketatanegaraan yang komprehensif, serta pola pengaturan yang terukur, mulai dari dasar hukum, nomengklatur, bentuk, sistem rekruitmen serta relasi hubungan antarorgan-organ kelembagaan negara menjadi rancu dan bias.
"Dari rangkaian keseluruhan permasalahan itu sedikit banyak telah berkontribusi atas terjadinya inflasi lembaga negara independen/badan/komisi saat ini, sehingga dengan demikian menjadi urgent serta bermanfaat jika pemerintah mulai memikirkan serta mengambil peran untuk melakukan konsolidasi serta menata kembali lembaga negara independen dalam kerangka organisasi negara dalam bingkai penguatan sistem pemerintahan presidensial," ungkap Fahri.
Eksistensi kelembagaan lembaga negara, kata Fahri, dapat ditelusuri dari pola pengaturan dengan beragam dasar hukum pembentukannya, mulai dari dasar pembentukan dengan derajat hukum pada level konstitusi (UUD 1945) seperti Komisi Yudisial (KY) dan KPU, maupun pengaturan dengan dasar hukum UU seperti KOMNAS HAM, KPK, KPI, ORI dan Dewan Pers.
Sementara itu, ada juga yang diatur dengan mantel hukum berupa Peraturan Pemerintah seperti PPATK, Komnas Perempuan serta KPAI dan lain-lain. Berdasarkan data empiris terkait keberadaan lembaga-lembaga tersebut dapat dikelompokan dalam dua potret rezim kepemerintahan.
Pertama, Lembaga, Badan atau Komisi yang tergolong didalam Lembaga Negara Non-struktural yang didalamnya terdapat puluhan Badan, Komisi, Dewan, Lembaga, Komite, Komisi, Konsil dll,
Fahri menuturkan, salah satu bentuk perkembangan teori dan praktik hukum tata negara modern yang banyak diperdebatkan adalah hadirnya organ negara yang dikenal dengan “komisi negara” atau ‘lembaga negara independen’ atau “state auxiliary bodies” atau “state auxiliary agencies”.
"Muara perdebatan ini, hadirnya komisi negara menjadi semacam keniscayaan dalam menjawab kebutuhan praktik ketatanegaraan. Selain itu, kehadiran komisi negara juga didorong oleh fakta munculnya krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara konvensional. Dengan demikian Lembaga, Badan atau Komisi negara diproduksi secara tidak terkendali," tutur dia.
Fahri Bachmid mengungkapkan, menambahkan setelah reformasi pada 1998 lembaga negara independen mulai mendapat tempat dan eksis, karena pada umumnya kinerja lembaga konvensional dianggap tidak memadai.
Namun secara teoritik pertumbuhan lembaga negara independen yang tidak terkendali itu menimbulkan problem teknis ketatanegaraan dan pemerintahan, seperti “overlapping” kewenangan serta membebani keuangan negara.
Menurut Fahri Bachmid, secara akademis, berbagai lembaga negara/komisi/badan itu lahir tanpa konstruksi desain serta konsep ketatanegaraan yang komprehensif, serta pola pengaturan yang terukur, mulai dari dasar hukum, nomengklatur, bentuk, sistem rekruitmen serta relasi hubungan antarorgan-organ kelembagaan negara menjadi rancu dan bias.
"Dari rangkaian keseluruhan permasalahan itu sedikit banyak telah berkontribusi atas terjadinya inflasi lembaga negara independen/badan/komisi saat ini, sehingga dengan demikian menjadi urgent serta bermanfaat jika pemerintah mulai memikirkan serta mengambil peran untuk melakukan konsolidasi serta menata kembali lembaga negara independen dalam kerangka organisasi negara dalam bingkai penguatan sistem pemerintahan presidensial," ungkap Fahri.
Eksistensi kelembagaan lembaga negara, kata Fahri, dapat ditelusuri dari pola pengaturan dengan beragam dasar hukum pembentukannya, mulai dari dasar pembentukan dengan derajat hukum pada level konstitusi (UUD 1945) seperti Komisi Yudisial (KY) dan KPU, maupun pengaturan dengan dasar hukum UU seperti KOMNAS HAM, KPK, KPI, ORI dan Dewan Pers.
Sementara itu, ada juga yang diatur dengan mantel hukum berupa Peraturan Pemerintah seperti PPATK, Komnas Perempuan serta KPAI dan lain-lain. Berdasarkan data empiris terkait keberadaan lembaga-lembaga tersebut dapat dikelompokan dalam dua potret rezim kepemerintahan.
Pertama, Lembaga, Badan atau Komisi yang tergolong didalam Lembaga Negara Non-struktural yang didalamnya terdapat puluhan Badan, Komisi, Dewan, Lembaga, Komite, Komisi, Konsil dll,
tulis komentar anda