Gunungan Gula Kelapa, Ajang Syukur Panenan Bagus
A
A
A
KULONPROGO - Warga Gunungrego, Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kulonprogo memiliki cara unik sebagai ungkapan rasa syukur atas melimpahnya hasil panenan gula kelapa atau yang dikenal dengan gula Jawa.
Warga menggelar kirab gunungan gula kelapa dalam rangka merti dusun. Jarum jam di Masjid Ursya’ul Islami, Gunungrego menunjukkan tepat pukul 10.00 WIB pagi. Sejumlah warga masih berdatangan menuju ke masjid dengan membawa tenong(perkakas anyaman bambu untuk tempat makanan).
Di dalam tenong itu terdapat tubing, sayur, lauk, jajan pasar, hingga buah dan ingkung. Tidak lebih dari setengah jam, rois desa memimpin doa bersama. Selepas doa inilah, kirab menuju tokoh adat digelar. Pada barisan pertama berupa kesenian hadroh rebana, disusul penari inkling, pusaka tombak, dan bendera merah putih.
Di belakangnya diusung gunungan Bogo Gati yang merupakan hasil bumi dan gunungan Sri Rezeki berupa gunungan gula kelapa. Paling akhir warga yang membawa tenong berjalan beriringan. Tidak lebih dari 500 meter arak-arakan ini tiba di rumah sesepuh adat. Di tempat itu juga sudah ada panggung untuk pentas wayang kulit pada malam harinya.
Gunungan ini pun dikumpulkan dan didoakan. Setelah itu gunungan hasil bumi diperebutkan. Begitu kelar, warga menggelar makan bersama menikmati nasi tumpeng yang dibawa dalam tenong. “Kami uri-uri lagi (lestarikan), terakhir tradisi ini kami gelar 1970. Sekarang kami mulai dan akan kami lakukan setiap tahun,” kata sesepuh adat, Paiman Dirjo Suprapto.
Gunungan Sri Rezeki menjadi simbol kemakmuran warga. Di mana sebagian besar warga merupakan petani dan pengrajin nira serta gula kelapa. Setiap hari warga menggeluti profesi ini dan mampu dikembangkan menjadi gula kristal atau brown sugar. Sedangkan Gunungan Boko Gati, berisi hasil bumi yang terdiri dari pala gumatung dan pala kapendem. “Ini merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang baik dan memberikan pemahaman kepada generasi muda akan makna tradisi,” katanya.
Tradisi ngalab berkah tersebut menjadi puncak dari seluruh prosesi yang telah dilakukan. Keunikan tersebut juga menjadi daya tarik bagi sejumlah wisatawan lokal, maupun mancanegara. Graham Jowett, wisatawan asing asal Australia, menggunakan Andorid-nya mengabadikan momen ini bersama satu rekannya. Bahkan dia nampak ikut mengambil beberapa buah dan makanan yang diperebutkan.
“Ini cukup unik dan bagus, di tempat saya tidak ada tradisi seperti ini,” katanya. Kedatangannya ke Kulonprogo, sebenarnya hanya kunjungan biasa. Dia merupakan salah satu importir gula kristal yang mengandalkan kiriman dari warga Gunungrego. Momentum ini pun diikuti dengan penuh rasa takjub. “Makanannya juga enak,” ujarnya sambil tertawa.
Kuntadi
Warga menggelar kirab gunungan gula kelapa dalam rangka merti dusun. Jarum jam di Masjid Ursya’ul Islami, Gunungrego menunjukkan tepat pukul 10.00 WIB pagi. Sejumlah warga masih berdatangan menuju ke masjid dengan membawa tenong(perkakas anyaman bambu untuk tempat makanan).
Di dalam tenong itu terdapat tubing, sayur, lauk, jajan pasar, hingga buah dan ingkung. Tidak lebih dari setengah jam, rois desa memimpin doa bersama. Selepas doa inilah, kirab menuju tokoh adat digelar. Pada barisan pertama berupa kesenian hadroh rebana, disusul penari inkling, pusaka tombak, dan bendera merah putih.
Di belakangnya diusung gunungan Bogo Gati yang merupakan hasil bumi dan gunungan Sri Rezeki berupa gunungan gula kelapa. Paling akhir warga yang membawa tenong berjalan beriringan. Tidak lebih dari 500 meter arak-arakan ini tiba di rumah sesepuh adat. Di tempat itu juga sudah ada panggung untuk pentas wayang kulit pada malam harinya.
Gunungan ini pun dikumpulkan dan didoakan. Setelah itu gunungan hasil bumi diperebutkan. Begitu kelar, warga menggelar makan bersama menikmati nasi tumpeng yang dibawa dalam tenong. “Kami uri-uri lagi (lestarikan), terakhir tradisi ini kami gelar 1970. Sekarang kami mulai dan akan kami lakukan setiap tahun,” kata sesepuh adat, Paiman Dirjo Suprapto.
Gunungan Sri Rezeki menjadi simbol kemakmuran warga. Di mana sebagian besar warga merupakan petani dan pengrajin nira serta gula kelapa. Setiap hari warga menggeluti profesi ini dan mampu dikembangkan menjadi gula kristal atau brown sugar. Sedangkan Gunungan Boko Gati, berisi hasil bumi yang terdiri dari pala gumatung dan pala kapendem. “Ini merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang baik dan memberikan pemahaman kepada generasi muda akan makna tradisi,” katanya.
Tradisi ngalab berkah tersebut menjadi puncak dari seluruh prosesi yang telah dilakukan. Keunikan tersebut juga menjadi daya tarik bagi sejumlah wisatawan lokal, maupun mancanegara. Graham Jowett, wisatawan asing asal Australia, menggunakan Andorid-nya mengabadikan momen ini bersama satu rekannya. Bahkan dia nampak ikut mengambil beberapa buah dan makanan yang diperebutkan.
“Ini cukup unik dan bagus, di tempat saya tidak ada tradisi seperti ini,” katanya. Kedatangannya ke Kulonprogo, sebenarnya hanya kunjungan biasa. Dia merupakan salah satu importir gula kristal yang mengandalkan kiriman dari warga Gunungrego. Momentum ini pun diikuti dengan penuh rasa takjub. “Makanannya juga enak,” ujarnya sambil tertawa.
Kuntadi
(ftr)