Rektor Ngeluh Biaya Akreditasi Prodi Mahal

Jum'at, 08 Mei 2015 - 10:47 WIB
Rektor Ngeluh Biaya Akreditasi Prodi Mahal
Rektor Ngeluh Biaya Akreditasi Prodi Mahal
A A A
SURABAYA - Rektor perguruan tinggi negeri (PTN) di Jawa Timur yang tergabung dalam Paguyuban Rektor kompak mengeluh.

Di hadapan Ketua dan anggota Komisi X DPR RI yang melaksanakan kunjungan ke Kantor Manajemen Kampus C Universitas Airlangga (Unair) dalam rangka reses masa persidangan III tahun sidang 14-15, secara bergantian mereka menyampaikan masalah yang dihadapi. Rektor Unair Prof Fasich mengawali menyampaikan masukan.

Pria yang akan mengakhiri massa tugasnya sebagai rektor ini mengaku merasa iri jika melihat sarana prasarana (sarpras) pendidikan di Indonesia dibanding Singapura. ”Unair sudah seperti ini saja masih kurang fasilitasnya. Asrama hanya mampu menampung tak lebih 200 orang. Per tahun (Unair) terima 600 orang. Kalau bicara fasilitas yang lain, lapangan bola, kolam renang, kami tidak punya,” kata Fasich di hadapan Komisi X yang dipimpin Teuku Riefky Harsya.

Rektor Universitas Brawijaya (UB) Mohammad Bisri menyampaikan mahalnya biaya akreditasi program pendidikan (prodi). Akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) bagus dan tidak bayar. ”Karena BAN PT kekurangan SDM, akhirnya membentuk asesor mandiri untuk melaksanakan akreditasi dan ini berbayar. Setiap jurusan prodi biayanya bisa Rp25 juta, bahkan hingga Rp35 juta,” kata Bisri.

Semakin banyak prodi akan semakin banyak anggaran yang harus dikeluarkan kampus. Masalah lain yang juga dilontarkan Bisri adalah keberadaan dosen non-PNS cukup banyak. ”Solusinya angkat dosen non- PNS, sehingga penggajian ikut negara. Di UB dosen non-PNS jumlahnya ratusan dan ini membebani keuangan,” kata Bisri.

Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Joni Hermana mengungkapkan, sehubungan bakal diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dia mendorong PTN mencetak mahasiswa menjadi SDM yang selevel dengan lulusan kampus lain di ASEAN. ”Namun, ini perlu didukung pemerintah, harus punya akreditasi yang standar sama dengan ASEAN,” sebut Joni.

Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ini juga menyinggung mahalnya biaya akreditasi. ITS yang memiliki 27 jurusan memerlukan Rp200 juta per tahun untuk biaya akreditasi lima jurusan. Di sisi lain, pemerintah melepas begitu saja PTN dalam melaksanakan akreditasi. PTN lebih memilih mengikuti akreditasi skala ASEAN, bahkan internasional karena secara lebih murah dibanding biaya akreditasi nasional.

Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Warsono mengeluhkan soal pergantian kurikulum pendidikan. Padahal, kurikulum merupakan arah atau tujuan pengembangan SDM. ”Kurikulum yang berubah- ubah, maju-mundur seperi tari poco-poco,” katanya.

Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah menyatakan, pola UKT akan direvisi ulang. ”Banyak masalah pendidikan di Tanah Air, termasuk di Jember, angka buta huruf masih tinggi,” kata Anang yang asli dan berangkat dari daerah pemilihan Jember dan sekitarnya ini.

Ketua Komisi X DPR RI Teuku Riefky menyatakan, pihaknya turun ke Jatim dan provinsi lain untuk mendengar langsung masukan PTN. ”Terutama soal Bidikmisi dan status pegawai di PTN bantuan untuk perguruan tinggi swasta dan lainnya,” kata Teuku.

Soeprayitno
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5995 seconds (0.1#10.140)