Centre Point Akan Dirobohkan
A
A
A
MEDAN - PT Kereta Api Indonesia (KAI) segera merobohkan bangunan Centre Point dan bangunan lain di atas lahan seluas 7,3 hektare (Ha) di Jalan Jawa Medan, setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukannya.
Putusan MA terhadap PK yang dimohonkan PT KAI pada 3 Maret 2014 lalu dan diregistrasi dengan nomor: W 2.U 1/- 19.426/Pdt.04.10/12/2013 itu, diterbitkan pada 21 April 2015. Dengan demikian putusan ini membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Medan, putusan Pengadilan Tinggi (PT) Medan, dan putusan kasasi MA yang memenangkan PT Arga Citra Kharisma (ACK).
“Kami sangat berterima kasih kepada MA yang akhirnya mengabulkan permohonan PK PT KAI. MA mengabulkan PK dengan 17 novum baru yang kami ajukan dengan luas lahan seluruhnya sekitar 7,2 hektare,” kata Kepala Divre PT KAI Sumut dan Aceh, Saridal dalam konferensi pers di Stasiun Kereta Api Besar Kota Medan, kemarin.
Saridal menegaskan, setelah ada putusan MA tersebut, maka langkah selanjutnya yang akan dilakukan mereka, yaitu menunggu instruksi dari direksi dan komisaris PT KAI. Sebab untuk mengeksekusi harus ada penetapan penyitaan dari Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Saya dapat kabar satu pekan yang lalu, penetapan penyitaan itu sedang dalam proses.” “Kemudian PK ini kan ditangani oleh direksi dan komisaris PT KAI Pusat. Jadi, kami menjalani sesuai dengan instruksi dari pimpinan. Kalau ada instruksi dirobohkan, ya dirubuhkan. Tinggal bagaimana nanti mencari konsultannya saja, berapa biayanya, baru kemudian dirobohkan,” ujarnya.
Ditanyai mengenai bagaimana nasib karyawan yang bekerja di Centre Point jika bangunan dirobohkan, Saridal berujar, hal itu bukan tanggung jawab dari PT KAI. “Siapa yang membangun gedung tanpa izin itu? Yang jelas kalau diinstruksikan dirobohkan ya akan dirobohkan.
Tidak akan ada transaksi jual beli atau bagi dua. Karena kami akan menggunakan lahan itu untuk membangun kebutuhan kereta api. Konsepnya sudah ada, tapi saya belum berani menyampaikannya karena membangun itu harus ada amdal (analisa mengenai dampak lingkungan) dan desainnya dulu,” kata Saridal.
Dia menceritakan, sengketa lahan ini berawal dari kerja sama antara PT KAI dengan PT Inanta pada 1981 untuk membangun rumah dinas karyawan 288 unit, termasuk sarana dan prasarananya di lahan seluas 7,2 hektare di Jalan Jawa. Namun, karena tidak sanggup sehingga PT Inanta mengalihkan kepada PT Bonauli dan perubahan lokasi pembangunan perumahan itu.
Namun hingga akhir 1994, PT Bonauli tidak melanjutkan pembangunan seperti disebutkan dalam perjanjian. “PT Bonauli malah mengalihkan kepada PT ACK tanpa sepengetahuan kami. PT ACK sendiri tidak pernah memberikan apa pun kepada kami. Mereka menguasai dan menyerobot lahan dengan membangun gedung setinggi itu (Centre Point). Kami melakukan perlawanan. Hingga akhirnya ada putusan Mahkamah Agung. Tapi, Pemko Medan malah mau mengeluarkan izin perubahan peruntukan. Padahal jelas-jelas tidak ada IMB (izin membangun bangunan). Ya, jelas memang ada dugaan main mata itu,” katanya.
Sementara Hakim Tua Harahap, kuasa hukum PT ACK mengatakan, operasional seluruh bangunan megah yang berdiri di Jalan Jawa itu tidak akan terganggu dengan ada putusan MA dan proses hukum di Kejagung. Demikian pula bila nanti terjadi kemungkinan terburuk, yaitu Centre Point disita.
Dia mengaku belum menerima salinan putusan PK itu sehingga belum mengetahui apa isi putusannya. “Jadi apa yang mau dikomentari, kami tidak tahu apa alasan hukumnya dalam putusan itu. Ini saya rasa sama dengan putusan pidana, karena disebut dihukum sekian tahun, tetapi kami tidak tahu apa alasannya dihukum. Jadi ya jadi biarkan saja dulu begitu,” katanya ketika dikonfirmasi wartawan, kemarin.
Menurut dia, secara keseluruhan pembangunan kompleks Centre Point sudah mencapai 70% dan tidak lama lagi bangunan megah tersebut akan selesai. Ditanya jika PT ACK dinyatakan bersalah dalam perkara ini dan bangunan dirobohkan, Hakim Tua menegaskan, kliennya siap menghadapi kemungkinan tersebut. “Ya, kita lihat saja nanti kalau memang mau dirobohkan. Tapi, kami minta masyarakat mendukung kami, karena di Centre Point ada 3.000 karyawan yang bekerja. Kalau ditutup, mau kemana karyawan ini,” katanya.
Terpisah, pengamat hukum Hamdani Harahap mengatakan, kemenangan PT KAI atas lahan Jalan Jawa harus dikelola dengan baik oleh Kejagung selaku pengacara negara. Karena itu, negara harus mengambil alih gedung itu sehingga PT ACK membangun gedung di atas tanah yang bukan miliknya. “Gedung itu dibangun PT ACK di atas tanah negara, maka dengan sendirinya gedung itu adalah aset negara,” ujarnya.
Sebab pihak PT ACK sejak awal sudah melawan hukum saat membangun gedung itu. Menurut dia, ini adalah langkah awal bahwa negara memiliki kekuatan dan tidak takluk di tangan pemilik modal.
Pemerintah maupun pihak legislatif harus mengutamakan aspek kegunaan dan kepastian hukum atas gedung itu. “Itulah konsekuensinya jika melawan hukum, maka asetnya pun diambil alih oleh negara,” katanya.
Eko agustyo fb/ Panggabean hasibuan/ Frans marbun
Putusan MA terhadap PK yang dimohonkan PT KAI pada 3 Maret 2014 lalu dan diregistrasi dengan nomor: W 2.U 1/- 19.426/Pdt.04.10/12/2013 itu, diterbitkan pada 21 April 2015. Dengan demikian putusan ini membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Medan, putusan Pengadilan Tinggi (PT) Medan, dan putusan kasasi MA yang memenangkan PT Arga Citra Kharisma (ACK).
“Kami sangat berterima kasih kepada MA yang akhirnya mengabulkan permohonan PK PT KAI. MA mengabulkan PK dengan 17 novum baru yang kami ajukan dengan luas lahan seluruhnya sekitar 7,2 hektare,” kata Kepala Divre PT KAI Sumut dan Aceh, Saridal dalam konferensi pers di Stasiun Kereta Api Besar Kota Medan, kemarin.
Saridal menegaskan, setelah ada putusan MA tersebut, maka langkah selanjutnya yang akan dilakukan mereka, yaitu menunggu instruksi dari direksi dan komisaris PT KAI. Sebab untuk mengeksekusi harus ada penetapan penyitaan dari Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Saya dapat kabar satu pekan yang lalu, penetapan penyitaan itu sedang dalam proses.” “Kemudian PK ini kan ditangani oleh direksi dan komisaris PT KAI Pusat. Jadi, kami menjalani sesuai dengan instruksi dari pimpinan. Kalau ada instruksi dirobohkan, ya dirubuhkan. Tinggal bagaimana nanti mencari konsultannya saja, berapa biayanya, baru kemudian dirobohkan,” ujarnya.
Ditanyai mengenai bagaimana nasib karyawan yang bekerja di Centre Point jika bangunan dirobohkan, Saridal berujar, hal itu bukan tanggung jawab dari PT KAI. “Siapa yang membangun gedung tanpa izin itu? Yang jelas kalau diinstruksikan dirobohkan ya akan dirobohkan.
Tidak akan ada transaksi jual beli atau bagi dua. Karena kami akan menggunakan lahan itu untuk membangun kebutuhan kereta api. Konsepnya sudah ada, tapi saya belum berani menyampaikannya karena membangun itu harus ada amdal (analisa mengenai dampak lingkungan) dan desainnya dulu,” kata Saridal.
Dia menceritakan, sengketa lahan ini berawal dari kerja sama antara PT KAI dengan PT Inanta pada 1981 untuk membangun rumah dinas karyawan 288 unit, termasuk sarana dan prasarananya di lahan seluas 7,2 hektare di Jalan Jawa. Namun, karena tidak sanggup sehingga PT Inanta mengalihkan kepada PT Bonauli dan perubahan lokasi pembangunan perumahan itu.
Namun hingga akhir 1994, PT Bonauli tidak melanjutkan pembangunan seperti disebutkan dalam perjanjian. “PT Bonauli malah mengalihkan kepada PT ACK tanpa sepengetahuan kami. PT ACK sendiri tidak pernah memberikan apa pun kepada kami. Mereka menguasai dan menyerobot lahan dengan membangun gedung setinggi itu (Centre Point). Kami melakukan perlawanan. Hingga akhirnya ada putusan Mahkamah Agung. Tapi, Pemko Medan malah mau mengeluarkan izin perubahan peruntukan. Padahal jelas-jelas tidak ada IMB (izin membangun bangunan). Ya, jelas memang ada dugaan main mata itu,” katanya.
Sementara Hakim Tua Harahap, kuasa hukum PT ACK mengatakan, operasional seluruh bangunan megah yang berdiri di Jalan Jawa itu tidak akan terganggu dengan ada putusan MA dan proses hukum di Kejagung. Demikian pula bila nanti terjadi kemungkinan terburuk, yaitu Centre Point disita.
Dia mengaku belum menerima salinan putusan PK itu sehingga belum mengetahui apa isi putusannya. “Jadi apa yang mau dikomentari, kami tidak tahu apa alasan hukumnya dalam putusan itu. Ini saya rasa sama dengan putusan pidana, karena disebut dihukum sekian tahun, tetapi kami tidak tahu apa alasannya dihukum. Jadi ya jadi biarkan saja dulu begitu,” katanya ketika dikonfirmasi wartawan, kemarin.
Menurut dia, secara keseluruhan pembangunan kompleks Centre Point sudah mencapai 70% dan tidak lama lagi bangunan megah tersebut akan selesai. Ditanya jika PT ACK dinyatakan bersalah dalam perkara ini dan bangunan dirobohkan, Hakim Tua menegaskan, kliennya siap menghadapi kemungkinan tersebut. “Ya, kita lihat saja nanti kalau memang mau dirobohkan. Tapi, kami minta masyarakat mendukung kami, karena di Centre Point ada 3.000 karyawan yang bekerja. Kalau ditutup, mau kemana karyawan ini,” katanya.
Terpisah, pengamat hukum Hamdani Harahap mengatakan, kemenangan PT KAI atas lahan Jalan Jawa harus dikelola dengan baik oleh Kejagung selaku pengacara negara. Karena itu, negara harus mengambil alih gedung itu sehingga PT ACK membangun gedung di atas tanah yang bukan miliknya. “Gedung itu dibangun PT ACK di atas tanah negara, maka dengan sendirinya gedung itu adalah aset negara,” ujarnya.
Sebab pihak PT ACK sejak awal sudah melawan hukum saat membangun gedung itu. Menurut dia, ini adalah langkah awal bahwa negara memiliki kekuatan dan tidak takluk di tangan pemilik modal.
Pemerintah maupun pihak legislatif harus mengutamakan aspek kegunaan dan kepastian hukum atas gedung itu. “Itulah konsekuensinya jika melawan hukum, maka asetnya pun diambil alih oleh negara,” katanya.
Eko agustyo fb/ Panggabean hasibuan/ Frans marbun
(ftr)