Makam Bintang Lima Bakal Kena Pajak
A
A
A
LAYAKNYA rumah, kepemilikan makam mewah dewasa ini sudah menjadi gaya hidup dan simbol status sosial di masyarakat. Tapi siap-siap saja karena harga tanah dan fasilitas wahtersebut ternyata kini mendapat sorotan pemerintah pusat.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) sedang mengkaji untuk menarik pajak bumi dan bangunan (PBB) dari kepe milikan properti eksklusif tersebut.
Berdasarkan undang-undang, pemakaman adalah objek lahan yang bebas PBB karena memunyai fungsi sosial. Tapi khusus yang ini, Kementerian Agraria beralasan pemakaman mewah dinilai tidak memunyai fungsi sosial, bahkan hanya cenderung komersial. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Musyidan Baldan menyatakan akan membidik kuburan bintang lima untuk dikenakan pajak.
“Umumnya kalau pemakaman itu bebas pajak. Tapi kanbegini, tanah perkuburan itu awalnya merupakan tempat pemakaman bagi warga sekitar. Enggak ada hal yang wah, namun ketika ada yang hanya dengan biaya tertentu, bisa. Nahini menjadi pertanyaan, fungsi sosialnya dimana, karena inti dari pemakaman itu adalah fungsi sosial. Jangan sampai orang yang keluarganya punya uang itu cuma mereka, yang lain tidak boleh,” ujar Ferry dikutip Okezone.
Ferry menuturkan jangan sampai ada bahasa “orang takut mati karena enggak bisa dikubur”. Pada dasarnya kuburan merupakan objek lahan yang bebas pajak, sebagaimana fungsi sosial yang dijelaskan dalam undangundang. “Semacam ada ekslusivitas, sosialnyaenggakada. Dan itu kan menjadi pertanyaan. Kuburan yang biasa itu enggakapa-apa, dan dari dulu harus dan bebas dari PBB,” ujarnya.
Pandangan pemakaman itu tidak memiliki fungsi sosial, kata dia, akan menyusahkan masyarakat, baik anggota keluarga, atau orang lain yang meninggal. Pegamat properti Jawa Barat Yana Mulyana tak sependapat dengan rencana pemerintah tersebut. Pasalnya keberadaan pemakaman tersebut dinilai tetap memiliki nilai fungsi sosial.
“Ya, kalau bisa, sebaiknya tidak dilakukan. Tapi bila harus dilakukan kenaikan sebaiknya berkisar 10 sampai 20 persen,” ungkap Menurutnya, meski harga lahan di kawasan pemakaman mewah terbilang mewah, namun tak semua orang yang memiliki lahan pemakaman di tempat itu terbilang orang yang berlebih secara ekonomi. Keberadaan pemakaman sudah menjadi sebuah kebutuhan untuk memberikan penghormatan kepada keluarga atau leluhur.
“Soal anggapan mewah tentu tak selamanya benar. Ada di antaranya mereka yang memiliki lahan di pemakaman itu bukan dari kalangan ekonomi berlebih. Tapi karena sebuah penghormatan, mereka memaksakan untuk memilikinya,” ungkapnya. Meski alasan pengenaan PBB tersebut didasarkan kekhawatiran menyusahkan masyarakat, namun sejauh ini juga pemerintah belum mampu memberikan fasilitas pemakaman yang layak.
Bahkan kewajiban penyediaan lahan sebesar 2% yang dibebankan pemerintah kepada pengembang, sejauh ini dinilainya tak berjalan secara efektif. “Sekarang ajadi Kabupaten atau Kota Bandung, pemakaman umum tidak bertambah. Tetap saja di Sinaraga atau pemakaman umum yang sudah ada. Hal itu tidak dikelola dengan baik,” ujarnya. Sebagai gambaran dia juga memertanyakan pemakaman umum di kota-kota besar, dengan kondisi yang saling menumpuk. Bahkan hingga diinjak-injak warga.
“Kenyataannya saat ini, apakah pemerintah sudah mampu menyiapkan pemakaman umum? Di Bandung juga tak tertata,temuan di lapangan saja bila pihak keluarga tidak mampu membayar beban pemeliharaan selama dua tahun. Makam tersebut langsung ditumpuk,” paparnya.
Yana mengibarakatkan keberadaan lahan pemakaman itu seperti perumahan. Sehingga fasilitas itu merupakan pilihan yang bisa diakses masyarakat.
Heru muthahari
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) sedang mengkaji untuk menarik pajak bumi dan bangunan (PBB) dari kepe milikan properti eksklusif tersebut.
Berdasarkan undang-undang, pemakaman adalah objek lahan yang bebas PBB karena memunyai fungsi sosial. Tapi khusus yang ini, Kementerian Agraria beralasan pemakaman mewah dinilai tidak memunyai fungsi sosial, bahkan hanya cenderung komersial. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Musyidan Baldan menyatakan akan membidik kuburan bintang lima untuk dikenakan pajak.
“Umumnya kalau pemakaman itu bebas pajak. Tapi kanbegini, tanah perkuburan itu awalnya merupakan tempat pemakaman bagi warga sekitar. Enggak ada hal yang wah, namun ketika ada yang hanya dengan biaya tertentu, bisa. Nahini menjadi pertanyaan, fungsi sosialnya dimana, karena inti dari pemakaman itu adalah fungsi sosial. Jangan sampai orang yang keluarganya punya uang itu cuma mereka, yang lain tidak boleh,” ujar Ferry dikutip Okezone.
Ferry menuturkan jangan sampai ada bahasa “orang takut mati karena enggak bisa dikubur”. Pada dasarnya kuburan merupakan objek lahan yang bebas pajak, sebagaimana fungsi sosial yang dijelaskan dalam undangundang. “Semacam ada ekslusivitas, sosialnyaenggakada. Dan itu kan menjadi pertanyaan. Kuburan yang biasa itu enggakapa-apa, dan dari dulu harus dan bebas dari PBB,” ujarnya.
Pandangan pemakaman itu tidak memiliki fungsi sosial, kata dia, akan menyusahkan masyarakat, baik anggota keluarga, atau orang lain yang meninggal. Pegamat properti Jawa Barat Yana Mulyana tak sependapat dengan rencana pemerintah tersebut. Pasalnya keberadaan pemakaman tersebut dinilai tetap memiliki nilai fungsi sosial.
“Ya, kalau bisa, sebaiknya tidak dilakukan. Tapi bila harus dilakukan kenaikan sebaiknya berkisar 10 sampai 20 persen,” ungkap Menurutnya, meski harga lahan di kawasan pemakaman mewah terbilang mewah, namun tak semua orang yang memiliki lahan pemakaman di tempat itu terbilang orang yang berlebih secara ekonomi. Keberadaan pemakaman sudah menjadi sebuah kebutuhan untuk memberikan penghormatan kepada keluarga atau leluhur.
“Soal anggapan mewah tentu tak selamanya benar. Ada di antaranya mereka yang memiliki lahan di pemakaman itu bukan dari kalangan ekonomi berlebih. Tapi karena sebuah penghormatan, mereka memaksakan untuk memilikinya,” ungkapnya. Meski alasan pengenaan PBB tersebut didasarkan kekhawatiran menyusahkan masyarakat, namun sejauh ini juga pemerintah belum mampu memberikan fasilitas pemakaman yang layak.
Bahkan kewajiban penyediaan lahan sebesar 2% yang dibebankan pemerintah kepada pengembang, sejauh ini dinilainya tak berjalan secara efektif. “Sekarang ajadi Kabupaten atau Kota Bandung, pemakaman umum tidak bertambah. Tetap saja di Sinaraga atau pemakaman umum yang sudah ada. Hal itu tidak dikelola dengan baik,” ujarnya. Sebagai gambaran dia juga memertanyakan pemakaman umum di kota-kota besar, dengan kondisi yang saling menumpuk. Bahkan hingga diinjak-injak warga.
“Kenyataannya saat ini, apakah pemerintah sudah mampu menyiapkan pemakaman umum? Di Bandung juga tak tertata,temuan di lapangan saja bila pihak keluarga tidak mampu membayar beban pemeliharaan selama dua tahun. Makam tersebut langsung ditumpuk,” paparnya.
Yana mengibarakatkan keberadaan lahan pemakaman itu seperti perumahan. Sehingga fasilitas itu merupakan pilihan yang bisa diakses masyarakat.
Heru muthahari
(ars)