Sultan Syarif Kasim II dan Bukti Kesetiaannya pada Indonesia
A
A
A
SULTAN Syarif Kasim II sangat berjasa bagi Indonesia. Saat menyatakan kesetiaan pada Republik Indonesia, mahkota, pedang, dan sebagian hartanya diserahkan kepada Soekarno-Hatta. Berikut kisahnya.
Bicara tentang sosok Sultan Syarif Kasim II tak bisa dipisahkan dari Kesultanan Siak Sri Indrapura yang merupakan kesultanan terbesar di Riau. Kesultanan itu didirikan oleh Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah pada 1723.
Sultan Syarif Kasim II yang lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893 adalah Sultan Siak Sri Indrapura ke-12. Dia menggantikan ayahnya, Sultan Assyaidin Hasyim I Abdul Jalil Syaifuddin yang wafat pada 1908. Namun, dia baru dinobatkan menjadi sultan pada 13 Maret 1915, dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin. Dia berkuasa hingga 1946.
Sejak dinobatkan sebagai sultan, dia menegaskan sikap bahwa Kerajaan Siak adalah kerajaan yang berkedudukan sejajar dengan Belanda. Hal ini tidak seperti isi kontrak perjanjian antara Kesultanan Siak dengan Belanda yang menyatakan bahwa Siak adalah milik Kerajaan Belanda yang dipinjamkan kepada sultan.
Demi mencerdaskan rakyatnya, Sultan Syarif Kasim II menyelenggarakan program pendidikan dengan mendirikan Hollandsch Inlandsche School (HIS) di samping sekolah berbahasa melayu yang diperuntukkan bagi semua lapisan penduduk.
Untuk mempermudah transportasi bagi para siswa, dia membuat perahu penyeberangan gratis. Bahkan, bagi para siswa yang berbakat diberikan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke luar daerah seperti Medan, Padang, dan Batavia.
Dia juga mendirikan sekolah agama khusus laki-laki dengan nama Taufiqiah Al-Hasyimah. Tak tanggung-tanggung, tenaga pengajar didatangkan dari Padang dan Mesir.
Selama memimpin, dia sangat menentang dan menolak kebijakan Belanda yang mewajibkan agar rakyat melakukan kerja rodi. Penentangan ini oleh pihak Belanda dianggap sebagai penolakan pribadi Sultan.
Belanda tak bisa terima. Sultan Syarif Kasim II dianggap memberontak. Untuk menumpas pemberontakan itu, Belanda melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk. Bahkan, Belanda mendatangkan bala bantuan di bawah pimpinan Letnan Leitser yang telah berpengalaman dalam Perang Aceh.
Namun, usaha Leitser untuk menumpas pemberontakan tersebut gagal. Bahkan, Leitser tewas bunuh diri pada 1932.
Di masa pendudukan Jepang, Sultan Syarif Kasim II juga tetap konsisten membela rakyatnya agar menolak untuk menjadi tenaga Romusha.
Setelah mendapat kabar Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Sultan Syarif Kasim II mengirim surat kepada Soekarno-Hatta. Surat itu berisi tentang kesetiaan dan dukungan kepada Pemerintah RI.
Sebagai mahar, dia disebut menyerahkan harta kekayaannya untuk perjuangan senilai 13 juta gulden. Dia juga disebut menyerahkan mahkota dan pedang Kesultanan Siak.
Pada Oktober 1945, Sultan Syarif Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) di Siak, yang dipimpin Dr Tobing. Dia lalu membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik.
Setelah badan-badan perjuangan itu terbentuk, Sultan Syarif Kasim II mengadakan rapat umum di istana dan bendera Merah Putih dikibarkan pada rapat umum itu. Bersama rakyat Siak, Sultan berikrar untuk sehidup semati mempertahankan kemerdekaan RI.
Ketika pecah revolusi sosial di Sumatera Timur, Sultan Syarif Kasim II sedang berada di Medan dan menemui Gubernur Sumatera Teungku Muhammad Hasan guna mendapatkan penjelasan status sultan dalam Pemerintah RI.
Dari Medan, Sultan Syarif Kasim II kemudian ke Langkat. Di sana, dia terus aktif menyuplai bahan makanan untuk para laskar dengan cara memberi modal sebuah kedai pangan.
Untuk kedua kalinya, Sultan menyerahkan 30 persen dari kekayaannya berupa emas kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta. Emas itu dipergunakan untuk kepentingan perjuangan.
Sultan Syarif Kasim II wafat 23 April 1968 di Rumbai, Pekanbaru, Riau. Jenazahnya dimakamkan di lingkungan Masjid Agung di Kota Siak, Riau.
Pada 1998, Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Syarif Kasim II. Hal itu tertuang dalam SK Presiden RI Nomor 109/TK/1998, tertanggal 6 November 1998.
Namanya juga diabadikan sebagai nama bandar udara (bandara) internasional di Pekanbaru, Riau.
Sumber: melayuonline.com dan pahlawancenter.com.
Bicara tentang sosok Sultan Syarif Kasim II tak bisa dipisahkan dari Kesultanan Siak Sri Indrapura yang merupakan kesultanan terbesar di Riau. Kesultanan itu didirikan oleh Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah pada 1723.
Sultan Syarif Kasim II yang lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893 adalah Sultan Siak Sri Indrapura ke-12. Dia menggantikan ayahnya, Sultan Assyaidin Hasyim I Abdul Jalil Syaifuddin yang wafat pada 1908. Namun, dia baru dinobatkan menjadi sultan pada 13 Maret 1915, dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin. Dia berkuasa hingga 1946.
Sejak dinobatkan sebagai sultan, dia menegaskan sikap bahwa Kerajaan Siak adalah kerajaan yang berkedudukan sejajar dengan Belanda. Hal ini tidak seperti isi kontrak perjanjian antara Kesultanan Siak dengan Belanda yang menyatakan bahwa Siak adalah milik Kerajaan Belanda yang dipinjamkan kepada sultan.
Demi mencerdaskan rakyatnya, Sultan Syarif Kasim II menyelenggarakan program pendidikan dengan mendirikan Hollandsch Inlandsche School (HIS) di samping sekolah berbahasa melayu yang diperuntukkan bagi semua lapisan penduduk.
Untuk mempermudah transportasi bagi para siswa, dia membuat perahu penyeberangan gratis. Bahkan, bagi para siswa yang berbakat diberikan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke luar daerah seperti Medan, Padang, dan Batavia.
Dia juga mendirikan sekolah agama khusus laki-laki dengan nama Taufiqiah Al-Hasyimah. Tak tanggung-tanggung, tenaga pengajar didatangkan dari Padang dan Mesir.
Selama memimpin, dia sangat menentang dan menolak kebijakan Belanda yang mewajibkan agar rakyat melakukan kerja rodi. Penentangan ini oleh pihak Belanda dianggap sebagai penolakan pribadi Sultan.
Belanda tak bisa terima. Sultan Syarif Kasim II dianggap memberontak. Untuk menumpas pemberontakan itu, Belanda melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk. Bahkan, Belanda mendatangkan bala bantuan di bawah pimpinan Letnan Leitser yang telah berpengalaman dalam Perang Aceh.
Namun, usaha Leitser untuk menumpas pemberontakan tersebut gagal. Bahkan, Leitser tewas bunuh diri pada 1932.
Di masa pendudukan Jepang, Sultan Syarif Kasim II juga tetap konsisten membela rakyatnya agar menolak untuk menjadi tenaga Romusha.
Setelah mendapat kabar Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Sultan Syarif Kasim II mengirim surat kepada Soekarno-Hatta. Surat itu berisi tentang kesetiaan dan dukungan kepada Pemerintah RI.
Sebagai mahar, dia disebut menyerahkan harta kekayaannya untuk perjuangan senilai 13 juta gulden. Dia juga disebut menyerahkan mahkota dan pedang Kesultanan Siak.
Pada Oktober 1945, Sultan Syarif Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) di Siak, yang dipimpin Dr Tobing. Dia lalu membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik.
Setelah badan-badan perjuangan itu terbentuk, Sultan Syarif Kasim II mengadakan rapat umum di istana dan bendera Merah Putih dikibarkan pada rapat umum itu. Bersama rakyat Siak, Sultan berikrar untuk sehidup semati mempertahankan kemerdekaan RI.
Ketika pecah revolusi sosial di Sumatera Timur, Sultan Syarif Kasim II sedang berada di Medan dan menemui Gubernur Sumatera Teungku Muhammad Hasan guna mendapatkan penjelasan status sultan dalam Pemerintah RI.
Dari Medan, Sultan Syarif Kasim II kemudian ke Langkat. Di sana, dia terus aktif menyuplai bahan makanan untuk para laskar dengan cara memberi modal sebuah kedai pangan.
Untuk kedua kalinya, Sultan menyerahkan 30 persen dari kekayaannya berupa emas kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta. Emas itu dipergunakan untuk kepentingan perjuangan.
Sultan Syarif Kasim II wafat 23 April 1968 di Rumbai, Pekanbaru, Riau. Jenazahnya dimakamkan di lingkungan Masjid Agung di Kota Siak, Riau.
Pada 1998, Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Syarif Kasim II. Hal itu tertuang dalam SK Presiden RI Nomor 109/TK/1998, tertanggal 6 November 1998.
Namanya juga diabadikan sebagai nama bandar udara (bandara) internasional di Pekanbaru, Riau.
Sumber: melayuonline.com dan pahlawancenter.com.
(zik)