Pakaian Bekas Impor Masih Dijual Bebas
A
A
A
UNGARAN - Larangan penjualan pakaian bekas impor oleh Kementerian Perdagangan, tidak diindahkan pedagang di Kabupaten Semarang.
Mereka masih bebas melakukan transaksi jual beli di sejumlah lokasi. Karena itu, DPRD setempat mendesak pemkab menggelar razia penertiban pedagang pakaian bekas impor yang membandel.
“Kalau sudah ada larangan, semestinya pemkab menggelar operasi penertiban. Tapi karena dibiarkan, pedagang pakaian bekas impor malah semakin banyak. Disperindag (Dinas Koperasi, UMKM Perindustrian dan Perdagangan) harus terjun ke lapangan menertibkan mereka,” kata Ketua DPRD Kabupaten Semarang, Bambang Kusriyanto kemarin.
Dari pantauan KORAN SINDO, penjual pakaian bekas impor yang juga dikenal sebagai penjual awul-awul ini mudah dijumpai di pinggir sejumlah jalan protokol di Kabupaten Semarang. Seperti yang terlihat di sepanjang jalan Ungaran- Bawen, banyak berdiri tenda-tenda penjual pakaian bekas.
Bagi Bambang, aktivitas penjualan awul-awul ini sangat memprihatinkan mengingat ada temuan bakteri di baju bekas impor oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) di beberapa daerah di Indonesia. Terbaru, Kemendag menemukan bakteri dan jamur patogen pada pakaian bekas impor yang beredar di Pasar Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri).
“Di sisi lain, saat ini banyak produk garmen dalam negeri yang kualitasnya bagus dengan harga terjangkau oleh masyarakat. Jadi, sudah tidak ada alasan bagi Pemkab Semarang untuk bertindak tegas,” tandasnya. Menurut Aldi, 33, pedagang awul-awul asal Padang, anggapan pakaian bekas impor mengandung bakteri terlalu mengada- ada.
Jika benar terbukti terpapar bakteri, yang terdampak penyakit pertama kali pasti para penjual atau pekerjanya. Kenyataannya, hal itu tidak pernah terjadi hingga sekarang. “Kalau ada bakteri, kami yang jualan otomatis yang kena dulu. Sebab, kami yang buka barangnya. Dan selama ini pelanggan atau pembeli juga tidak ada komplain,” kata pemilik toko Alvin Busana Impor ini di samping SPBU Jalan Diponegoro, Ungaran.
Menurut Aldi, pemerintah seharusnya bersikap lebih bijaksana menyikapi persoalan pakaian bekas impor tersebut. Jika melarang penjualan pakaian bekas impor, ribuan orang akan kehilangan pekerjaan. “Di sini saja saya bisa mempekerjakan tujuh orang. Kalau Semarang hingga Ungaran mungkin ribuan orang. Kalau pemerintah sanggup membiayai orang-orang yang bakal menganggur, monggo kalau mau dihilangkan,” kata dia.
Penolakan terhadap larangan penjualan pakaian bekas impor juga disampaikan Soni, 35, penjual awul-awul di Ungaran. Pasar pakaian bekas impor di Indonesia tidak lepas dari rendahnya kualitas garmen lokal. Karena itu, Soni meminta pemerintah tidak hanya melarang penjualan pakaian bekas, tapi juga mengimbangi dengan upaya peningkatan kualitas produk garmen dalam negeri.
“Kalau ini (pakaian bekas impor) harga murah kualitasnya bagus, bahkan ada merek. Yang berlaku sekarang adalah mekanisme pasar atau apa keinginan pasar. Jadi, tingkatkan kualitas baju Indonesia dulu kalau mau melarang,” tandasnya.
Agus joko
Mereka masih bebas melakukan transaksi jual beli di sejumlah lokasi. Karena itu, DPRD setempat mendesak pemkab menggelar razia penertiban pedagang pakaian bekas impor yang membandel.
“Kalau sudah ada larangan, semestinya pemkab menggelar operasi penertiban. Tapi karena dibiarkan, pedagang pakaian bekas impor malah semakin banyak. Disperindag (Dinas Koperasi, UMKM Perindustrian dan Perdagangan) harus terjun ke lapangan menertibkan mereka,” kata Ketua DPRD Kabupaten Semarang, Bambang Kusriyanto kemarin.
Dari pantauan KORAN SINDO, penjual pakaian bekas impor yang juga dikenal sebagai penjual awul-awul ini mudah dijumpai di pinggir sejumlah jalan protokol di Kabupaten Semarang. Seperti yang terlihat di sepanjang jalan Ungaran- Bawen, banyak berdiri tenda-tenda penjual pakaian bekas.
Bagi Bambang, aktivitas penjualan awul-awul ini sangat memprihatinkan mengingat ada temuan bakteri di baju bekas impor oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) di beberapa daerah di Indonesia. Terbaru, Kemendag menemukan bakteri dan jamur patogen pada pakaian bekas impor yang beredar di Pasar Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri).
“Di sisi lain, saat ini banyak produk garmen dalam negeri yang kualitasnya bagus dengan harga terjangkau oleh masyarakat. Jadi, sudah tidak ada alasan bagi Pemkab Semarang untuk bertindak tegas,” tandasnya. Menurut Aldi, 33, pedagang awul-awul asal Padang, anggapan pakaian bekas impor mengandung bakteri terlalu mengada- ada.
Jika benar terbukti terpapar bakteri, yang terdampak penyakit pertama kali pasti para penjual atau pekerjanya. Kenyataannya, hal itu tidak pernah terjadi hingga sekarang. “Kalau ada bakteri, kami yang jualan otomatis yang kena dulu. Sebab, kami yang buka barangnya. Dan selama ini pelanggan atau pembeli juga tidak ada komplain,” kata pemilik toko Alvin Busana Impor ini di samping SPBU Jalan Diponegoro, Ungaran.
Menurut Aldi, pemerintah seharusnya bersikap lebih bijaksana menyikapi persoalan pakaian bekas impor tersebut. Jika melarang penjualan pakaian bekas impor, ribuan orang akan kehilangan pekerjaan. “Di sini saja saya bisa mempekerjakan tujuh orang. Kalau Semarang hingga Ungaran mungkin ribuan orang. Kalau pemerintah sanggup membiayai orang-orang yang bakal menganggur, monggo kalau mau dihilangkan,” kata dia.
Penolakan terhadap larangan penjualan pakaian bekas impor juga disampaikan Soni, 35, penjual awul-awul di Ungaran. Pasar pakaian bekas impor di Indonesia tidak lepas dari rendahnya kualitas garmen lokal. Karena itu, Soni meminta pemerintah tidak hanya melarang penjualan pakaian bekas, tapi juga mengimbangi dengan upaya peningkatan kualitas produk garmen dalam negeri.
“Kalau ini (pakaian bekas impor) harga murah kualitasnya bagus, bahkan ada merek. Yang berlaku sekarang adalah mekanisme pasar atau apa keinginan pasar. Jadi, tingkatkan kualitas baju Indonesia dulu kalau mau melarang,” tandasnya.
Agus joko
(ftr)