Bangkitnya Industri Fashion Sumut

Minggu, 22 Maret 2015 - 09:34 WIB
Bangkitnya Industri...
Bangkitnya Industri Fashion Sumut
A A A
MEDAN - Ajang fashion show yang diklaim sebagai pagelaran terbesar di Sumatera Utara (Sumut) bertajuk “Once Upon a Time”, sukses mementaskan karya 18 desainer jebolan Dolling School of Fashion Design, di Grand Ballroom Hotel JW Marriott Medan, tadi malam.

Pagelaran inipun menandai mulai bangkitnya industri fashion Sumut. Berbagai busana hasil kreativitaspara maestro fashion ibukota Provinsi Sumut menjadi perhatian ratusan pasang mata undangan dan pencinta fashion yang hadir pada event tahunan ketiga Dolling School of Fashion Design itu. Mayoritas busana yang diperagakan berbahan etnik, seperti batik Sumut, songket, ulos, dan is (kain khas Karo).

Tak ayal, tepuk tangan penonton menandai rasa takjub atas desain unik tersebut. Sesuai dengan tema kegiatan “Once Upon a Time”, belasan model bergantian memeragakan karya dari 28 desainer tersebut. Dimulai dari karya Florencia Surbakti dengan judul “Eyes of Uis”. Florencia memamerkan 10 busana hasil karyanya.

“10 baju sebenarnya, tapi yang dipakai model ada sembilan dan satunya untuk di-pajang. Kenapa (temanya) Eyes for Uis, harapannya agar semua mata bisa melihat busana itu. saya spesifik mengangkat uis Karo. Kain itu dalam bahasa Karo uis, agar semua mata tertuju kepada Uis,” ujarnya.

Untuk 10 gaun tersebut, Florencia yang sejak tujuh bulan lalu menjadi desainer mengaku menyelesaikan pembuatannya sekitar lima bulan. Dia mengambil langsung bahan dari penenun di Kabanjahe, Karo. “Uis itu kain sakral, tidak boleh dimacam- macamin, jadi saya juga minta izin untuk membuatnya menjadi desain baju. Tapi ini tidak kuno, siapa saja bisa memakai, dari remaja hingga dewasa.

Tradisional tapi modern twist ,” katanya. Tidak hanya Florencia, beberapa desainer lainnya memadukan kain songket, batik Sumut menjadi gaun yang sangat eyecatching membalut tubuh para model perempuan pada event tersebut. Catwalk -nya pun dibuat sedemikian rupa. Di ujung, terdapat komedi putar (carousel ) dengan delapan kuda menambah suasana klasik perhelatan tersebut.

Karya desainer lain, di antaranya Adelia Rieka Yulinda, Andreas Lim, Angleica Kusuma, Christiane Indriani, Novia Wu, Sherly Suwindra, Karina Kanggrin, dan Jeslin Tonata, juga tak kalah menarik. Karya Angelica Kusuma dan desainer lainnya juga dipamerkan bergantian. Pencahayaan yang agak temaram, membuat setiap lekuk dan desain baju terlihat lebih indah.

Angelica Kusuma yang mengangkat tema “A Diamond in theRough” dalamdesainnya mencoba menggambarkan bahwa setiap orang adalah permata. Permata yang lahir dari proses manusia dalam mencari jati dirinya. “Memperbaiki diri sendiri dalam bidang fashion dikenal dengan istilah dekonstruksi. Jadi di sini, saya mencoba membangun ulang beberapa bagian pakaian yang belum selesai dan berantakan menjadi satu komponen yang utuh sehingga tercipta rupa baru tanpa melupakan asalusulnya,” katanya.

Sementara Christine Indriani mengangkat tema “Romantisme In Floral”. Menurutnya, kehadiran bunga memiliki makna dan dampak yang mendalam bagi wanita dan dapat memberikan suasana romantic dan menawan. Bunga juga dapat menciptakan unsur kemewahan. Sedangkan Dhita Ade Fuspita dalam desain gaun hijabnya mengangkat tema “The Pearls” yang warna pada desain bajunya terinspirasi dari warna mutiara sehingga terlihat lebih memesona.

“Pesona mutiara membuat wanita gemar mengenakannya karena membawa kepercayaan diri bagi si pengguna,” ungkapnya. Pendiri Dolling School of Fashion Design, Nilawati Iskandar, mengatakan, sekolah desain busana yang telah berdiri sejak 1972 itu hadir untuk menyikapi fashion sebagai industri nasional bernilai triliunan rupiah.

Kondisi tersebut menjadikan pasar garmen sangat potensial, tidak hanya untuk konsumsi dalam negeri tapi juga luar negeri. “Pasar Indonesia yang terbuka menyebabkan kian ketatnya persaingan bisnis fashion . Ditambah meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap mode, menyebabkan kebutuhan akan tenga professional si bidang ini amat dibutuhkan,” katanya.

Kepala Bidang Bina Seni dan Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Sumut, Cut Umi, menyambut baik kegiatan tersebut. Menurut dia, banyaknya kebudayaan dan kearifan lokal di Sumut, salah satunya kain tenun, harus disikapi dengan kreativitas tinggi para desainer asal daerah ini.

“Dengan diadakannya event yang menampilkan bahan tenun khas Sumut, seperti ulos, uis dan songket menambah hasanah kekayaan budaya di Sumut,” ujarnya. Cut Umi berharap event tersebut dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap tenunan khas Sumut. Event ini diharapkan bisa menjadi moment kebangkitan industri fashion Sumut. Melalui kegiatan ini akan semakin banyak lahir kreativitas sejenis di masa-masa mendatang.

Syukri amal
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9338 seconds (0.1#10.140)