57,88% Warga Dukung KTR
A
A
A
SURABAYA - Sebanyak 57,88% warga Surabaya mendukung diterapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), sementara sisanya 33,53% sangat mendukung.
Demikian hasil survei Tobaco Control Support Center (TCSC) Jatim yang diketuai Sri Widati dalam kegiatan Forum Group Discusion (FGD) yang dihadiri perwakilan pemerintahan, pendidikan, pers, ahli agama, dan kesehatan, kemarin. Sri bersama tim TCSC juga menyurvei keinginan warga Kota Surabaya. Hasil survei yang dilaksanakan sekitar akhir Januari- Februari 2015 itu, juga menunjukkan masyarakat yang menolak rokok kebanyakan adalah kaum perempuan.
“Persoalan merokok tidak hanya bermasalah pada gangguan kesehatan, tetapi juga merembet pada kesejahteraan masyarakat. Bisa jadi setiap hari harus beli rokok, padahal uang untuk membeli rokok juga bisa digunakan untuk membeli kebutuhan lain. Parahnya lagi, kalau mereka dari golongan menengah ke bawah tentu akan semakin sulit jika sudah kecanduan merokok,” ungkap Sri.
Hecturer of Health Promotion Departemen Universitas Airlangga ini menjelaskan, kawasan yang masuk area KTR tidak hanya dilarang merokok di kawasan itu, namun juga dilarang berjualan atau mengedarkan rokok. Sementara untuk Kawasan Tanpa Merokok (KTM) hanya memberi ruang khusus pada penghisap rokok dan terkesan mengistimewakan.
“Surabaya sebenarnya sudah bagus ada kesadaran untuk menghindari rokok. Sayangnya, hanya tahap KTM dengan membuat ruang-ruang khusus bagi perokok serta memberi stiker atau tanda larangan merokok. Padahal dengan menyediakan ruang khusus juga memakan biaya berlebih. Sebab otomatis harus merombak atau mendesain ulang sebuah kantor, gedung, maupun fasilitas lain,” kata Sri.
Melalui kegiatan FGD yang berlangsung di Kampus C Uniar, Sri menuturkan, kawasan yang masuk KTR sesuai dengan Pasal 50 PP 109 tahun 2012, yakni kawasan yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum, atau beberapa tempat lain yang ditetapkan. Tujuan diterapkan KTR untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya rokok, membudayakan hidup sehat tanpa rokok, mengendalikan jumlah pertambahan perokok pemula, melindungi perokok pasif, dan melindungi wanita serta anak-anak.
“Merokok ini budaya yang susah dihilangkan. Karena itu, melalui kegiatan ini setidaknya kita mulai membentengi masyarakat dan kembali menyadarkan para perokok bahwa perilaku merokok yang dianggap normal sebenarnya tidak normal. Sebab ketika tidak merokok orang merasa tidak nyaman itu artinya ada zat adiktif atau kecanduan,” kata Sri yang juga berencana menyerahkan semua hasil FGD beserta survei ke Pemerintah Kota Surabaya pertengahan tahun ini.
Mamik wijayanti
Demikian hasil survei Tobaco Control Support Center (TCSC) Jatim yang diketuai Sri Widati dalam kegiatan Forum Group Discusion (FGD) yang dihadiri perwakilan pemerintahan, pendidikan, pers, ahli agama, dan kesehatan, kemarin. Sri bersama tim TCSC juga menyurvei keinginan warga Kota Surabaya. Hasil survei yang dilaksanakan sekitar akhir Januari- Februari 2015 itu, juga menunjukkan masyarakat yang menolak rokok kebanyakan adalah kaum perempuan.
“Persoalan merokok tidak hanya bermasalah pada gangguan kesehatan, tetapi juga merembet pada kesejahteraan masyarakat. Bisa jadi setiap hari harus beli rokok, padahal uang untuk membeli rokok juga bisa digunakan untuk membeli kebutuhan lain. Parahnya lagi, kalau mereka dari golongan menengah ke bawah tentu akan semakin sulit jika sudah kecanduan merokok,” ungkap Sri.
Hecturer of Health Promotion Departemen Universitas Airlangga ini menjelaskan, kawasan yang masuk area KTR tidak hanya dilarang merokok di kawasan itu, namun juga dilarang berjualan atau mengedarkan rokok. Sementara untuk Kawasan Tanpa Merokok (KTM) hanya memberi ruang khusus pada penghisap rokok dan terkesan mengistimewakan.
“Surabaya sebenarnya sudah bagus ada kesadaran untuk menghindari rokok. Sayangnya, hanya tahap KTM dengan membuat ruang-ruang khusus bagi perokok serta memberi stiker atau tanda larangan merokok. Padahal dengan menyediakan ruang khusus juga memakan biaya berlebih. Sebab otomatis harus merombak atau mendesain ulang sebuah kantor, gedung, maupun fasilitas lain,” kata Sri.
Melalui kegiatan FGD yang berlangsung di Kampus C Uniar, Sri menuturkan, kawasan yang masuk KTR sesuai dengan Pasal 50 PP 109 tahun 2012, yakni kawasan yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum, atau beberapa tempat lain yang ditetapkan. Tujuan diterapkan KTR untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya rokok, membudayakan hidup sehat tanpa rokok, mengendalikan jumlah pertambahan perokok pemula, melindungi perokok pasif, dan melindungi wanita serta anak-anak.
“Merokok ini budaya yang susah dihilangkan. Karena itu, melalui kegiatan ini setidaknya kita mulai membentengi masyarakat dan kembali menyadarkan para perokok bahwa perilaku merokok yang dianggap normal sebenarnya tidak normal. Sebab ketika tidak merokok orang merasa tidak nyaman itu artinya ada zat adiktif atau kecanduan,” kata Sri yang juga berencana menyerahkan semua hasil FGD beserta survei ke Pemerintah Kota Surabaya pertengahan tahun ini.
Mamik wijayanti
(ars)