DKP API Kartini Gelar Aksi
A
A
A
PALEMBANG - Peringatan Hari Perempuan Internasional (HPI) kemarin dirayakan dengan aksi para perempuan di Kota Palembang. Di Bundaran Air Mancur, terjadi dua aksi ormas perempuan dalam menyikapi permasalah perempuan saat ini.
Meski memiliki pandangan sedikit berbeda, aksi itupun ramai dipadati kaum perempuan. Sekitar pukul 10.00 WIB, ormas perempuan DPK API Kartini Palembang, menggelar aksi dalam mengampayekan permasalahan kesetaraan perempuan. Menurut mereka, perempuan belum sejahtera karena masih menjadi komoditi dalam industri dan bisnis.
Kesetaraan perempuan menjadi pekerja dengan upah yang murah, sekaligus tidak terpenuhinya kebutuhan perempuan membuat nilai daya saing mereka menjadi rendah, “Saat ini, perempuan cenderung menjadi korban. Permasalahan yang dihadapi juga makin kompleks, seperti perdagangan perempuan, kekerasan dan pelecehan seks hingga pemerkosaan,” kata Koordinator Aksi Mariska Utari.
Berdasarkan data Komnas HAM, kekerasan terhadap perempuan dalam jangka waktu lima tahun memperlihatkan kasus dihadapi perempuan sebagai korban makin kompleks. Misalnya, dengan 93.960 kasus perempuan, terjadi di Indonesia, sebanyak 4.845 merupakan kasus pemerkosaan.
Sementara sisanya, merupakan kasus perdagangan perempuan dengan tujuan seksualitas, kasus pelecehan perempuan, penyiksaan seksual. “Itu data Komnas HAM 1998- 2011. Tingkat kekerasan perempuan sudah tinggi dan akan terus terjadi saat perempuan, sebagai korban,” ungkapnya.
Meski tidak lama menggelar aksinya, DKP API Kartini berharap kesetaraan perempuan akan lebih terbuka dan adil. Setelah aksi ormas perempuan itu, ormas muslimah HTI juga menggelar aksi. Dalam aksinya, mereka menyatakan tantangan sikap pada banyak ormas dan LSM perempuan yang menyatakan penerapan Perda Syariah malah mendeskriptifkan perempuan.
HTI malah mendorong penerapan peraturan yang mendasar pada sistem khilafah Islam. “8 Maret ini, HTI rayakan sebagai penentangan terhadap pemikiran organisasi perempuan yang masih keliru. Beberapa LSM menilai Perda Syahriah malah merugikan, akan tetapi pandangan itu salah,” ungkap Ketua DPD I Muslimah HTI Sumsel Syafrida Syafruddin.
Ia mengatakan, perda yang sesuai dengan syariah diperlukan dengan penerapan yang benar. Negara berhak menjamin kesejahteraan kaum perempuan yang saat ini terus menjadi alat pemenuhan sistem neoliberalisme.
Tasmalinda
Meski memiliki pandangan sedikit berbeda, aksi itupun ramai dipadati kaum perempuan. Sekitar pukul 10.00 WIB, ormas perempuan DPK API Kartini Palembang, menggelar aksi dalam mengampayekan permasalahan kesetaraan perempuan. Menurut mereka, perempuan belum sejahtera karena masih menjadi komoditi dalam industri dan bisnis.
Kesetaraan perempuan menjadi pekerja dengan upah yang murah, sekaligus tidak terpenuhinya kebutuhan perempuan membuat nilai daya saing mereka menjadi rendah, “Saat ini, perempuan cenderung menjadi korban. Permasalahan yang dihadapi juga makin kompleks, seperti perdagangan perempuan, kekerasan dan pelecehan seks hingga pemerkosaan,” kata Koordinator Aksi Mariska Utari.
Berdasarkan data Komnas HAM, kekerasan terhadap perempuan dalam jangka waktu lima tahun memperlihatkan kasus dihadapi perempuan sebagai korban makin kompleks. Misalnya, dengan 93.960 kasus perempuan, terjadi di Indonesia, sebanyak 4.845 merupakan kasus pemerkosaan.
Sementara sisanya, merupakan kasus perdagangan perempuan dengan tujuan seksualitas, kasus pelecehan perempuan, penyiksaan seksual. “Itu data Komnas HAM 1998- 2011. Tingkat kekerasan perempuan sudah tinggi dan akan terus terjadi saat perempuan, sebagai korban,” ungkapnya.
Meski tidak lama menggelar aksinya, DKP API Kartini berharap kesetaraan perempuan akan lebih terbuka dan adil. Setelah aksi ormas perempuan itu, ormas muslimah HTI juga menggelar aksi. Dalam aksinya, mereka menyatakan tantangan sikap pada banyak ormas dan LSM perempuan yang menyatakan penerapan Perda Syariah malah mendeskriptifkan perempuan.
HTI malah mendorong penerapan peraturan yang mendasar pada sistem khilafah Islam. “8 Maret ini, HTI rayakan sebagai penentangan terhadap pemikiran organisasi perempuan yang masih keliru. Beberapa LSM menilai Perda Syahriah malah merugikan, akan tetapi pandangan itu salah,” ungkap Ketua DPD I Muslimah HTI Sumsel Syafrida Syafruddin.
Ia mengatakan, perda yang sesuai dengan syariah diperlukan dengan penerapan yang benar. Negara berhak menjamin kesejahteraan kaum perempuan yang saat ini terus menjadi alat pemenuhan sistem neoliberalisme.
Tasmalinda
(bhr)