Pabean Setia Menjaga Tradisi

Sabtu, 07 Maret 2015 - 10:32 WIB
Pabean Setia Menjaga Tradisi
Pabean Setia Menjaga Tradisi
A A A
Di saat pasar-pasar tradisional di Kota Pahlawan lesu, Pasar Pabean tetap tegak berdiri. Gempuran pasar modern tak membuatnya susut. Bahkan sampai saat ini, Pasar Pabean tetap menjadi pusaran ekonomi di Surabaya.

Pukul 12.00 WIB menjadi waktu yang paling sibuk bagi semua pedagang di Pasar Pabean. Barangbarang yang baru datang secara brutal. Deretan truk antre di pintu depan pasar untuk menurunkan barang dari dalam pulau maupun luar pulau. Secara bergantian, mereka memasukan barang dagangan untuk stok pangan di Jawa Timur. Sulastri, 55, juga ikut sibuk.

Di tangan kirinya memegang erat tas plastik yang dijadikannya tempat menampung bawang, cabai dan rempah-rempah lainnya. Setiap hari ibu dari empat anak ini memungut barang dagangan yang terjatuh di selasar maupun jalanan yang ada di Pasar Pabean. ”Lumayan sehari bisa dapat 5-6 kilo,” katanya.

Sejak pukul 10.00 WIB, dia sudah siaga di depan pintu masuk Pasar Pabean. Ketika bongkar muat barang dilakukan, Sulastri langsung sigap. Dari belakang, dia memungut barang yang terjatuh dari keranjang maupun sak yang dijadikan tempat menampung barang dagangan.

Satu per satu rempah- rempah itu dikumpulkan. Setelah penuh, dia memilah dan dikumpulkan dalam jenisnya masing-masing. Bawang merah dikumpulkan sendiri, demikian juga dengan bawang putih, cabai, lengkuas, kemiri, cabai keriting, kapulaga, sampai bawang bombai. Pekerjaan itu sudah dijalaninya selama 30 tahun terakhir.

Dari hasil memungut barang sisa, dia bisa menyekolahkan keempat anaknya yang kini sudah dewasa. ”Pasar Pabean tak pernah sepi, jadi tak khawatir gulung tikar,” ujar Sulastri. Saat pasar modern dengan serbuan minimarket berjaya di Surabaya, para pedagang di Pabean tak pernah resah.

Mereka selalu yakin Pabean memiliki sejarah panjang dan sudah terbiasa oleh dinamika perekonomian yang labil di Indonesia. Keyakinan itu mewujudkan harapan kalau eksistensi pasar tradisional tak bisa dikalahkan begitu saja oleh pasar modern yang terus menggurita di Surabaya.

Sulastri, salah seorang pedagang ikan basah, mengungkapkan, banyak pedagang di Surabaya kerap mengeluh ketika harga bahan bakar minyak (BBM) naik karena harga barang di pasaran ikut merangkak naik. Pertimbangan mereka harga jasa angkut ikut naik karena BBM yang dipakai juga naik. ”Kami tak resah menghadapi harga BBM yang naik. Pasar Pabean selalu bisa meredam itu (gejolak). Jadi, kami tak risau dengan adanya permainan harga,” ucapnya.

Selain itu, banyak faktor yang memperkuat posisi Pasar Pabean di antara serbuan banyaknya pasar modern. Salah satunya soal harga dan kualitas produk. Dua kekuatan itu yang menjadikan Pasar Pabean tetap menjadi simpul perekonomian di Surabaya. ”Harga barang di Pabean lebih murah dan segar. Itu saja sudah cukup untuk mengalahkan pasar modern,” ujar Sulastri.

Pria paruh baya itu melanjutkan, tradisi tawar-menawar juga masih melekat di pasar tradisional. Transaksi jual-beli juga lebih menarik dan menguntungkan bagi pembeli ketika bisa melakukan proses tawar-menawar.

Selain itu, pasar legendaris yang ada sejak era penjajahan Belanda itu juga menyuplai barang ke pasar tradisional yang tersebar di berbagai wilayah di Surabaya. Meskipun tidak lagi menjadi tempat sandaran kapal, Pasar Pabean tetap bisa eksis dalam memenuhi kebutuhan pangan di berbagai kota di Jatim.

Perkampungan Multietnis

Pesona Pasar Pabean menarik minat saudagar dari berbagai negara untuk masuk ke Surabaya. Di sana mereka bermukim dan berdagang dalam skala luas. Bahkan, para saudagar sampai saat ini meninggalkan banyak jejak sejarah di Surabaya. Dari catatan sejarah, para saudagar itu datang dan mewarnai kehidupan di Surabaya.

Di atas geladak sebuah kapal milik Paketvaart mereka menarik kembali sauh untuk meneruskan pelayaran ke berbagai negara, setelah menampung rempahrempah yang diperoleh di Pasar Pabean. Pada pelabuhan Pabean kecil airnya tetap tenang. Semua perahu yang harus melayari Kalimas harus ditambatkan di bangunan duane untuk pemeriksaan barang dan penumpang.

Di sepanjang jalan Ujung yang teduh dan mengarah ke jantung kota, keramaian sangat tinggi. Para pengelola tambangan duduk di sebuah bangku kayu di sisi sungai untuk mengawasi permukaan laut yang jernih. Di depan jalan masuk kampung duduk para penjual barang.

Di sungai, perahu-perahu menyusuri mondarmandir. Derik roda dokar dan kosong di jalan berdebu bercampur dengan teriakan para kuli berkeringat yang sedang sibuk membongkar dan memuat barang. Di sepanjang jalan itu tampak sejumlah rumah dengan kebun kecil yang dipisahkan dari jalan dengan pagar putih.

Beberapa warung di mana ada banyak pelaut yang lelah melepaskan peluh dan diberi hidangan sederhana. Di sepanjang deretan toko, penginapan, dan rumah pembongkaran, semua orang bisa mencapai benteng Prins Hendrik yang tidak lagi digunakan.

Sebuah jalan dengan banyak tikungan mengarah ke Pegirian menuju kampung perwira lama, ke kampung Arab, makam Ampel yang suci, dan Songoyudan. Di sana terdapat kompleks di mana industri pribumi memiliki para tukangnya yang ahli dan paling terkenal.

Semua warga bisa menjumpai kerajinan tenun kain dan sarung yang mahal, rumah para pekerja batik, tukang blek, pengecor tembaga dan ahli besi, yang mana sebagian besar barang-barang rumah tangga dibuat. Selanjutnya, di dekat pasar peti-peti diletakkan di atas roda, dicat, dan diberi warna emas, tempat para wanita pribumi menyimpan pakaian, peralatan, dan pusaka milik suaminya.

Waktu itu pusat kampung Ampel terdiri atas masjid besar yang dibangun di tempat itu, yang mana sisa-sisa dari peninggalan Sunan Ampel masih ditemukan, salah seorang wali Islam di Jawa.

Di dekat masjid ini terdapat kampung Arab dengan rumah ibadah Timur yang khas dan rumah-rumah kecil, di mana para pedagang bersurban dengan mengisap pipa Turki panjang menunggu pelanggannya, yang membeli batu permata, perhiasan emas, dan perak.

Dari kampung Arab kita berjalan sepanjang Songoyudan (dalam bahasa Belanda diterjemahkan dengan kompelsk Negen Krijgen) memasuki kampung Tionghoa, yang mana para putra kerajaan langit yang rajin bekerja tinggal, yang saat itu masih memelihara kuncir panjangnya untuk menjajakan semua minuman seperti kopi dan teh, beras dan gula, kayu manis, dan arak.

Ada keramaian dalam arti kata itu, karena di samping toko-toko yang berderet rapat ini berdiri bangunan kongsi Tionghoa yang kaya Tan Tjoen Gwan dan Oei Moe Liem, pasar Tjo Sin In, dan selanjutnya di dekat Cantian terletak rumah-rumah mewah dan kebun-kebun yang dihiasi dengan sejumlah tanaman milik orang-orang Tionghoa peranakan yang kaya. Selain orang-orang Tionghoa di bagian terpadat kampung ini juga ditemukan ”orang keling”, orang Bengala yang membuka warungnya.

Mereka mengelola perdagangan barangbarang Timur dan menjual permadani dengan motif-motif menarik, tenun dengan benang emas dalam bentuk kimono, vas bunga antik, piring dan penyekat yang dilapisi dengan gading, pernik-pernik dan patung, yang terutama pada malam hari akan memancarkan dampak indah ketika diterpa oleh cahaya lampu gas.

Aan haryono
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6058 seconds (0.1#10.140)