Praktik Kolonialisme di Balik Nama Papua

Jum'at, 06 Maret 2015 - 05:29 WIB
Praktik Kolonialisme di Balik Nama Papua
Praktik Kolonialisme di Balik Nama Papua
A A A
PAPUA merupakan pulau kedua terbesar di dunia yang sebelumnya dikenal dengan Pulau Irian. Pelaut asal Spanyol yang bernama Jnizo Ortiz de Reter menamakan pulau ini New Guinea, karena mirip dengan wilayah Guinea di Afrika.

Wilayah pulau ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Irian Barat, Irian Timur Laut, dan Teritori of Papua. Sebelum Belanda menjajah wilayah ini, sebagian pulau ini berada dibawah kekuasaan Kesultanan Islam Ternate.

Pada tahun 1828, setelah kekuasaan Kesultanan Ternate runtuh, wilayahnya secara resmi diduduki Belanda dan masuk dalam Karesidenan Ternate. Namun setelah Indonesia merdeka tahun 1945, wilayah itu dikenal dengan nama Irian Barat.

Dalam bukunya yang berjudul Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat, H Dr Soebandrio menyatakan, kata Irian diberikan oleh pejuang Papua, Frans Kaisiepo yang artinya sinar yang menghalau kabut.

Namun sejak Pemerintah Orde Baru Soeharto berkuasa, kata Irian Barat diganti lagi menjadi Irian Jaya. Penggantian nama itu berbarengan dengan berdirinya perusahaan tambang tembaga dan emas asal Amerika, PT Freeport Indonesia.

Perubahan nama dari Irian Barat menjadi Irian Jaya oleh Pemerintah Orde Baru Soeharto ini dinilai sarat dengan kepentingan asing. Hingga akhirnya, nama tersebut diubah lagi menjadi Papua, pada tahun 1999 atas desakan kaum separatis Papua.

Diubahnya nama Irian Barat menjadi Papua oleh Pemerintahan Reformasi Abdurrahman Wahid dinilai lebih buruk dari Pemerintah Orde Baru. Karena kata Papua memiliki arti daerah hitam tempat perbudakaan yang kental kepentingan kolonial.

Pergantian nama Papua itu disambut penuh suka cita oleh kaum separatis, karena dianggap memberikan semangat perjuangan mereka. Apalagi, setelah ada penyelewengan kepanjangan Irian menjadi Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.

Menurut Soebandrio, apa yang dicita-citakan kaum separatis di Papua sejalan dengan kemauan Kolonialis Belanda yang secara historis tidak menginginkan Irian Barat masuk ke dalam pangkuan Republik Indonesia yang merdeka.

Padahal, dalam pidatonya di Kota Baru pada 4 Mei 1963, Presiden Soekarno telah menyatakan kedudukan Irian Barat dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia sudah masuk sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dibacakan.

Yang dinamakan Tanah Air Indonesia adalah wilayah yang sejak dulu dijajah oleh pihak Belanda, yang dulu dinamakan Hindia Belanda, yang dulu dinamakan Nederland Indie (Karesidenan Ternate-red). Itulah wilayah Republik Indonesia.

Dengarkan benar kataku (rakyat Papua-red), itulah wilayah Republik Indonesia. Itu berarti bahwa sejak 17 Agustus 1945, Irian Barat telah masuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Apa yang belum terjadi?

Karena penjajahan Belanda setelah proklamasi masih berjalan terus, maka Irian Barat belum kembali termasuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Saudara-saudara perhatikan benar-benar.

Bukan memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia, tetapi memasukkan kembali Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Kesalahan ini masih kadang-kadang dibuat (sengaja dibuat-buat-red).


Dari sejumlah uraian tersebut, Cerita Pagi berusaha mengupas bagaimana praktik kolonialisme dalam perubahan nama Irian Barat pada rezim Orde Baru Soeharto dan Reformasi Abdurrahman Wahid dalam pembebasan Irian Barat.

Perjuangan memasukkan kembali Irian Barat ke wilayah kekuasaan Republik Indonesia sangat panjang dan melelahkan. Apalagi, saat itu Indonesia tengah dihadapkan dengan blok kapitalis dan komunis.

Perjuangan Irian Barat dimulai setelah Indonesia merdeka, sejak agresi Belanda kedua. Saat itu, Presiden Soekarno telah berulang kali menyatakan rebut Irian Barat dari genggaman Kolonial Hindia Belanda.

Saat Konfrensi Meja Bundar (KMB) dilangsungkan mulai 21 Agustus sampai 2 November 1949 di Den Haag, sikap Belanda sudah jelas ingin memisahkan Irian Barat dari Pemerintah Republik Indonesia.

Belanda ingin statusquo Irian Barat dipertahankan, dan status politiknya dinegosiasikan antara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Kerajaan Belanda. Namun dalam setiap perundingan selalu ditemui jalan buntu.

Namun, Soekarno tidak putus asa. Dalam setiap pergantian kabinet, perundingan merebut Irian Barat terus dilanjutkan. Namun hasilnya tetap sama. Belanda tidak mau menyerahkan Irian Barat dengan mudah.

Selain mengandalkan para menterinya, Soekarno juga turun langsung melakukan diplomasi membebaskan Irian Barat dengan berkeliling ke luar negeri. Tetapi lagi-lagi Soekarno belum berhasil.

Hingga akhirnya, Soekarno mengumumkan Tiga Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Irian Barat, pada 19 Desember 1961. Isi dari Trikora itu sebagai berikut:

1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.
2. Kibarkan sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air kita.
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.


Respon masyarakat Indonesia terhadap Trikora sangat besar. Ribuan orang dari berbagai daerah datang mendaftar jadi relawan. Mereka terbakar semangat nasionalisme dan anti kolonialisme-imperialisme.

Dengan segera, lima ratus penerjun payung diterjunkan ke Irian Barat dari Ambon dibawah komando Soeharto yang kemudian menggantikan Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia kedua.

Dari laut, kapal perang Indonesia yang sempat disindir sebagai kotak sabun oleh Mohammad Hatta dikerahkan untuk mengepung Irian Barat. Persenjataan canggih dari hasil membeli ke Uni Soviet pun didapatkan.

Selanjutnya, Amerika Serikat pun mau memberikan senjata ringan untuk menggempur Belanda di Irian Barat. Semakin lama, posisi Belanda di Irian Barat semakin terdesak hingga mempengaruhi perundingan.

Setelah melalui perjuangan panjang, Irian Barat akhirnya resmi masuk kembali ke dalam kekuasaan Republik Indonesia secara de fakto sejak 1 Mei 1963, berdasarkan Persetujuan New York tahun 1962.

Persetujuan New York merupakan proses peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), Badan Otoritas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) selama enam tahun.

Persetujuan itu juga meminta kepada Indonesia untuk melangsungkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat agar menentukan pilihan bergabung dengan Republik Indonesia atau memilih merdeka.

Hasilnya, sebanyak 63 kepala suku di Sukarnapura (saat ini bernama Jayapura), 89 perwakilan agama yang ada di Papua, dan 88 wakil pemuda, memilih untuk menentukan nasib sendiri dengan bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal itu diperkuat dengan adanya Piagam Kotabaru yang diperkuat dengan pernyataan Sumpah Setia yang isinya mendukung menentukan nasib sendiri dengan bergabung ke dalam Republik Indonesia.

Demikian ulasan Cerita Pagi tentang praktik kolonialisme dalam perubahan nama Irian Barat pada rezim Orde Baru Soeharto dan Reformasi Abdurrahman Wahid dalam pembebasan Irian Barat dilakukan. Semoga memberikan manfaat.

Sumber tulisan:

H.Dr Subandrio, Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat, Yayasan Kepada Bangsaku, Cetakan Kedua Maret 2001.

Pidato Bung Karno, Rakyat Irian Barat Ikut Berjuang Memasukkan Kembali Irian Barat ke dalam Wilayah Kekuasaan RI (diambil dari buku H.Dr Subandrio, Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat, Yayasan Kepada Bangsaku, Cetakan Kedua Maret 2001).

Ibnu Amin Gani, Konflik Struktural Antara Pemerintah Indonesia dengan Rakyat Papua Terkait Permintaan Kemerdekaan Untuk Wilayah Papua (diambil dari Academia.edu)

Bebaskan Irian Barat, Kumpulan Pidato Presiden Soekarno Tentang Pembebasan Irian Barat 17 Agustus 1961-17 Agustus 1962

Papua, Wikipedia Indonesia
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5362 seconds (0.1#10.140)