Sehat dengan Gizi Seimbang

Minggu, 01 Maret 2015 - 11:40 WIB
Sehat dengan Gizi Seimbang
Sehat dengan Gizi Seimbang
A A A
MEDAN - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Direktorat Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak belum lama ini merilis bahwa Indonesia sedang dalam bencana gizi.

Direktur Bina Gizi Kemenkes Doddy Izwardi menyebut stunting atau balita pendek dan kurang gizi, wasting atau berat badan tak sesuai tinggi badan dan obesitas atau kegemukan merupakan masalah utama di bidang gizi dan nutrisi. Parahnya, ketiga masalah ini terjadi secara bersamaan di Indonesia. Secara statistik, masalah gizi dan nutrisi di Indonesia sudah melebihi batas normal, bahkan bisa dianggap kejadian luar biasa (KLB).

Di Kota Medan, penyelesaian masalah gizi ini juga menjadi fokus utama dinas kesehatan (dinkes). Berbagai program sosialisasi dengan melibatkan masyarakat sudah dilakukan. Misalnya, keberadaanposyandusebagai cara pemerintahan menekan agar angka stunting , wasting, dan obesitas bisa diturunkan.

Kepala Dinkes Kota Medan Usma Polita Nasution menuturkan, tiga tahun terakhir angka kurang gizi di kota Medan mengalami penurunan. Pada 2012 terdeteksi 1.022 balita menderita gizi kurang. Lalu, 2013 turun menjadi 915 dan di akhir 2014 terdeteksi 779 balita gizi kurang.

Sementara balita yang mengalami gizi buruk sebanyak 65 orang padan 2012, 84 orang pada 2013, dan 80 orang pada 2014. “Untuk balita pendek serta wasting dan obesitas, selama ini memang kita belum ada melakukan pendataan. Namun, pada awal Februari lalu program operasi timbang sudah kita gelar untuk mendata balita pendek dan obesitas ini,” katanya kepada KORAN SINDO MEDAN kemarin.

Untuk kasus gizi kurang dan gizi buruk, penanganan kasus sudah tertata dengan baik di kota Medan. Penurunan jumlah penderita gizi kurang dan gizi buruk ini dapat dicapai berkat kerja sama Dinkes Medan dengan setiap kecamatan untuk penjaringan penderita. “Jadi, setiap ditemukan indikasi gizi kurang, kecamatan akan melapor ke Dinkes Medan untuk langsung ditindaklanjuti,” papar Usma.

Proses pemulihan penderita gizi buruk dan gizi kurang ini juga dapat berjalan baik karena adanya kontribusi masyarakat dalam pendanaan kegiatan. Pelaksanaan program gizi buruk tidak hanya dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), tetapi juga bersumber dari kontribusi masyarakat sebagai bapak atau ibu asuh melalui pos pembinaan terpadu.

Program ini sudah berjalan kontinu di 39 puskesmas rawat inap dan 41 puskesmas pembantu yang ada di 21 kecamatan di Kota Medan. Menurut Usma, kasus gizi buruk dan gizi kurang masih ditemui di kota Medan lantaran memiliki korelasi dengan faktor kemiskinan. Selama masih ada warga miskin di Medan, gizi buruk dan gizi kurang berpotensi terjadi.

“Dan biasanya, gizi kurang menjadi gizi buruk lantaran disertai penyakit pendamping seperti meningitis, ensepalitis atau hydrocephalus sehingga sering sulit ditolong,” ungkapnya. Peningkatan gizi masyarakat sebenarnya dilakukan sepanjang siklus kehidupan. Namun, perhatian sungguh-sungguh diberikan pada periode kehamilan dan dua tahun sesudahnya atau 1.000 hari pertama kehidupan.

Kekurangan gizi pada periode ini dapat berakibat munculnya hambatan pada perkembangan kognitif, hambatan pertumbuhan, dan hambatan pada metabolisme hingga dewasa. “Kekurangan gizi, akan berdampak negatif pada kecerdasan, tubuh, produktivitas, dan sangat berisiko terserang penyakit kronis, seperti diabetes melitus dan penyakit jantung,” papar Usma.

Untuk itu, yang terpenting dilakukan agar masalah gizi ini bisa diturunkan, masyarakat diminta untuk mengubah pola hidup dan pola makan menjadi lebih baik. Dengan kuantitas dan kualitas makanan serta minuman yang baik akan mempengaruhi tingkat kesehatan. Dengan pola hidup yang baik, seperti dengan berolahraga teratur akan membakar kalori berlebih di dalam tubuh sehingga tercipta gizi seimbang.

“Namun, saat ini dengan pola hidup yang berubah, masyarakat kurang memperhatikan pola makan dan berat tubuh, sehingga banyak yang tidak menyadari sudah mengalami obesitas,” kata dia. Gizi seimbang adalah susunan pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi, dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh.

Agar masyarakat dapat menerapkan gizi seimbang ini, pemerintah telah membuat empat pilar gizi seimbang, yakni mengonsumsi makanan beragam, membiasakan perilaku hidup bersih, melakukan aktivitas fisik, dan mempertahankan berat badan normal. “Penerapan pola gizi seimbang ini pun berbeda-beda sesuai dengan kelompok usianya. Misalnya, anak usia 0-6 bulan, gizi seimbangnya cukup hanya dari air susu ibu (ASI), orang dewasa, keseimbangan gizinya berdasarkan kalori, dan kegiatan fisik.

Namun untuk usia lanjut, akibat menurunnya fungsi tubuh ada pembatasanpembatasan konsumsi makanan yang ditetapkan,” katanya. Gizi seimbang untuk orang dewasa didasarkan pada kalori yang dikeluarkan lantaran perilaku konsumsi pangan bergizi seimbang dapat terganggu oleh pola kegiatan.

Seperti persaingan tenaga kerja yang ketat, ibu bekerja di luar rumah, tersedianya berbagai makanan siap saji dan siap olah. Juga ketidaktahuan tentang gizi yang menyebabkan keluarga dihadapkan pada pola kegiatan yang cenderung pasif. “Karenanya, agar tercipta gizi seimbang, setiap orang harus disiplin waktu makan, tidak mengemil, mengonsumsi buahbuahan, serta berolahraga,” tandasnya.

Ahli Gizi Kota Medan Asnita juga mengungkapkan hal serupa. Untuk mencapai hidup sehat, gizi seimbang adalah solusinya. Agar tercipta gizi seimbang dalam tubuh, masyarakat harus membiasakan pola makan yang tepat. Di antaranya dengan membiasakan mengonsumsi lauk-pauk yang mengandung protein tinggi; biasakan mengonsumsi aneka ragam makanan pokok; batasi konsumsi pangan manis, asin, dan berlemak; biasakan sarapan; serta biasakan minum air putih yang cukup dan aman.

“Dan yang paling penting, biasakan memantau berat badan sesuai dengan IMT (indeks massa tubuh),” katanya. Mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencegah berbagai penyakit tidak menular. Untuk mengetahui nilai IMT, dihitung dengan cara berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m) pangkat 2. Seperti seorang perempuan dengan berat badan 60 kg dan tinggi 155 kg.

Jika dihitung IMT, maka 60/(1,55x1,55) hasilnya 24,9. Dengan IMT ini, maka perempuan tersebut dikatakan gemuk atau berisiko obesitas. Asnita menambahkan, batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO. Seseorang dikatakan kurus jika IMT kurang dari 17, normal jika IMT 18,5 hingga 25, gemuk jika IMT 25 hingga 27. Dan mengalami obesitas jika IMT lebih besar dari 27.

“Sehingga saat seseorang dengan IMT di atas 25, dia harus hati-hati agar berat badan tidak naik. Dan dianjurkan untuk segera menurunkan berat badannya sampai batas normal,” ucapnya. Sosiolog dari Universitas Negeri Medan M Iqbal mengatakan, kehidupan perkotaan seperti kota Medan memang secara tidak langsung bagi sebagian masyarakat telah menggeser pola perilaku konsumsi pangan yang bergizi seimbang.

Hal itu disebabkan mobilitas masyarakat yang tinggi, faktor lingkungan, faktor waktu dan akses jarak sehingga banyak masyarakat yang mengabaikan hal fundamental yakni kesehatan. “Mobilitas yang tinggi mengakibatkan masyarakat selalu mengutamakan hal yang praktis, seperti mengonsumsi makanan yang instan, junk food . Hal itu disebabkan mobilitas yang tinggi, akses kecepatan waktu dan jarak ke tempat restoran dengan kantornya dan lainnya,” paparnya.

Kondisi ini bisa dilihat, seperti di plaza ataupun mal juga resto dan kafe di siang hari, masyarakat Medan justru ramai mengonsumsi makanan yang instan dan junk food . Alasannya, bukan tidak bisa membawa makanan yang sehat seperti makanan yang dimasak dari rumah, tapi alasannya lebih karena ribet dan repot.

“Itu tadi karena masyarakat perkotaan mobilitasnya tinggi, apalagi di Jakarta orang bekerja 24 jam, makanya gerai seperti makanan instan dan kopi di sana tumbuh dengan pesat, dan di kota Medan fenomena ini juga sudah mulai terlihat,” ungkap Iqbal. Namun, di sisi lain, masyarakat perkotaan seperti di Medan dengan tingkat pendidikan masyarakat yang juga cukup tinggi, maka kesadaran untuk hidup sehat di sebagian masyarakat itu sudah terlihat.

Hal ini bisa dilihat dari banyaknya masyarakat yang berolahraga, seperti di gym maupun di lapangan dan taman kota. “Kalau kita lihat di lokasi pusat kebugaran yang ada di Medan ataupun futsal, biasanya masyarakat ramai berolahraga itu di malam hari karena pagi hingga sore hari masyarakat aktif bekerja, makanya olahraga dilakukan di waktu luang malam hari,” paparnya.

Iqbal juga tidak bisa menampikkan berkembangnya berbagai ragam kuliner di kota Medan, hal itu tidak terlepas dari dinamika pembangunan kota. “Kalau kita lihat di kota Medan, semua kuliner ada baik yang instan hingga tradisional bahkan vegetarian, ini berkembang karena dinamika kota dan tentunya tergantung kepada pilihan masyarakat,” ucapnya.

Siti amelia, lia anggia
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0982 seconds (0.1#10.140)