Padukan Perpustakaan dengan Studio Musik
A
A
A
SURABAYA - Pesatnya perkembangan teknologi media membawa konsekuensi perilaku masyarakat dalam mencari informasi terutama, kalangan muda. Perpustakaan kini tidak bisa lagi sebatas menawarkan koleksi buku yang lengkap, kebersihan, kenyamanan dan ketenangan.
Lebih dari itu, perpustakaan sekarang bisa dipadupadankan dengan studio musik. Di saat jenuh mencari dan membaca literatur, pengunjung bisa memainkan alat musik. Pertanyaan yang kemudian muncul apa tidak bising? Apa tidak mengganggu pengunjung lain? Pertanyaan sekaligus kekhawatiran ini tidak berlaku dalam Perpustakaan Hibrida Bagi Kaum Muda di Surabaya.
Perpustakaan rancangan Wongso Michael Wongkar ini ditawarkan dan layak dipertimbangkan untuk diaplikasikan. ”Perpustakaan sekarang perlu fenomena sekarang sehingga fungsinya sebagai wadah pencarian informasi menjadi gaya hidup masyarakat,” tutur Wongso, kemarin.
Mahasiswa Program Studi Arsitektur Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya ini ingin ke depan perpustakaan di Surabaya dan bahkan Indonesia tidak lagi konvensional. ”Saya observasi ke perpustakaan milik Pemkot Surabaya maupun Pemprov Jatim. Rata-rata pengunjungnya anak-anak muda.
Dari sini saya terdorong merancang perpustakaan hibrida ini,” kata pria kelahiran 28 Desember 1991 ini. Perpustakaan hibrida yang juga menerapkan teknologi digital bisa membuat pengunjungnya browsing data yang dicari dengan dilengkapi suara. Earphone personal bisa digunakan supaya tidak mengganggu pengunjung lainnya.
”Pengunjung yang main musik atau piano di perpustakaan juga tidak mengganggu pengunjung lain. Ini karena yang main musik atau piano juga menggunakan earphone ,” papar alumni SMA Sinlui 1 Surabaya ini. Jadi dalam perpustakaan tetap tenang. Konsep rancangan Wongso ini pas diaplikasikan di perkotaan dan padat, hadapi keterbatasan lahan.
Teman satu program pendidikan Wongso, Patricia Ellen Setiawan tidak mau kalah. Patricia yang sempat ikut Miss Indonesia ini membuat rancangan Museum Tragedi Mei 1998. Keluarganya di Jakarta yang menjadi korban kerusuhan hingga harus mengungsi dan kesulitan mencari makan menjadi salah satu latar belakang pembuatan rancangan itu. ”Tragedi 1998 sampai sekarang juga tidak jelas pengungkapan kasusnya.
Karena itu, rancangan museum ini saya buat agar masyarakat selalu ingat jika museum jadi dibangun sebagai tindak lanjut rancangan ini,” kata Patricia. Menariknya, pada rancangan ini menawarkan inovasi. ”Tiap tanggal 12 Mei, sinar matahari bisa masuk dan langsung menerangi bagian dalam museum. Ini ada rumusnya, hitunghitungannya,” papar gadis kelahiran 15 April 1992 ini.
Soeprayitno
Lebih dari itu, perpustakaan sekarang bisa dipadupadankan dengan studio musik. Di saat jenuh mencari dan membaca literatur, pengunjung bisa memainkan alat musik. Pertanyaan yang kemudian muncul apa tidak bising? Apa tidak mengganggu pengunjung lain? Pertanyaan sekaligus kekhawatiran ini tidak berlaku dalam Perpustakaan Hibrida Bagi Kaum Muda di Surabaya.
Perpustakaan rancangan Wongso Michael Wongkar ini ditawarkan dan layak dipertimbangkan untuk diaplikasikan. ”Perpustakaan sekarang perlu fenomena sekarang sehingga fungsinya sebagai wadah pencarian informasi menjadi gaya hidup masyarakat,” tutur Wongso, kemarin.
Mahasiswa Program Studi Arsitektur Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya ini ingin ke depan perpustakaan di Surabaya dan bahkan Indonesia tidak lagi konvensional. ”Saya observasi ke perpustakaan milik Pemkot Surabaya maupun Pemprov Jatim. Rata-rata pengunjungnya anak-anak muda.
Dari sini saya terdorong merancang perpustakaan hibrida ini,” kata pria kelahiran 28 Desember 1991 ini. Perpustakaan hibrida yang juga menerapkan teknologi digital bisa membuat pengunjungnya browsing data yang dicari dengan dilengkapi suara. Earphone personal bisa digunakan supaya tidak mengganggu pengunjung lainnya.
”Pengunjung yang main musik atau piano di perpustakaan juga tidak mengganggu pengunjung lain. Ini karena yang main musik atau piano juga menggunakan earphone ,” papar alumni SMA Sinlui 1 Surabaya ini. Jadi dalam perpustakaan tetap tenang. Konsep rancangan Wongso ini pas diaplikasikan di perkotaan dan padat, hadapi keterbatasan lahan.
Teman satu program pendidikan Wongso, Patricia Ellen Setiawan tidak mau kalah. Patricia yang sempat ikut Miss Indonesia ini membuat rancangan Museum Tragedi Mei 1998. Keluarganya di Jakarta yang menjadi korban kerusuhan hingga harus mengungsi dan kesulitan mencari makan menjadi salah satu latar belakang pembuatan rancangan itu. ”Tragedi 1998 sampai sekarang juga tidak jelas pengungkapan kasusnya.
Karena itu, rancangan museum ini saya buat agar masyarakat selalu ingat jika museum jadi dibangun sebagai tindak lanjut rancangan ini,” kata Patricia. Menariknya, pada rancangan ini menawarkan inovasi. ”Tiap tanggal 12 Mei, sinar matahari bisa masuk dan langsung menerangi bagian dalam museum. Ini ada rumusnya, hitunghitungannya,” papar gadis kelahiran 15 April 1992 ini.
Soeprayitno
(bhr)