Berburu Berkah Rumah Rakyat

Sabtu, 28 Februari 2015 - 11:23 WIB
Berburu Berkah Rumah...
Berburu Berkah Rumah Rakyat
A A A
Hunian bagi buruh kontrak merupakan mimpi pada pagi hari yang menyenangkan. Memiliki rumah pribadi untuk tempat tinggal bagi keluarganya. Bermain bersama anak dalam lingkungan sehat, jauh dari kata sempit seperti tempat tinggal mereka selama ini di rumah kos yang kumuh.

Rahayu Wijiningtyas, 36, tak percaya kalau dirinya saat ini memiliki rumah sendiri. Selama 15 tahun, ia menghabiskan waktu bekerja di perusahaan percetakan di kawasan Rungkut Industri. Gaji bulanannya selama ini hanya cukup menyewa sepetak kamar untuk hidup bersama keluarganya sehari-hari.

Penghasilan sebagai buruh kontrak memang tak mencukupi untuk keperluan setiap hari. Kebutuhan rutin untuk makan, biaya sekolah anak, sampai kesehatan, selalu menyedot semua gaji bulanan yang diterima dari tempatnya bekerja. “Rasanya untuk memiliki rumah tak mungkin, apalagi harga rumah tiap tahun selalu naik, meskipun upah kami juga naik, harga rumah juga naik lebih banyak,” katanya.

Status sebagai buruh kontrak membuatnya tak bisa berbuat banyak untuk memiliki hunian tetap. Uang bulanan selalu lewat begitu saja untuk keperluan rutin. Bahkan, ada istilah di antara teman-temannya kalau sudah lewat tanggal 15 masuk kiamat. “Uang gaji sudah habis,” katanya.

Belum lagi kalau ada permintaan uang dari keluarganya yang ada di Kediri. Situasi itu membuat dirinya harus mencari pinjaman uang dari teman-temannya. Ia sempat menyerah untuk memiliki rumah yang bisa ditinggali suami dan kedua anaknya yang kini duduk di bangku sekolah dasar.

Awal 2013, ia mencoba peruntungan mengajukan kredit rumah di kawasan Aloha. Secercah harapan pun tiba ketika Bank Tabungan Negara (BTN) memberikan persetujuan kredit murah kepada para pekerja. Dengan pembayaran flattiap bulan, pengajuan itu memberikan harapan baru bagi keluarganya untuk memiliki rumah sendiri.

Ia bercerita kadang pengajuan kredit bagi pegawai kontrak sulit disetujui. Apalagi buruh kontrak yang penghasilannya sejajar dengan upah minimum kota (UMK). “Cicilan bulanan untuk rumah tak sampai Rp1 juta. Itu memudahkan kami untuk membagi uang,” katanya. Selain itu, sistem kredit yang tak ikut suku bunga membuatnya tak perlu lagi waswas kalau tiap tahun ada kenaikan.

Mimpi yang dulu selalu menghiasi tidurnya benar-benar menjadi kenyataan. Kini di rumah barunya tipe 36, ia bisa melihat anak-anaknya berlarian dengan aman. Mereka juga memiliki dapur sendiri serta kamar tidur yang sudah pisah dengan kedua anaknya. Foto keluarga juga tampak di dinding rumahnya menghadap layar televisi di pojok ruangan.

Sepasang kursi bambu menghiasi ruang tamunya yang setiap saat bisa menerima tamu. Dulu, katanya, ketika masih kos di kawasan Brebek, ia harus kesulitan ketika menerima tamu. Kamar kos tak cukup untuk dijadikan tempat duduk. Hasilnya ketika ada tamu yang datang, ia harus melipat kasur untuk menyediakan ruang kosong yang dijadikan tepat duduk.

“Bagi kami yang berpenghasilan pas-pasan, punya rumah itu seperti mimpi,” katanya. Kondisi sama juga dialami Sugito. Buruh di pabrik kayu yang ada di Waru Gunung itu tak menyangka kalau membeli rumah tak harus memiliki uang banyak. Waktu itu, ia dan istrinya hanya memiliki tabungan Rp5 juta. Ia memberanikan diri bertanya tentang kredit rumah yang ada di perumahan Driyorejo yang lokasinya dekat dengan pabriknya.

“Waktu itu berpikir daripada uang yang ada habis untuk sewa rumah petak, jadi kami nekat uang awal membeli rumah saja,” katanya. Setelah bertemu dengan pengembang, ia sempat lemas ketika mendengar uang muka rumah paling rendah Rp10 juta. Perasaan sedih langsung menyelimuti.

Namun, ada program KPR bersubsidi yang bisa ditempuhnya sehingga ia cukup membayar separuh dari uang muka itu. “Jadi waktu itu bayarnya pas Rp5 juta. Sementara cicilan tiap bulan juga dapat subsidi, kalau aslinya bayar Rp1,2 juta. Tapi kami dapat cicilan Rp650.000,” katanya.

Cicilan itu tentu menjadi kabar baik bagi pria kelahiran Wonosobo itu. Ia dan istrinya bisa menyisihkan uang Rp650.000 untuk tagihan rumah. Kini ia sudah menempati rumah bersubsidi itu. “Dulu kalau pas mikiritu sempat berkesimpulan kalau kami sekeluarga akan tinggal di rumah kontrakan sampai tua, ternyata kami sekarang punya rumah sendiri,” ujarnya sambil tersenyum.

Direktur Utama Bank BTN Maryono mengatakan, banyak pihak saat ini yang terus membutuhkan rumah. Kalau mencermati backlog (angka kekurangan) perumahan di Indonesia selalu bertambah tiap tahunnya. Sampai saat ini sudah menembus 15 juta unit yang harus disediakan pemerintah. Selama ini, katanya, BTN tetap fokus pada bisnis pembiayaan perumahan.

Potensi perumahan masih cerah dan menjadikan BTN sebagai bank yang konsisten serta fokus dengan portofolio pembiayaan perumahan mencapai 85%. Bahkan, untuk segmen KPR bersubsidi, BTN menguasai pangsa pasar lebih dari 95% dari total penyaluran fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Total BTN telah memberikan KPR pada 3.500.000 orang lebih untuk memiliki rumah idaman.

“Untuk KPR kalau di bank umum ada yang terkendala regulasi. BTN bank khusus, maka tidak ada pembatasan,” ungkapnya. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini beberapa waktu lalu mengatakan, kebutuhan tempat tinggal memang mutlak dimiliki setiap orang. Di Surabaya harga rumah terus mengalami kenaikan.

Harga properti mengalami kenaikan tajam hampir di semua wilayah Surabaya. Selain tinggal di kos, ada juga para buruh yang sewa rumah susun sederhana (rusunawa). Mereka memanfaatkan hunian flat untuk tempat tinggal mereka di Kota Pahlawan. “Kami tetap berusaha menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat yang terjangkau,” kata wali kota perempuan pertama di Surabaya ini.

Aan haryono
(bbg)
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4217 seconds (0.1#10.24)