Mengenal Mainan Tradisional di Kampung Dolanan
A
A
A
Gobag sodor, jamuran, mungkin sudah terdengar cukup asing di telinga anak-anak kecil saat ini. Apalagi mainan tradisional seperti kitiran, kurungan manuk, othok-othok, gamelan, payung megar mingkup, wayang kertas.
Semakin tergerusnya mainan dan permainan tradisional Jawa tersebut disebabkan salah satunya karena sudah membanjirnya alat-alat mainan yang lebih canggih dan mudah didapatkan di kalangan umum. Apalagi saat ini gadget berupa ponsel sudah bisa diaplikasikan oleh anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Kondisi ini menumbuhkan rasa keprihatinan bagi para pemuda di Kampung Pandes, RT 03 Panggungharjo, Sewon, Bantul. Berkunjung ke daerah tersebut memang tak terlalu berbeda jauh dengan pedesaan-pedesaan lain di Yogyakarta. Suasana yang tak terlalu bising dengan kendaraan, dan keramahan warga setempat masih terasa. Di satu sudut desa terdapat sebuah bangunan mirip pendapa yang betuliskan ‘gedung pojok budaya’.
Di tempat ini lah, para pemuda di desa tersebut melakukan aktivitas menjaga kelestarian budaya para leluhur mereka terlebih dahulu. Seperti dengan peragaan pembuatan mainan tradisional, atau sekedar mengaplikasikan permainanpermainan jaman dulu. “Ini sebagai penghargaan kreativitas leluhur. Nenek moyang kita mempunyai semangat berinovasi, perlu dilestarikan, dan ditiru,” kata salah satu pengurus karang taruna di sana, Hosni Bimo Wicaksono, 31.
Pendirian sebuah pendapa budaya ini sudah sejak 2008 lalu. Di sini biasa menerima para tamu kalangan akademik, mulai dari mahasiswa, siswa sekolah dari tingkat SMA, hingga SD. “Untuk tempat outbondatau sekadar mereka ingin mengetahui permainan ataupun mainan tradisional zaman dulu. Kalau untuk mahasiswa yang datang, mereka ingin melihat desain mainan saja,” ungkapnya. Kampung ini dulunya adalah tempat pembuatan mainan tradisional.
Dulunya setiap kali ada pasar malam atau sekaten, baik di sekitar Yogyakarta atau di Jawa Tengah, seluruh warga bedol desa. Mendatanginya dengan menjual hasil-hasil produksinya. “Kita sampai menginap, dua minggu tidur di lapak pasar malam. Sampai ke Purworejo dan daerah-daerah lain,” ujar Hosni. Saat ini sudah generasi ketiga dan hanya tinggal sekitar lima perajin mainan saja.
“Itu pun sudah tua, lebih dari 70 tahun umurnya,” ucapnya. Lima perajin tersebut dalam membuat mainan tradisional pun tak seperti dulu lagi. Hanya sekadar untuk mengisi waktu luang. Karena berdasar nilai ekonomisnya, tak terlalu membantu perekonomian keluarga mereka. “Harga setiap mainan saat ini kisaran Rp2.000 saja. Harga murah itu pun sudah jarang orang beli,” kata Hosni.
Salah satu perajin, Saminem, 75, mengungkapkan, dia berhenti membuat dan menjual mainan tersebut karena lebih memilih mengurusi keluarganya. “Mengasuh cucu saja. Sudah tidak laku, beberapa dagangan saya tinggal di Pasar Talok (dekatnya),” ucapnya.
Ridho Hidayat
Bantul
Semakin tergerusnya mainan dan permainan tradisional Jawa tersebut disebabkan salah satunya karena sudah membanjirnya alat-alat mainan yang lebih canggih dan mudah didapatkan di kalangan umum. Apalagi saat ini gadget berupa ponsel sudah bisa diaplikasikan oleh anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Kondisi ini menumbuhkan rasa keprihatinan bagi para pemuda di Kampung Pandes, RT 03 Panggungharjo, Sewon, Bantul. Berkunjung ke daerah tersebut memang tak terlalu berbeda jauh dengan pedesaan-pedesaan lain di Yogyakarta. Suasana yang tak terlalu bising dengan kendaraan, dan keramahan warga setempat masih terasa. Di satu sudut desa terdapat sebuah bangunan mirip pendapa yang betuliskan ‘gedung pojok budaya’.
Di tempat ini lah, para pemuda di desa tersebut melakukan aktivitas menjaga kelestarian budaya para leluhur mereka terlebih dahulu. Seperti dengan peragaan pembuatan mainan tradisional, atau sekedar mengaplikasikan permainanpermainan jaman dulu. “Ini sebagai penghargaan kreativitas leluhur. Nenek moyang kita mempunyai semangat berinovasi, perlu dilestarikan, dan ditiru,” kata salah satu pengurus karang taruna di sana, Hosni Bimo Wicaksono, 31.
Pendirian sebuah pendapa budaya ini sudah sejak 2008 lalu. Di sini biasa menerima para tamu kalangan akademik, mulai dari mahasiswa, siswa sekolah dari tingkat SMA, hingga SD. “Untuk tempat outbondatau sekadar mereka ingin mengetahui permainan ataupun mainan tradisional zaman dulu. Kalau untuk mahasiswa yang datang, mereka ingin melihat desain mainan saja,” ungkapnya. Kampung ini dulunya adalah tempat pembuatan mainan tradisional.
Dulunya setiap kali ada pasar malam atau sekaten, baik di sekitar Yogyakarta atau di Jawa Tengah, seluruh warga bedol desa. Mendatanginya dengan menjual hasil-hasil produksinya. “Kita sampai menginap, dua minggu tidur di lapak pasar malam. Sampai ke Purworejo dan daerah-daerah lain,” ujar Hosni. Saat ini sudah generasi ketiga dan hanya tinggal sekitar lima perajin mainan saja.
“Itu pun sudah tua, lebih dari 70 tahun umurnya,” ucapnya. Lima perajin tersebut dalam membuat mainan tradisional pun tak seperti dulu lagi. Hanya sekadar untuk mengisi waktu luang. Karena berdasar nilai ekonomisnya, tak terlalu membantu perekonomian keluarga mereka. “Harga setiap mainan saat ini kisaran Rp2.000 saja. Harga murah itu pun sudah jarang orang beli,” kata Hosni.
Salah satu perajin, Saminem, 75, mengungkapkan, dia berhenti membuat dan menjual mainan tersebut karena lebih memilih mengurusi keluarganya. “Mengasuh cucu saja. Sudah tidak laku, beberapa dagangan saya tinggal di Pasar Talok (dekatnya),” ucapnya.
Ridho Hidayat
Bantul
(ars)