9 Juni Lokalisasi Kedung Banteng Tutup
A
A
A
PONOROGO - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo serius hendak menutup Lokalisasi Kedung Banteng mulai 9 Juni. Pemkab bahkan menggelontor dana hampir Rp1,5 miliar untuk memuluskan rencana tersebut.
Rencananya, Kota Reog akan dibersihkan dari lokalisasi pada 9 Juni 2015, atau sekitar sepekan menjelang masuknya Ramadan 1436 hijriah. Termasuk penutupan Lokalisasi Kedung Banteng yang berada di Kecamatan Sukorejo.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Ponorogo Agus Pramono menyatakan, jadwal itu telah disusun oleh dinas terkait. Penutupan ini menjadi salah satu tahap dari serangkaian langkah yang akan ditempuh untuk menutup lokalisasi. Mulai dari pendataan hingga monitoring . “Jadwalnya 9 Juni deklarasi penutupan. Saya yakin tidak mundur lagi dari rencana. Sebab semuanya sudah kami susun dengan baik dengan berbagai pertimbangan,” ujar Agus Pramono usai Rakor Penutupan Kedung Banteng, kemarin.
Dikatakannya, sedianya penutupan dilakukan pada April. Namun melihat kondisi yang ada, maka jadwal ini diundur sekitar dua bulan. Salah satunya adalah tradisi para penghuni lokalisasi yang selalu mudik setiap menjelang puasa dan lokalisasi tutup selama satu bulan penuh selama puasa. “Agar lebih mudah maka dipaskan di waktu-waktu itu. Agar lebih kondusif,” ujarnya.
Agus menyatakan, selain itu, dana untuk proses penutupan lokalisasi dan pemulangan wanita tunasusila (WTS) sudah siap. “Dari pusat sudah disetujui, sudah clear . Tinggal pelaksanaan saja. Draf kepanitiaan dan draf SK Penutupan sudah diajukan ke bupati tinggal tanda tangan saja. Tadi ada usul juga dari Kapolres untuk memasukkan soal penegakan hukum,” ungkapnya.
Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ponorogo Sumani menyatakan, saat ini dana yang diajukan untuk seluruh tahapan penutupan lokalisasi Kedung Banteng senilai Rp1,5 miliar. Rinciannya, Rp888,8 juta untuk bantuan dana bagi WTS dan Rp610 juta untuk masyarakat yang terdampak penutupan lokalisasi. Golongan yang kedua ini adalah para pemilik warung, tukang sayur, tukang parkir, tukang cuci dan warga lain yang selama ini menggantungkan hidupnya dari adanya lokalisasi.
“Pendataan kami sudah selesai, by name by address (berdasar nama dan alamat). Yaitu ada 176 WTS, 39 mucikari, dan ada 92 warga terdampak,” ujarnya. Dari dana Rp888,8 juta, lanjut Sumani, setiap WTS mendapatkan dana senilai Rp5.050.000, untuk bantuan modal usah senilai Rp3 juta, jaminan hidup selama enam bulan Rp1,8 juta dan ongkos pemulangan Rp250.000. Sedangkan untuk warga yang terdampak akan mendapatkan bantuan modal usaha senilai Rp5 juta tiap orang.
Sedangkan total pembinaan dan pemberdayaan yang diusulkan adalah Rp150 juta. Khusus mucikari, pemerintah tidak akan memberi kompensasi apa pun. Kasubag Bantuan Sosial Biro Administrasi dan Kesejahteraan Rakyat Pemprov Jatim Syamsuddin yang juga hadir dalam rapat menegaskan tidak ada lagi alasan bagi Pemkab Ponorogo untuk tidak menutup lokalisasi yang ada di wilayahnya.
Selain kepanitiaan dan dana yang sudah siap, menurutnya sudah saatnya situs kemaksiatan seperti lokalisasi ditutup. “Lokalisasi bisa jadi sumber kemaksiatan lain. Bisa perjudian, minuman keras, sampai penjualan manusia alias human trafficking . Jadi tidak ada alasan lain untuk menunda-nunda lagi,” ujarnya.
Dikatakannya, Pemprov Jatim memberikan dukungan penuh rencana ini. Meski agak mundur dari target penutupan seluruh lokalisasi di Jatim, yaitu pada akhir 2014, namun langkah Pemkab Ponorogo perlu diapresiasi. “Sekarang tinggal dua lokalisasi dari 47 lokalisasi yang pernah ada di Jatim. Satu di Ponorogo dan sudah akan tutup, satu lagi di Kota Mojokerto yang juga sedang melakukan pendekatan. Kami yakin semua bisa tutup, negara tidak boleh kalah dengan kemaksiatan,” ujarnya.
Sebelumnya, di seluruh Jawa Timur terdapat 47 lokalisasi. Dari jumlah tersebut, terdapat 7.127 WTS yang terdata oleh pemerintah. Saat ini jumlah telah menurun jauh. Yaitu tinggal 176 orang di lokalisasi Kedung Banteng Ponorogo dan ratusan WTS di lokalisasi Balong Cangkring di Kota Mojokerto.
Dili eyato
Rencananya, Kota Reog akan dibersihkan dari lokalisasi pada 9 Juni 2015, atau sekitar sepekan menjelang masuknya Ramadan 1436 hijriah. Termasuk penutupan Lokalisasi Kedung Banteng yang berada di Kecamatan Sukorejo.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Ponorogo Agus Pramono menyatakan, jadwal itu telah disusun oleh dinas terkait. Penutupan ini menjadi salah satu tahap dari serangkaian langkah yang akan ditempuh untuk menutup lokalisasi. Mulai dari pendataan hingga monitoring . “Jadwalnya 9 Juni deklarasi penutupan. Saya yakin tidak mundur lagi dari rencana. Sebab semuanya sudah kami susun dengan baik dengan berbagai pertimbangan,” ujar Agus Pramono usai Rakor Penutupan Kedung Banteng, kemarin.
Dikatakannya, sedianya penutupan dilakukan pada April. Namun melihat kondisi yang ada, maka jadwal ini diundur sekitar dua bulan. Salah satunya adalah tradisi para penghuni lokalisasi yang selalu mudik setiap menjelang puasa dan lokalisasi tutup selama satu bulan penuh selama puasa. “Agar lebih mudah maka dipaskan di waktu-waktu itu. Agar lebih kondusif,” ujarnya.
Agus menyatakan, selain itu, dana untuk proses penutupan lokalisasi dan pemulangan wanita tunasusila (WTS) sudah siap. “Dari pusat sudah disetujui, sudah clear . Tinggal pelaksanaan saja. Draf kepanitiaan dan draf SK Penutupan sudah diajukan ke bupati tinggal tanda tangan saja. Tadi ada usul juga dari Kapolres untuk memasukkan soal penegakan hukum,” ungkapnya.
Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ponorogo Sumani menyatakan, saat ini dana yang diajukan untuk seluruh tahapan penutupan lokalisasi Kedung Banteng senilai Rp1,5 miliar. Rinciannya, Rp888,8 juta untuk bantuan dana bagi WTS dan Rp610 juta untuk masyarakat yang terdampak penutupan lokalisasi. Golongan yang kedua ini adalah para pemilik warung, tukang sayur, tukang parkir, tukang cuci dan warga lain yang selama ini menggantungkan hidupnya dari adanya lokalisasi.
“Pendataan kami sudah selesai, by name by address (berdasar nama dan alamat). Yaitu ada 176 WTS, 39 mucikari, dan ada 92 warga terdampak,” ujarnya. Dari dana Rp888,8 juta, lanjut Sumani, setiap WTS mendapatkan dana senilai Rp5.050.000, untuk bantuan modal usah senilai Rp3 juta, jaminan hidup selama enam bulan Rp1,8 juta dan ongkos pemulangan Rp250.000. Sedangkan untuk warga yang terdampak akan mendapatkan bantuan modal usaha senilai Rp5 juta tiap orang.
Sedangkan total pembinaan dan pemberdayaan yang diusulkan adalah Rp150 juta. Khusus mucikari, pemerintah tidak akan memberi kompensasi apa pun. Kasubag Bantuan Sosial Biro Administrasi dan Kesejahteraan Rakyat Pemprov Jatim Syamsuddin yang juga hadir dalam rapat menegaskan tidak ada lagi alasan bagi Pemkab Ponorogo untuk tidak menutup lokalisasi yang ada di wilayahnya.
Selain kepanitiaan dan dana yang sudah siap, menurutnya sudah saatnya situs kemaksiatan seperti lokalisasi ditutup. “Lokalisasi bisa jadi sumber kemaksiatan lain. Bisa perjudian, minuman keras, sampai penjualan manusia alias human trafficking . Jadi tidak ada alasan lain untuk menunda-nunda lagi,” ujarnya.
Dikatakannya, Pemprov Jatim memberikan dukungan penuh rencana ini. Meski agak mundur dari target penutupan seluruh lokalisasi di Jatim, yaitu pada akhir 2014, namun langkah Pemkab Ponorogo perlu diapresiasi. “Sekarang tinggal dua lokalisasi dari 47 lokalisasi yang pernah ada di Jatim. Satu di Ponorogo dan sudah akan tutup, satu lagi di Kota Mojokerto yang juga sedang melakukan pendekatan. Kami yakin semua bisa tutup, negara tidak boleh kalah dengan kemaksiatan,” ujarnya.
Sebelumnya, di seluruh Jawa Timur terdapat 47 lokalisasi. Dari jumlah tersebut, terdapat 7.127 WTS yang terdata oleh pemerintah. Saat ini jumlah telah menurun jauh. Yaitu tinggal 176 orang di lokalisasi Kedung Banteng Ponorogo dan ratusan WTS di lokalisasi Balong Cangkring di Kota Mojokerto.
Dili eyato
(ars)