Konsisten Ketahanan Pangan
A
A
A
YOGYAKARTA - TNI mempelajari ilmu pertanian? Bagi sebagian orang mungkin terlihat kurang pas. Sebab TNI punya tugas lebih strategis dari itu.
Apalagi Indonesia tak kekurangan sarjana bidang pertanian yang terus dilahirkan kampus-kampus di Tanah Air. Tapi pandangan itu ditepis Komandan Kodim 0734 Yogyakarta Letkol Inf Renal A Sinaga. Penilaian tersebut dianggap lumrah di tengah kuatnya dorongan orang-orang yang sengaja ingin menjauhkan TNI dengan masyarakat. Termasuk menganggap tak penting bagi TNI turut mengurusi pertanian.
Soal ini, Renal punya jawabannya. Mantan Dan Yonif 403 Wirasada Pratista ini mengungkapkan sebagai negara agraris, Indonesia termasuk ironi. Kebutuhan pangan untuk rakyatnya masih diimpor dari negara tetangga. Program swasembada pangan tak pernah benar-benar terealisasi. Dari sana, TNI tergerak turut terlibat langsung untuk mendukung program ketahanan pangan yang kini gencar dikampanyekan.
Teorinya sederhana saja, jika pangan sudah swasembada maka negara ini tak akan tergantung pada negara lain. Di luar itu, keterlibatan TNI sekaligus akan mempererat hubungannya dengan masyarakat. Di mana TNI bisa langsung bersentuhan dan bahu membahu bersama masyarakat menjaga kedaulatan NKRI. “Ingat negara ini tetap bisa terjaga berkat kemanunggalan TNI dan rakyat,” katanya tegas.
Renal mengakui bagi seorang prajurit terjun langsung dalam bidang pertanian bukan perkara mudah. Karena itu prajurit Babinsa dilatih memahami sektor ini. Mereka bahkan dituntut bisa langsung berpraktik. Tujuannya, agar bisa dimanfaatkan untuk dirinya sendiri, juga bagi masyarakat. Langkah ini penting karena prajurit dituntut memiliki kehidupan yang layak.
Dengan begitu, dia bisa turut memikirkan kehidupan masyarakat. “Prajurit harus bisa mendorong dan memberi contoh agar masyarakat ikut tergerak kembali menekuni dunia pertanian,” katanya. Tanpa pemahaman ini tidak mungkin prajurit akan mendorong apalagi memberi contoh untuk bertani.
Padahal, masyarakat masih membutuhkan beras untuk makanan, sayuran, hingga lauk pauk. Jika semuanya impor, maka negara akan dengan mudah didikte negara lain. Walau untuk Kota Yogyakarta tidak mungkin menggenjot produksi dari hasil pertanian akibat keterbatasan lahan yang hanya tersisa 71 hektare saja.
Tapi, daerah ini masih bisa mengambil siasat dengan memproduksi benih untuk kebutuhan di daerah lain yang memiliki lahan pertanian lebih luas. Strategi ini dianggap jauh lebih efektif karena tidak bergantung ketersediaan lahan. “Tidak bisa produksi hasilnya, yabibitnya. Prajurit juga harus bisa. Abaikan saja nada sumbang, karena yang bersuara sumbang pun malah tidak berbuat apa-apa,” ucapnya.
Soal ketahanan pangan, TNI rupanya cukup konsisten. Di samping mempelajari teknik bertani mulai membajak sawah, menanam padi, memanen, hingga menyemai bibit, mereka juga diarahkan untuk menguasai metode bertani hidroponik.
Pelatihan hidroponik secara kontinu dilakukan sejak beberapa tahu silam. Ke depan, TNI khususnya Kodim Kota tengah membidik budi daya ikan air tawar. “Semua itu untuk mendukung program ketahanan pangan,” tandasnya.
Sodik
Apalagi Indonesia tak kekurangan sarjana bidang pertanian yang terus dilahirkan kampus-kampus di Tanah Air. Tapi pandangan itu ditepis Komandan Kodim 0734 Yogyakarta Letkol Inf Renal A Sinaga. Penilaian tersebut dianggap lumrah di tengah kuatnya dorongan orang-orang yang sengaja ingin menjauhkan TNI dengan masyarakat. Termasuk menganggap tak penting bagi TNI turut mengurusi pertanian.
Soal ini, Renal punya jawabannya. Mantan Dan Yonif 403 Wirasada Pratista ini mengungkapkan sebagai negara agraris, Indonesia termasuk ironi. Kebutuhan pangan untuk rakyatnya masih diimpor dari negara tetangga. Program swasembada pangan tak pernah benar-benar terealisasi. Dari sana, TNI tergerak turut terlibat langsung untuk mendukung program ketahanan pangan yang kini gencar dikampanyekan.
Teorinya sederhana saja, jika pangan sudah swasembada maka negara ini tak akan tergantung pada negara lain. Di luar itu, keterlibatan TNI sekaligus akan mempererat hubungannya dengan masyarakat. Di mana TNI bisa langsung bersentuhan dan bahu membahu bersama masyarakat menjaga kedaulatan NKRI. “Ingat negara ini tetap bisa terjaga berkat kemanunggalan TNI dan rakyat,” katanya tegas.
Renal mengakui bagi seorang prajurit terjun langsung dalam bidang pertanian bukan perkara mudah. Karena itu prajurit Babinsa dilatih memahami sektor ini. Mereka bahkan dituntut bisa langsung berpraktik. Tujuannya, agar bisa dimanfaatkan untuk dirinya sendiri, juga bagi masyarakat. Langkah ini penting karena prajurit dituntut memiliki kehidupan yang layak.
Dengan begitu, dia bisa turut memikirkan kehidupan masyarakat. “Prajurit harus bisa mendorong dan memberi contoh agar masyarakat ikut tergerak kembali menekuni dunia pertanian,” katanya. Tanpa pemahaman ini tidak mungkin prajurit akan mendorong apalagi memberi contoh untuk bertani.
Padahal, masyarakat masih membutuhkan beras untuk makanan, sayuran, hingga lauk pauk. Jika semuanya impor, maka negara akan dengan mudah didikte negara lain. Walau untuk Kota Yogyakarta tidak mungkin menggenjot produksi dari hasil pertanian akibat keterbatasan lahan yang hanya tersisa 71 hektare saja.
Tapi, daerah ini masih bisa mengambil siasat dengan memproduksi benih untuk kebutuhan di daerah lain yang memiliki lahan pertanian lebih luas. Strategi ini dianggap jauh lebih efektif karena tidak bergantung ketersediaan lahan. “Tidak bisa produksi hasilnya, yabibitnya. Prajurit juga harus bisa. Abaikan saja nada sumbang, karena yang bersuara sumbang pun malah tidak berbuat apa-apa,” ucapnya.
Soal ketahanan pangan, TNI rupanya cukup konsisten. Di samping mempelajari teknik bertani mulai membajak sawah, menanam padi, memanen, hingga menyemai bibit, mereka juga diarahkan untuk menguasai metode bertani hidroponik.
Pelatihan hidroponik secara kontinu dilakukan sejak beberapa tahu silam. Ke depan, TNI khususnya Kodim Kota tengah membidik budi daya ikan air tawar. “Semua itu untuk mendukung program ketahanan pangan,” tandasnya.
Sodik
(ftr)