Pedagang Cuek Bakteri Berbahaya

Senin, 09 Februari 2015 - 14:28 WIB
Pedagang Cuek Bakteri Berbahaya
Pedagang Cuek Bakteri Berbahaya
A A A
BLITAR - Sejumlah pedagang baju bekas impor di wilayah Kota dan Kabupaten Blitar tidak mempercayai isu bakteri berbahaya. Bila memang mikroba dan jamur berbahaya itu ada, para pedagang yakin mereka yang pertama jadi korban.

“Kami tidak percaya kabar penyakit itu. Kalau memang ada, tentu kami yang pertama kali terjangkit,” tutur Nina Jefri, 40, pemilik grosir pakaian bekas di lingkungan Makam Proklamator Soekarno, Kota Blitar. Pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan, pakaian impor bekas mengandung bakteri dan jamur berbahaya.

Keterangan bahaya kesehatan dan larangan menggunakan tersebut dirilis usai pengambilan 25 sampel baju di wilayah pasar Senen, Jakarta. Sebagai pengusaha baju bekas, Nina menolak instruksi kementerian. Sebab, kebijakan tersebut sama halnya membunuh mata pencariannya. “Sebab, mata pencarian kami sepenuhnya dari berjualan pakaian bekas. Bagi kami jelas ini meresahkan. Selain itu, kasus sakit akibat baju bekas juga sampai sekarang tidak terbukti,” ucapnya.

Dalam sebulan Nina mengaku mampu menjual kurang lebih 30 bal. Untuk satu bal adalah ukuran satu karung besar. Tidak hanya kemeja. Satu karung besar yang dikulak dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya itu juga berisi celana panjang dan pendek, jaket kain, jaket jin, jaket kulit, kaos, rok, pakaian renang, hingga kaos kaki. Informasinya, sebagian besar sandangan bekas yang kemudian diambil pengepul, pengecer, dan dijajakan keliling ke desa-desa itu berasal dari Singapura, Hong Kong, dan Australia.

“Sebelum kami lempar ke pasar, disortir dulu. Biasanya hanya 20% yang tidak layak karena kondisinya cacat. Sebelum kami jual, kami cuci dulu,” ucapnya. Banderol paling mahal adalah jaket kulit. Setiap potongnya bisa mencapai Rp300.000–- Rp400.000. Harga termurah dia patok pada kaos kaki. Nina yang memulai usaha bersama suami sejak tahun 1997 itu menjual sepasang kaos kaki Rp7.500. Untuk kaos oblong dan celana jin bermerek masing-masing Rp20.000-Rp100.000 per potong.

“Setiap bulannya ratarata penghasilan mencapai Rp60 juta - Rp70 juta,” katanya. Dia menampik anggapan bahwa konsumen baju bekas adalah masyarakat bergolongan ekonomi menengah ke bawah. Sebab, faktanya tidak sedikit orang-orang berada yang juga berburu baju bekas.

“Alasan beli baju bekas karena bermerek, murah, dan awet. Dilihat dari sisi mutu, merek, dan harga, tentu jauh lebih bagus dibandingkan baju baru yang mudah rusak,” ujarnya seraya menambahkan bahwa isu bakteri dan jamur pada pakaian bekas tidak begitu berpengaruh pada penjualan. Diketahui, perdagangan baju impor sudah bertahun tahun menjamur di wilayah Kota dan Kabupaten Blitar.

Bagi beberapa lapisan masyarakat, baju bekas menjadi solusi alternatif sandanganmengingat harga pakaian baru di mal dan pertokoan relatif tinggi. Terpisah, Dokter Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Blitar, Muji Astutik, mengatakan, munculnya bakteri dan jamur sangat mungkin terjadi. Hal itu mengingat proses pengiriman baju bekas berlangsung antarpelabuhan. “Ada sejumlah bakteri dan jamur yang tidak mudah mati walaupun sudah direndam air mendidih,” ujarnya.

Untuk itu Muji mengimbau masyarakat mewaspadai hal itu meskipun hingga kini belum ada laporan warga sakit akibat memakai baju bekas.

Solichan arif
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3559 seconds (0.1#10.140)