Monumen Pantat Bugil dan Masjid Istiqomah
A
A
A
MENGAPRESIASI keberhasilan Stasiun Radio Malabar, pemerintah Hindia Belanda membu at sebuah monumen di Taman Citarum, yang kini berdiri Mas jid Istiqomah, Kota Bandung.
Monumen Stasiun Radio Malabar itu dirancang oleh C.P. Wolff B. Coops, dan diresmikan 27 Januari 1930. Sudarsono Katam dalam buku Tjitaroempeinmeng i sahkan keberadaan monumen ini. Monumen Stasiun Radio Malabar berbentuk bola yang meng gam barkan bumi. Di ke dua sisinya disertakan dua pa tung laki-laki tanpa busana.
Satu patung laki-laki tam pak dalam posisi menempel kan ta ngan ke mulut tanda berteriak, dan patung di sisi bola lainnya sedang memegang telinga tanda mendengarkan. Di bagian bola sendiri, terdapat puisi berbahasa Belanda yang menjelaskan maksud di di rikannya monumen. Uniknya, karena patung telanjang itu lah masyarakat lebih suka me ny ebut Monumen Stasiun Ra dio Malabar dengan Monumen Pantat Bugil.
“Pemilihan bentuk monu men itu tidak ada alasan apaapa. Sejak masa Renaisans di Ero pa, patung-patung memang di buat telanjang. Nah, kebiasaan itu juga ikut masuk ke Hindia Belanda, salah satunya Monumen Stasiun Radio Malabar ini,” katanya saat ditemui di kediamannya Jalan Tanjung. Tapi, lanjut dia, semuanya pun bukan untuk menonjolkan vulgaritas namun murni seni. “Hanya saja di kita ma sih tabu,” ungkapnya.
Sayangnya, nasib Monumen Sta siun Radio Malabar sama tragisnya dengan Stasiun Radio Malabar sendiri. Monumen ini di han curkan. Hanya saja, hi ngga kini tidak diketahui dengan jelas sia pa yang meng han cur kannya, ter masuk atas pe rintah siapa peng hancuran monumen itu di lakukan.
“Monumen itu musnah di se k itar tahun 1950. Masyarakat Band ung sendiri tidak ada yang sa dar kapan monumen itu hancur, tepatnya tanggal berapa tidak ada yang tahu. Hanya saja ber dasarkan ingatan, monumen itu mulai tidak ada di kisar an tahun 1950,” ucap Katam. Penulis sekaligus peneliti sejarah Bandung itu menganalisa, peng hancuran Monumen Stasiun Radio Malabar di latar - belakangi sikap anti-Belanda.
Di medio 1950-an, perasaan anti pati terhadap bangsa Belanda memang tengah memuncak. Selain alasan tersebut, ujar Katam, bentuk patung yang menying gung aspek kesusilaan juga menjadi alasannya. “Memang saat itu lagi era anti-Belanda, ditambah ma syarakat Bandung tidak suka dengan bentuk patung yang tidak se nonoh. Karena faktor susila itulah makannya monumen itu dihancurkan,” tuturnya.
Setelah monumen tersebut mus nah, Taman Citarum yang di masa kolonial dikenal dengan nama Tjitaroemplein cen derung tak terurus. Lahan bekas Mo numen Stasiun Radio Ma labar kemudian di bangun Masjid Istiqomah pada 1967.
Gugum rachmat gumilar
Monumen Stasiun Radio Malabar itu dirancang oleh C.P. Wolff B. Coops, dan diresmikan 27 Januari 1930. Sudarsono Katam dalam buku Tjitaroempeinmeng i sahkan keberadaan monumen ini. Monumen Stasiun Radio Malabar berbentuk bola yang meng gam barkan bumi. Di ke dua sisinya disertakan dua pa tung laki-laki tanpa busana.
Satu patung laki-laki tam pak dalam posisi menempel kan ta ngan ke mulut tanda berteriak, dan patung di sisi bola lainnya sedang memegang telinga tanda mendengarkan. Di bagian bola sendiri, terdapat puisi berbahasa Belanda yang menjelaskan maksud di di rikannya monumen. Uniknya, karena patung telanjang itu lah masyarakat lebih suka me ny ebut Monumen Stasiun Ra dio Malabar dengan Monumen Pantat Bugil.
“Pemilihan bentuk monu men itu tidak ada alasan apaapa. Sejak masa Renaisans di Ero pa, patung-patung memang di buat telanjang. Nah, kebiasaan itu juga ikut masuk ke Hindia Belanda, salah satunya Monumen Stasiun Radio Malabar ini,” katanya saat ditemui di kediamannya Jalan Tanjung. Tapi, lanjut dia, semuanya pun bukan untuk menonjolkan vulgaritas namun murni seni. “Hanya saja di kita ma sih tabu,” ungkapnya.
Sayangnya, nasib Monumen Sta siun Radio Malabar sama tragisnya dengan Stasiun Radio Malabar sendiri. Monumen ini di han curkan. Hanya saja, hi ngga kini tidak diketahui dengan jelas sia pa yang meng han cur kannya, ter masuk atas pe rintah siapa peng hancuran monumen itu di lakukan.
“Monumen itu musnah di se k itar tahun 1950. Masyarakat Band ung sendiri tidak ada yang sa dar kapan monumen itu hancur, tepatnya tanggal berapa tidak ada yang tahu. Hanya saja ber dasarkan ingatan, monumen itu mulai tidak ada di kisar an tahun 1950,” ucap Katam. Penulis sekaligus peneliti sejarah Bandung itu menganalisa, peng hancuran Monumen Stasiun Radio Malabar di latar - belakangi sikap anti-Belanda.
Di medio 1950-an, perasaan anti pati terhadap bangsa Belanda memang tengah memuncak. Selain alasan tersebut, ujar Katam, bentuk patung yang menying gung aspek kesusilaan juga menjadi alasannya. “Memang saat itu lagi era anti-Belanda, ditambah ma syarakat Bandung tidak suka dengan bentuk patung yang tidak se nonoh. Karena faktor susila itulah makannya monumen itu dihancurkan,” tuturnya.
Setelah monumen tersebut mus nah, Taman Citarum yang di masa kolonial dikenal dengan nama Tjitaroemplein cen derung tak terurus. Lahan bekas Mo numen Stasiun Radio Ma labar kemudian di bangun Masjid Istiqomah pada 1967.
Gugum rachmat gumilar
(ars)