Dewan Tolak Pengelolaan TPA oleh Pemda
A
A
A
BANTUL - DPRD Kabupaten Bantul secara tegas menolak rencana Pemda DIY yang akan mengambil alih pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan dari Sekretariat Bersama (Sekber) Yogyakarta, Sleman, dan Bantul (Kartamantul).
Dewan khawatir masalah sosial dan efek lainnya akan semakin besar bagi warga sekitar TPA Piyungan yang juga merupakan warga Bantul. Ketua Komisi C DPRD Bantul Wildan Nafis mengatakan, selama ini efek sosial dan lingkungan menjadi persoalan yang sulit diatasi. Bahkan janji pemberian kompensasi terhadap warga yang tinggal di seputaran TPA Piyungan sampai saat ini juga belum pernah diberikan.
Sehingga jika pengelolaan diambil alih oleh Pemda DIY, maka ke depan masyarakat di kawasan tersebut semakin tidak terjamin. “Jika dikelola Pem da DIY, posisi tawar Bantul dalam TPA tersebut men jadi lemah. Jaminan di penuhinya kepentingan warga Bantul semakin menipis,” ujarnya, kemarin.
Menurut Wildan, karena TPA Piyungan berada di kawasan Bantul maka seharusnya dikelola oleh Bantul atau minimal Sekber Kartamantul seperti yang selama ini sudah dilakukan. Dengan catatan pengawasan dari berbagai pihak terkait pengelolaan TPA tersebut harus ditingkatkan. Sehingga berbagai kepentingan masyarakat sekitar tetap bisa terakomondasi dan janji-janji yang selama ini diberikan bisa direalisasikan.
Mantan Kepala Unit Pelayanan Terpadu (UPT) TPA Piyungan, Surono mengungkapkan, sejak 1 Januari 2015 lalu, pengelolaan TPA Piyungan memang ditarik oleh Pemda DIY. Meski tidak mempermasa lahkan hal tersebut, namun dia khawatir dengan ditariknya pengelolaan tersebut oleh Pemda DIY beberapa program yang dirancang sebelumnya gagal.
“Kami sudah ada kesepakatan dengan pihak swasta yaitu Holcim yang ingin mengelola sampah terutama organik. PT Holcim mengambil sampah organik untuk dijadikan bahan bakar mereka. Kalau diambil pemda, nanti kelanjutannya bagaimana,” paparnya.
Selama ini, biaya operasional pengelolaan sampah di TPA Piyungan bisa mencapai Rp3,5 miliar yang ditanggung oleh tiga wilayah Kodya Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Bantul hanya mengeluarkan biaya paling sedikit karena volume sampah yang masuk ke TPA tersebut paling sedikit. Selama ini Bantul hanya menyumbang sampah sekitar 15% dari total sampah yang masuk, terbanyak adalah Kota Yogya karta yang mencapai 55%.
Surono mengakui jika saat ini kondisi TPA Piyungan sudah hampir penuh. Karena di zona 1, 2, dan 3 sudah penuh semua sehingga untuk membuang sampah di TPA tersebut tidak bisa lagi melalui dermaga yang ada. Kemungkinan besar jika pem buangan sampah tetap dilaku kan kemungkinan hanya dengan cara bisa menumpuknya di atas sampah zona 1. Dia berharap agar pemerintah DIY mampu mengatasi permasalahan sampah di Kota Yogyakarta, Sleman dan Bantul.
Dengan volume sampah yang masuk per hari mulai dari 450–500 ton setiap harinya, maka umur TPA Piyungan dengan luasan sekitar 12,5 hektare hanya akan bertahan paling lama setahun lagi. “Ya minimal sampah bisa tertata dengan ba - ik, itu harapan kami,” paparnya.
Erfanto Linangkung
Dewan khawatir masalah sosial dan efek lainnya akan semakin besar bagi warga sekitar TPA Piyungan yang juga merupakan warga Bantul. Ketua Komisi C DPRD Bantul Wildan Nafis mengatakan, selama ini efek sosial dan lingkungan menjadi persoalan yang sulit diatasi. Bahkan janji pemberian kompensasi terhadap warga yang tinggal di seputaran TPA Piyungan sampai saat ini juga belum pernah diberikan.
Sehingga jika pengelolaan diambil alih oleh Pemda DIY, maka ke depan masyarakat di kawasan tersebut semakin tidak terjamin. “Jika dikelola Pem da DIY, posisi tawar Bantul dalam TPA tersebut men jadi lemah. Jaminan di penuhinya kepentingan warga Bantul semakin menipis,” ujarnya, kemarin.
Menurut Wildan, karena TPA Piyungan berada di kawasan Bantul maka seharusnya dikelola oleh Bantul atau minimal Sekber Kartamantul seperti yang selama ini sudah dilakukan. Dengan catatan pengawasan dari berbagai pihak terkait pengelolaan TPA tersebut harus ditingkatkan. Sehingga berbagai kepentingan masyarakat sekitar tetap bisa terakomondasi dan janji-janji yang selama ini diberikan bisa direalisasikan.
Mantan Kepala Unit Pelayanan Terpadu (UPT) TPA Piyungan, Surono mengungkapkan, sejak 1 Januari 2015 lalu, pengelolaan TPA Piyungan memang ditarik oleh Pemda DIY. Meski tidak mempermasa lahkan hal tersebut, namun dia khawatir dengan ditariknya pengelolaan tersebut oleh Pemda DIY beberapa program yang dirancang sebelumnya gagal.
“Kami sudah ada kesepakatan dengan pihak swasta yaitu Holcim yang ingin mengelola sampah terutama organik. PT Holcim mengambil sampah organik untuk dijadikan bahan bakar mereka. Kalau diambil pemda, nanti kelanjutannya bagaimana,” paparnya.
Selama ini, biaya operasional pengelolaan sampah di TPA Piyungan bisa mencapai Rp3,5 miliar yang ditanggung oleh tiga wilayah Kodya Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Bantul hanya mengeluarkan biaya paling sedikit karena volume sampah yang masuk ke TPA tersebut paling sedikit. Selama ini Bantul hanya menyumbang sampah sekitar 15% dari total sampah yang masuk, terbanyak adalah Kota Yogya karta yang mencapai 55%.
Surono mengakui jika saat ini kondisi TPA Piyungan sudah hampir penuh. Karena di zona 1, 2, dan 3 sudah penuh semua sehingga untuk membuang sampah di TPA tersebut tidak bisa lagi melalui dermaga yang ada. Kemungkinan besar jika pem buangan sampah tetap dilaku kan kemungkinan hanya dengan cara bisa menumpuknya di atas sampah zona 1. Dia berharap agar pemerintah DIY mampu mengatasi permasalahan sampah di Kota Yogyakarta, Sleman dan Bantul.
Dengan volume sampah yang masuk per hari mulai dari 450–500 ton setiap harinya, maka umur TPA Piyungan dengan luasan sekitar 12,5 hektare hanya akan bertahan paling lama setahun lagi. “Ya minimal sampah bisa tertata dengan ba - ik, itu harapan kami,” paparnya.
Erfanto Linangkung
(ftr)