Susahnya Dewan Mencari Uang Kenakalan
A
A
A
Perjalanan dinas atau kunjungan kerja (kunker) bukan hal baru bagi anggota DPRD Jatim. Di antara sekian tugas dan kegiatan, kunker menjadi agenda favorit para wakil rakyat untuk diikuti. Sebab saat itu kesempatan bagi mereka untuk refreshing dan mencari uang tambahan.
Tak heran bila muncul istilah “satria nusantara” karena sering mereka menjelajah pelosok nusantara. Atau juga “Bang Toyib” karena jarang pulang (ngantor ) untuk kegiatan kunker. Intensitas agenda kunker yang begitu sering bahkan membuat gedung wakil rakyat ini terlihat sepi.
Pada tahun ini pemandangan tersebut tampaknya akan jarang terjadi lagi. Sebab kesempatan meraup untung dari perjalanan dinas kian sempit. Mereka tidak lagi bisa mengirit dan menyisihkan uang saku maupun biaya akomodasi sebagaimana model lumpsum murni (pemberian uang dalam jumlah tertentu sekaligus) pada periode-periode sebelumnya.
Karena saat ini sistem lumpsum hanya berlaku untuk uang harian (uang saku). Sementara biaya transportasi dan penginapan (hotel) dibayarkan secara real cost (sesuai dengan bukti pembayaran). Karena itu, mereka tak bisa lagi mengirit, misalnya dengan memilih transportasi dan penginapan murah layaknya model lumpsum.
Kini perubahan aturan tersebut lebih ketat lagi. Bukan hanya penerapan sistem real cost . Namun, juga kebijakan penghematan seperti yang dituangkan dalam keputusan gubernur No 188/682/KPTS/013/2014 tentang pedoman umum pelaksanaan tugas pemerintah daerah Provinsi Jatim 2015. (lihat grafis).
Padahal periode lalu, uang saku mereka jauh lebih besar, yakni Rp700.000 untuk dalam provinsi dan R1,4 juta untuk luar provinsi. Kondisi ini yang membuat para wakil rakyat mengeluh. Sebab tak ada lagi uang sisa yang bisa dibawa pulang. Apalagi uang “kenakalan” bagi mereka yang doyan pelesir ke dunia malam atau panti pijat.
Menjadi rahasia umum bahwa sebagian anggota dewan sering pelesiran saat kunjungan kerja. Ini karena ada sisa lebih dari biaya perjalanan dinas yang mereka terima. “Wong gak nakal wae gak iso nyimpen opo maneh nakal. Yo iso tekor ,” keluh salah seorang anggota. Dia mengatakan, sebelum ada penghematan, para anggota masih bisa membawa pulang uang antara Rp1,5 juta-Rp3 juta setiap kali kunjungan kerja.
Namun, saat ini tak sepeser pun uang yang bisa dibawa pulang. Bahkan pada saat tertentu, mereka justru harus mengeluarkan uang pribadi. “Ini yang akhirnya membuat kami malas kunjungan kerja,” kata Anggota Komisi D DPRD Jatim itu.
Alasannya, fasilitas maupun anggaran perjalanan dinas yang didapat tidak sebanding dengan waktu maupun tenaga yang mereka keluarkan. “Lebih baik di rumah, bisa bertemu anak-istri,” ujarnya.
Atas kondisi ini banyak di antara oknum Anggota DPRD Jatim meminta jatah uang saku kepada kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sebagai mitra kerja. Permintaan tersebut kadang berupa fresh money , kadang juga berupa barang. “Kalau sudah begini, ya kepala dinas jadi sasaran,” ungkapnya.
Ketua Komisi A DPRD Jatim Fredy Poernomo mengakui hal itu. Politisi Partai Golkar ini mengaku jatah anggaran perjalanan dinas yang diterima anggota DPRD tidak manusiawi karena terlalu kecil. Nilai tersebut tidak sebanding dengan tingkat inflasi di daerah.
Lebih jauh Fredy juga mengeluhkan keputusan pemerintah yang menyamakan anggota DPRD dengan pejabat eselon II. Padahal baginya, anggota DPRD adalah pejabat daerah setara dengan gubernur atau wakil gubernur sebagai kepala daerah. “Di dalam PP 24/2012 tentang kedudukan dan protokoler dinyatakan bahwa gubernur dan DPRD Jatim merupakan pejabat daerah.
Nah, mestinya hak yang diberikan juga sama. Termasuk dalam anggaran perjalanan dinas,” katanya. Fredy mengurai kecilnya pendapatan yang diterima Anggota DPRD Jatim ini juga berpengaruh terhadap hubungan para anggota dengan konstituennya. Sebab mereka tak lagi bisa royal (dermawan) seperti sebelumnya. “Bagaimana bisa royal, wong gaji juga sudah habis untuk partai dan kebutuhan lain,” ujarnya.
Dia misalnya, setiap bulan harus menyisihkan untuk DPD Partai Golkar sebesar Rp5.500.000. Sementara untuk masing-masing DPD kabupaten/kota di daerah pemilihannya sebesar Rp2,5 juta. “Praktis, saya hanya tinggal menerima Rp16 juta per bulan,” katanya. Kondisi seperti ini tentu akan menyulitkan mereka yang punya tunggakan hutang di Bank Jatim.
Diketahui, hampir sebagian besar Anggota DPRD Jatim punya tunggakan hutang di Bank Jatim pada awal mereka dilantik. Saat itu mereka beramai-ramai mengagunkan surat keputusan (SK) sebagai Anggota DPRD Jatim untuk mendapat pinjaman di bank milik daerah tersebut.
Nilainya rata-rata Rp500 juta. Tunggakan ini yang wajib mereka angsur setiap bulan dengan sistem potong gaji, yakni sebesar Rp9 juta per bulan. Bila mereka harus setor kepada partai hingga Rp10 juta, praktis hanya sekitar Rp6 juta yang bisa mereka bawa pulang dari total seluruh gaji dan tunjangan Rp26 juta yang diterima. Syaratnya, mereka hidup lurus, tidak boros dan tidak “nakal”.
Meski begitu, sejumlah pihak meragukan bahwa Anggota DPRD Jatim kekurangan “ceperan”. Sebab faktanya, masih banyak program yang bisa “dimainkan” untuk sekadar mendapatkan uang tambahan. “Nilainya mungkin tidak banyak. Tetapi masih ada. Sudahlah, anggota dewan ini teriak saat kepepet saja. kalau pas banyak order pasti diam,” kata pemerhati parlemen Jatim, Kiswoyo.
Terlihat Malas
Anggaran perjalanan dinas yang minim rupanya berpengaruh kurang baik terhadap kinerja DPRD Jatim. Hal ini tampak pada agenda paripurna DPRD dengan agenda penyampaian hasil reses beberapa waktu lalu. Pandangan umum komisi yang mestinya dibacakan ternyata hanya diserahkan begitu saja.
Memang tidak ada aturan khusus yang mengharuskan pandangan umum itu dibaca. Namun, untuk kepentingan informasi, seyogianya pokokpokok pikiran tersebut disampaikan secara terbuka sehingga peserta paripurna termasuk undangan bisa mengetahui.
“Saya juga heran, wong hanya lima komisi saja tidak mau membaca. Lain hal kalau pandangan fraksi yang sampai sembilan. Ada kesan mereka (anggota dewan) ini malas,” kata salah seorang kepala SKPD, kemarin.
Penilaian ini kiranya memang tidak berlebihan. Sebab belakangan, gedung wakil rakyat itu terlihat sepi. Di sejumlah ruang fraksi misalnya, hanya ada staf dan beberapa anggota. Padahal biasanya, ruang tersebut ramai kendati tidak ada agenda rapat atau paripurna.
Informasi yang dihimpun, situasi ini imbas dari sejumlah fasilitas yang berkurang. Bukan hanya anggaran perjalanan dinas. Tetapi juga jatah reses (program jasmas) yang dikurangi.
Sebagaimana evaluasi APBD 2015, anggaran hibah dan bantuan sosial, termasuk di dalamnya proyek jasmas anggota DPRD dipangkas oleh Kemendagri. Imbasnya, jatah “ceperan” mereka pun berkurang.
Ihya Ulumuddin
Tak heran bila muncul istilah “satria nusantara” karena sering mereka menjelajah pelosok nusantara. Atau juga “Bang Toyib” karena jarang pulang (ngantor ) untuk kegiatan kunker. Intensitas agenda kunker yang begitu sering bahkan membuat gedung wakil rakyat ini terlihat sepi.
Pada tahun ini pemandangan tersebut tampaknya akan jarang terjadi lagi. Sebab kesempatan meraup untung dari perjalanan dinas kian sempit. Mereka tidak lagi bisa mengirit dan menyisihkan uang saku maupun biaya akomodasi sebagaimana model lumpsum murni (pemberian uang dalam jumlah tertentu sekaligus) pada periode-periode sebelumnya.
Karena saat ini sistem lumpsum hanya berlaku untuk uang harian (uang saku). Sementara biaya transportasi dan penginapan (hotel) dibayarkan secara real cost (sesuai dengan bukti pembayaran). Karena itu, mereka tak bisa lagi mengirit, misalnya dengan memilih transportasi dan penginapan murah layaknya model lumpsum.
Kini perubahan aturan tersebut lebih ketat lagi. Bukan hanya penerapan sistem real cost . Namun, juga kebijakan penghematan seperti yang dituangkan dalam keputusan gubernur No 188/682/KPTS/013/2014 tentang pedoman umum pelaksanaan tugas pemerintah daerah Provinsi Jatim 2015. (lihat grafis).
Padahal periode lalu, uang saku mereka jauh lebih besar, yakni Rp700.000 untuk dalam provinsi dan R1,4 juta untuk luar provinsi. Kondisi ini yang membuat para wakil rakyat mengeluh. Sebab tak ada lagi uang sisa yang bisa dibawa pulang. Apalagi uang “kenakalan” bagi mereka yang doyan pelesir ke dunia malam atau panti pijat.
Menjadi rahasia umum bahwa sebagian anggota dewan sering pelesiran saat kunjungan kerja. Ini karena ada sisa lebih dari biaya perjalanan dinas yang mereka terima. “Wong gak nakal wae gak iso nyimpen opo maneh nakal. Yo iso tekor ,” keluh salah seorang anggota. Dia mengatakan, sebelum ada penghematan, para anggota masih bisa membawa pulang uang antara Rp1,5 juta-Rp3 juta setiap kali kunjungan kerja.
Namun, saat ini tak sepeser pun uang yang bisa dibawa pulang. Bahkan pada saat tertentu, mereka justru harus mengeluarkan uang pribadi. “Ini yang akhirnya membuat kami malas kunjungan kerja,” kata Anggota Komisi D DPRD Jatim itu.
Alasannya, fasilitas maupun anggaran perjalanan dinas yang didapat tidak sebanding dengan waktu maupun tenaga yang mereka keluarkan. “Lebih baik di rumah, bisa bertemu anak-istri,” ujarnya.
Atas kondisi ini banyak di antara oknum Anggota DPRD Jatim meminta jatah uang saku kepada kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sebagai mitra kerja. Permintaan tersebut kadang berupa fresh money , kadang juga berupa barang. “Kalau sudah begini, ya kepala dinas jadi sasaran,” ungkapnya.
Ketua Komisi A DPRD Jatim Fredy Poernomo mengakui hal itu. Politisi Partai Golkar ini mengaku jatah anggaran perjalanan dinas yang diterima anggota DPRD tidak manusiawi karena terlalu kecil. Nilai tersebut tidak sebanding dengan tingkat inflasi di daerah.
Lebih jauh Fredy juga mengeluhkan keputusan pemerintah yang menyamakan anggota DPRD dengan pejabat eselon II. Padahal baginya, anggota DPRD adalah pejabat daerah setara dengan gubernur atau wakil gubernur sebagai kepala daerah. “Di dalam PP 24/2012 tentang kedudukan dan protokoler dinyatakan bahwa gubernur dan DPRD Jatim merupakan pejabat daerah.
Nah, mestinya hak yang diberikan juga sama. Termasuk dalam anggaran perjalanan dinas,” katanya. Fredy mengurai kecilnya pendapatan yang diterima Anggota DPRD Jatim ini juga berpengaruh terhadap hubungan para anggota dengan konstituennya. Sebab mereka tak lagi bisa royal (dermawan) seperti sebelumnya. “Bagaimana bisa royal, wong gaji juga sudah habis untuk partai dan kebutuhan lain,” ujarnya.
Dia misalnya, setiap bulan harus menyisihkan untuk DPD Partai Golkar sebesar Rp5.500.000. Sementara untuk masing-masing DPD kabupaten/kota di daerah pemilihannya sebesar Rp2,5 juta. “Praktis, saya hanya tinggal menerima Rp16 juta per bulan,” katanya. Kondisi seperti ini tentu akan menyulitkan mereka yang punya tunggakan hutang di Bank Jatim.
Diketahui, hampir sebagian besar Anggota DPRD Jatim punya tunggakan hutang di Bank Jatim pada awal mereka dilantik. Saat itu mereka beramai-ramai mengagunkan surat keputusan (SK) sebagai Anggota DPRD Jatim untuk mendapat pinjaman di bank milik daerah tersebut.
Nilainya rata-rata Rp500 juta. Tunggakan ini yang wajib mereka angsur setiap bulan dengan sistem potong gaji, yakni sebesar Rp9 juta per bulan. Bila mereka harus setor kepada partai hingga Rp10 juta, praktis hanya sekitar Rp6 juta yang bisa mereka bawa pulang dari total seluruh gaji dan tunjangan Rp26 juta yang diterima. Syaratnya, mereka hidup lurus, tidak boros dan tidak “nakal”.
Meski begitu, sejumlah pihak meragukan bahwa Anggota DPRD Jatim kekurangan “ceperan”. Sebab faktanya, masih banyak program yang bisa “dimainkan” untuk sekadar mendapatkan uang tambahan. “Nilainya mungkin tidak banyak. Tetapi masih ada. Sudahlah, anggota dewan ini teriak saat kepepet saja. kalau pas banyak order pasti diam,” kata pemerhati parlemen Jatim, Kiswoyo.
Terlihat Malas
Anggaran perjalanan dinas yang minim rupanya berpengaruh kurang baik terhadap kinerja DPRD Jatim. Hal ini tampak pada agenda paripurna DPRD dengan agenda penyampaian hasil reses beberapa waktu lalu. Pandangan umum komisi yang mestinya dibacakan ternyata hanya diserahkan begitu saja.
Memang tidak ada aturan khusus yang mengharuskan pandangan umum itu dibaca. Namun, untuk kepentingan informasi, seyogianya pokokpokok pikiran tersebut disampaikan secara terbuka sehingga peserta paripurna termasuk undangan bisa mengetahui.
“Saya juga heran, wong hanya lima komisi saja tidak mau membaca. Lain hal kalau pandangan fraksi yang sampai sembilan. Ada kesan mereka (anggota dewan) ini malas,” kata salah seorang kepala SKPD, kemarin.
Penilaian ini kiranya memang tidak berlebihan. Sebab belakangan, gedung wakil rakyat itu terlihat sepi. Di sejumlah ruang fraksi misalnya, hanya ada staf dan beberapa anggota. Padahal biasanya, ruang tersebut ramai kendati tidak ada agenda rapat atau paripurna.
Informasi yang dihimpun, situasi ini imbas dari sejumlah fasilitas yang berkurang. Bukan hanya anggaran perjalanan dinas. Tetapi juga jatah reses (program jasmas) yang dikurangi.
Sebagaimana evaluasi APBD 2015, anggaran hibah dan bantuan sosial, termasuk di dalamnya proyek jasmas anggota DPRD dipangkas oleh Kemendagri. Imbasnya, jatah “ceperan” mereka pun berkurang.
Ihya Ulumuddin
(ftr)