Tangkal Ajal Permainan Tradisional
A
A
A
BANDUNG - “Pérépét jéngkol jajahéan, kadempét kohkol jéjérétéan.” Nyanyian Lina,10, dan kawan-kawannya siang itu terdengar sepulang mereka sekolah.
Anak-anak itu asyik bermain pérépét jéngkol, sebuah permainan tra disional Sunda dengan cara badan saling membelakangi, mengaitkan sebelah kaki satu sama lain, lalu melompat-lompat sambil bernyanyi riang. Tak setiap hari memang tapi pemandangan se perti ini masih bisa ditemui di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut.
Pada saat yang sama sekitar 45 kilometer dari Garut, tepatnya di Kota Bandung, sejumlah anak seusia Lina dengan cekatan jarinya di papan tombol dan tetikus. Mereka larut dengan game-nya masing-masing. Ada yang baku tembak dalam Point Blank, bertarung di game Defender of the Ancients (DotA), atau main game Counter Strike.
Sesekali anak-anak ini meng eluarkan teriakan, entah itu sum ringah dengan kemenangan, atau kesal sebab kalah. Tak jarang yang keluar dari mulut mereka adalah umpatan kasar. Be gi tu lah suasana di salah satu warung game online di ruas Jalan Gudang Utara. Dua dunia yang bertolak belakang itu adalah kondisi kehidupan anak-anak di Jawa Barat sekarang. Permainan digital yang lebih modern cenderung lebih di minati.
Apalagi seiring per kem bangan gadget, digi tal game kian mudah diakses. Imbasnya, muncul kekhawatiran per mainan tradisional akan punah suatu saat nanti. Pendiri Komunitas Hong Zaini Alif tak memungkiri kemungkinan ini. Apalagi berdasarkan riset yang dilakukannya, me mang terdapat sejumlah main an dan permainan tradisional yang telah punah.
Termasuk permainan yang pernah ada di Tatar Pasundan dan tercantum di naskah Sunda kuno Siksa Kandang Karesian. Naskah abad ke-15 tersebut memuat sejumlah nama permainan anakanak yang kini tidak diketahui bentuk permainanya. “Memang belum terlalu menghawatirkankarena hanya di kota saja sulit ditemui, di ping giran kota masih banyak anak yang memainkan permainan tradisional. Tapi kalau kondisi ini terus dibiarkan, akan semakin banyak permainan tradisional yang hilang,” sebutnya.
Hingga kini, Zaini bersama Komunitas Hong-nya berhasil menginventarisasi 400 mainan dan permainan tradisional Sun - da, serta total 2.500 mainan dan permainan dari seluruh In do - ne sia. Beberapa di antaranya ten tu sempat akrab di telinga kita para orangtua. Sebut saja ucing sumput, perepet jengkol, boy-boyan, galah asin atau gobak sodor, enggrang, congklak, ngadu muncang, panggal atau gangsing, ngadu kaleci atau kelereng, dan masih banyak lagi.
Menurut Zaini, ada tiga sebab punahnya suatu permainan tradisional. Yaitu tidak adanya data, tidak ada lahan bermain, dan tidak tersedianya bahan baku. Melalui Komunitas Hong yang memang fokus pa da riset permainan tra disional, dia berharap aneka permainan leluhur ini bisa terus diwariskan pada generasi mendatang.
“Banyak yang tidak sadar pen tingnya permainan tradisional, atau bahkan merasa malu. Pa dahal di dalamnya memuat banyak unsur pendidikan, manfaat, makna, dan filosofi. Ini tugas kami dan tentunya kita semua untuk menjaga tradisi,” ucap alumni Institut Teknologi Bandung. Saat ini, Zaini tengah meneliti sistem permainan anak di Baduy Dalam, dalam hubungannya dengan kepatuhan masyarakat setempat terhadap adat istiadat.
Meski bergelut secara total dengan permainan tradisional, Zaini dan Komunitas Hong mengaku tidak antipati terhadap games digital. Keseimbangan an tara dua tipe permainan terebut menjadi incaran mereka. “Intinya harus seimbang dan lebih bijak. Kapan main tra - disional, kapan main games digital, berapa lama main, dan kapan tidak boleh main,” ucapnya.
Sesepuh Jawa Barat yang juga anggota DPR Popong Otje Djundjunan menyebut, kemajuan teknologi merupakan hal yang mustahil dihindari. Bahkan, menurutnya, masyara kat harus mengikuti per kembangan zaman agar tidak tertinggal dari bangsa lain. Hanya saja, tradisi pun mesti diwariskan karena menjadi bagian dari identitas.
“Ada istilah Sunda ‘kudu bisa ngindung ka waktu, ngabapa ka zaman’. Tapi bukan artinya kita boleh melupakan tradisi demi kemajuan zaman. Apa yang ba - gus di masa lalu, harus dibawa sampai sekarang untuk me - nyong song masa depan,” ucap ibu yang akrab disapa Ceu Po - pong ini. Mengerucut pada masalah permainan tradisional, dia melihat berbagai manfaat yang bisa diperoleh anak-anak saat memainkannya.
Menurut Ceu Popong, mainan dan per main - an tradisional lebih banyak mengajarkan prinsip gotongroyong, solidaritas, serta kerja sama. Filosofi-filosofi itulah yang mutlak harus diwariskan pada generasi selanjutnya. Dia mengatakan, punah atau tidaknya suatu produk kebudayaan sangat tergantung pada kecintaan dan kebanggaan masyarakat terhadap tradisi. Begitu pula dengan permainan tradisional.
Jika masyarakat tidak ingin tradisi itu hilang, maka tidak akan hilang karena mereka akan dengan sadar menjaganya. “Banyak cara melestarikan per mainan tradisional, ter - masuk melalui dunia pendidikan. Kita punya mata pelajaran muatan lokal (mulok) di dalam kurikulum, itu juga bertujuan untuk melestarikan tradisi, termasuk permainan tradisional,” ucap Ceu Popong. Legislator paling senior ini juga menekankan, pelestarian tradisi harus dimulai dari ranah terkecil, yaitu keluarga.
“Bukan imbauan lagi, ini perintah dari wakil rakyat yang juga mewakili para orangtua. Mengikuti teknologi itu harus, biar tidak gaptek. Tapi juga tidak ada pilihan lain bagi kita sebagai orang tua, selain mewariskan tradisi. Hayu ajarkan permainan tradisional pada anak-cucu kita,” tegas Ceu Popong dengan nada cueknya. Nur Widyanti, 25, seorang ibu rumah tangga, menyadari se tiap permainan memiliki efek berbeda terhadap anak.
Dia pun mengawasi ketat terhadap aktivitas bermain si buah hati, Junior yang baru berumur lima tahun. Menurut dia, mainan tradisional sangat bermanfaat untuk kreativitas dan imajinasi. Namun, teknologi pun harus dikenalkan agar anak memiliki wawasan luas.
“Saya kasih mobil-mobilan, lego, dan mainan lain yang bisa me rangsang imajinasi. Karena se makin anak banyak ber khayal, perkembangan otak semakin bagus. Kalau yang berbau teknologi, paling anak saya nonton Youtube, itu juga saya awasi, soalnya teknologi bagus untuk pengetahuan anak. Kalau digital game jarang sih,” kata warga Kiaracondong, Kota Bandung ini.
Gugum rachmat gumilar
Anak-anak itu asyik bermain pérépét jéngkol, sebuah permainan tra disional Sunda dengan cara badan saling membelakangi, mengaitkan sebelah kaki satu sama lain, lalu melompat-lompat sambil bernyanyi riang. Tak setiap hari memang tapi pemandangan se perti ini masih bisa ditemui di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut.
Pada saat yang sama sekitar 45 kilometer dari Garut, tepatnya di Kota Bandung, sejumlah anak seusia Lina dengan cekatan jarinya di papan tombol dan tetikus. Mereka larut dengan game-nya masing-masing. Ada yang baku tembak dalam Point Blank, bertarung di game Defender of the Ancients (DotA), atau main game Counter Strike.
Sesekali anak-anak ini meng eluarkan teriakan, entah itu sum ringah dengan kemenangan, atau kesal sebab kalah. Tak jarang yang keluar dari mulut mereka adalah umpatan kasar. Be gi tu lah suasana di salah satu warung game online di ruas Jalan Gudang Utara. Dua dunia yang bertolak belakang itu adalah kondisi kehidupan anak-anak di Jawa Barat sekarang. Permainan digital yang lebih modern cenderung lebih di minati.
Apalagi seiring per kem bangan gadget, digi tal game kian mudah diakses. Imbasnya, muncul kekhawatiran per mainan tradisional akan punah suatu saat nanti. Pendiri Komunitas Hong Zaini Alif tak memungkiri kemungkinan ini. Apalagi berdasarkan riset yang dilakukannya, me mang terdapat sejumlah main an dan permainan tradisional yang telah punah.
Termasuk permainan yang pernah ada di Tatar Pasundan dan tercantum di naskah Sunda kuno Siksa Kandang Karesian. Naskah abad ke-15 tersebut memuat sejumlah nama permainan anakanak yang kini tidak diketahui bentuk permainanya. “Memang belum terlalu menghawatirkankarena hanya di kota saja sulit ditemui, di ping giran kota masih banyak anak yang memainkan permainan tradisional. Tapi kalau kondisi ini terus dibiarkan, akan semakin banyak permainan tradisional yang hilang,” sebutnya.
Hingga kini, Zaini bersama Komunitas Hong-nya berhasil menginventarisasi 400 mainan dan permainan tradisional Sun - da, serta total 2.500 mainan dan permainan dari seluruh In do - ne sia. Beberapa di antaranya ten tu sempat akrab di telinga kita para orangtua. Sebut saja ucing sumput, perepet jengkol, boy-boyan, galah asin atau gobak sodor, enggrang, congklak, ngadu muncang, panggal atau gangsing, ngadu kaleci atau kelereng, dan masih banyak lagi.
Menurut Zaini, ada tiga sebab punahnya suatu permainan tradisional. Yaitu tidak adanya data, tidak ada lahan bermain, dan tidak tersedianya bahan baku. Melalui Komunitas Hong yang memang fokus pa da riset permainan tra disional, dia berharap aneka permainan leluhur ini bisa terus diwariskan pada generasi mendatang.
“Banyak yang tidak sadar pen tingnya permainan tradisional, atau bahkan merasa malu. Pa dahal di dalamnya memuat banyak unsur pendidikan, manfaat, makna, dan filosofi. Ini tugas kami dan tentunya kita semua untuk menjaga tradisi,” ucap alumni Institut Teknologi Bandung. Saat ini, Zaini tengah meneliti sistem permainan anak di Baduy Dalam, dalam hubungannya dengan kepatuhan masyarakat setempat terhadap adat istiadat.
Meski bergelut secara total dengan permainan tradisional, Zaini dan Komunitas Hong mengaku tidak antipati terhadap games digital. Keseimbangan an tara dua tipe permainan terebut menjadi incaran mereka. “Intinya harus seimbang dan lebih bijak. Kapan main tra - disional, kapan main games digital, berapa lama main, dan kapan tidak boleh main,” ucapnya.
Sesepuh Jawa Barat yang juga anggota DPR Popong Otje Djundjunan menyebut, kemajuan teknologi merupakan hal yang mustahil dihindari. Bahkan, menurutnya, masyara kat harus mengikuti per kembangan zaman agar tidak tertinggal dari bangsa lain. Hanya saja, tradisi pun mesti diwariskan karena menjadi bagian dari identitas.
“Ada istilah Sunda ‘kudu bisa ngindung ka waktu, ngabapa ka zaman’. Tapi bukan artinya kita boleh melupakan tradisi demi kemajuan zaman. Apa yang ba - gus di masa lalu, harus dibawa sampai sekarang untuk me - nyong song masa depan,” ucap ibu yang akrab disapa Ceu Po - pong ini. Mengerucut pada masalah permainan tradisional, dia melihat berbagai manfaat yang bisa diperoleh anak-anak saat memainkannya.
Menurut Ceu Popong, mainan dan per main - an tradisional lebih banyak mengajarkan prinsip gotongroyong, solidaritas, serta kerja sama. Filosofi-filosofi itulah yang mutlak harus diwariskan pada generasi selanjutnya. Dia mengatakan, punah atau tidaknya suatu produk kebudayaan sangat tergantung pada kecintaan dan kebanggaan masyarakat terhadap tradisi. Begitu pula dengan permainan tradisional.
Jika masyarakat tidak ingin tradisi itu hilang, maka tidak akan hilang karena mereka akan dengan sadar menjaganya. “Banyak cara melestarikan per mainan tradisional, ter - masuk melalui dunia pendidikan. Kita punya mata pelajaran muatan lokal (mulok) di dalam kurikulum, itu juga bertujuan untuk melestarikan tradisi, termasuk permainan tradisional,” ucap Ceu Popong. Legislator paling senior ini juga menekankan, pelestarian tradisi harus dimulai dari ranah terkecil, yaitu keluarga.
“Bukan imbauan lagi, ini perintah dari wakil rakyat yang juga mewakili para orangtua. Mengikuti teknologi itu harus, biar tidak gaptek. Tapi juga tidak ada pilihan lain bagi kita sebagai orang tua, selain mewariskan tradisi. Hayu ajarkan permainan tradisional pada anak-cucu kita,” tegas Ceu Popong dengan nada cueknya. Nur Widyanti, 25, seorang ibu rumah tangga, menyadari se tiap permainan memiliki efek berbeda terhadap anak.
Dia pun mengawasi ketat terhadap aktivitas bermain si buah hati, Junior yang baru berumur lima tahun. Menurut dia, mainan tradisional sangat bermanfaat untuk kreativitas dan imajinasi. Namun, teknologi pun harus dikenalkan agar anak memiliki wawasan luas.
“Saya kasih mobil-mobilan, lego, dan mainan lain yang bisa me rangsang imajinasi. Karena se makin anak banyak ber khayal, perkembangan otak semakin bagus. Kalau yang berbau teknologi, paling anak saya nonton Youtube, itu juga saya awasi, soalnya teknologi bagus untuk pengetahuan anak. Kalau digital game jarang sih,” kata warga Kiaracondong, Kota Bandung ini.
Gugum rachmat gumilar
(ars)