Tanpa Lelah Memberi Nama Label Jenazah
A
A
A
SURABAYA - Posko Ante Mortem Biddokkes Polda Jatim menjadi ruang sangat steril bagi kalangan umum, termasuk para insan media.
Di depan pintu sisi kanan dan kiri posko yang menggunakan Gedung Mahameru itu selalu berdiri pria-pria bertubuh kekar berseragam polisi dan berseragam AirNav. Mereka hanya membukakan pintu untuk para keluarga korban dan petugas yang berkepentingan. Namun kemarin pagi, ruang terlarang untuk media itu menjadi sangat bersahabat.
Para insan media mendapat kesempatan masuk dan melihat langsung kondisi ruangan itu. Bahkan, dibimbing langsung Koordinator Ante Mortem AKBP Christina yang menerangkan mulai dari proses pendaftaran keluarga, family assistant , ruang konseling, psikiater, hingga ada ruang pengambilan ante mortem. Di sini awal proses identifikasi dilakukan.
Di ruangan itu sudah berjajar beberapa meja dengan para petugasnya, mulai dari pengambilan ante mortem saat boarding pesawat, mengenali para keluarga dalam rekaman CCTV saat boarding , pengambilan sampel DNA, dan pendalaman ante mortem, seperti pendalaman tentang struktur gigi hingga pada foto terbaru penumpang AirAsia QZ 8501 itu.
Mungkin masyarakat umum berpikiran bahwa proses identifikasi itu dianggap cukup ketika menemukan kartu identitas, seperti KTP, SIM, atau yang lainnya, di tubuh korban. Ternyata tidak semudah itu. Proses identifikasi itu cukup rumit dan menguras tenaga para petugasnya. “Saat berada di (bagian) boarding ini, keluarga diminta mengingat properti yang digunakan penumpang, pakai baju apa, aksesori apa, dan lainnya,” kata Christina.
Hal yang menjadi tantangan, lanjutnya, saat awal banyak keluarga yang susah mengingat karena mereka masih dalam kondisi syok . Tak kalah rumitnya lagi adalah saat pengambilan sampel DNA. Petugas harus mengambil sampel dari keluarga yang bergaris lurus, yaitu orang tua atau anak. Jika masih ada orang tua atau anak, sampel yang diambil adalah darah dan jaringan yang gampang seperti rambut atau air liur.
Namun yang menjadi kendala ketika seluruh keluarga ikut hilang bahkan ada yang sampai tiga generasi, maka akan susah mendapatkan sampel DNA. Karena DNA pembanding tidak ada maka petugas harus mendapatkan sampel DNA dari korban sendiri, seperti mencari sisir korban yang masih ada sisa rambutnya atau sikat gigi korban.
“Yang menjadi susah itu ketika mereka tinggal satu rumah dan menggunakan sisir bersama, jadinya bingung,” kata petugas DNA Kompol Rini Pujiarti. Ada juga satu kos lima orang menjadi korban semua sehingga pada awal petugas sempat kesulitan untuk mendapatkan sampel dari sikat gigi karena tidak tahu sikat gigi itu milik siapa saja.
“Itu memang susah, tapi kami harus mendapatkannya. Kemarin, kami juga mendatangi rumah korban di Malang yang satu keluarganya ikut dalam pesawat. Kami mencari properti mereka,” katanya.
Untuk mendapatkan sampel, para petugas seakan tidak mengenal lelah. Mereka bekerja mulai dari pagi hingga larut malam. Bahkan tak jarang mereka harus pulang pukul 23.00 WIB karena harus merekonsiliasi. Meski demikian, mereka juga sempat mendapat protes dari keluarga korban.
Protes itu terjadi ketika Posko Ante Mortem masih berada di Bandara Internasional Juanda. Saat itu ruangan sangat sempit dan tidak nyaman, keluarga korban yang masih syok ada yang protes karena tempatnya kecil dan tidak nyaman. Pengambilan ante mortem gigi juga tidak kalah susahnya, meski anggota tim ini banyak.
Ada 3 dokter gigi dari Kementerian Perhubungan, tiga lagi dari Universitas Indonesia. Ada juga dari Universitas Negeri Jember, Universitas Hangtuah, dan lainnya, namun mereka tetap menemukan banyak kendala.
Salah satu kesulitan sama seperti yang dihadapi tim DNA, yaitu ketika satu keluarga ikut dalam penerbangan itu dan hilang semua, maka susah mencari sampel. “Biasanya, kami akan kesulitan mendapatkan informasi dari keluarga dan juga sulit mencari dokter gigi pribadi mereka,” kata Anggota Tim Gigi drg Saiful.
Hal lebih sulit lagi ketika korban jarang memeriksakan gigi sehingga tidak punya dokter gigi pribadi. Bagaimana langkah yang akan dilakukan? Dokter Yurika yang duduk sebelah kanan drg Saiful mengatakan, cara yang dilakukan adalah mencari atau meminta foto korban yang tersenyum pada keluarga dekat korban.
“Jadi, keluarga harus punya foto korban yang tersenyum dan terbaru. Dari foto tersenyum itu akan kelihatan giginya,” kata Yurika. Dari sampel DNA itu sampai identifikasi akan memerlukan waktu lama. Sampel DNA harus dikirim ke laboratorium DNA di Jakarta terlebih dulu.
Anggota Tim DNA di DVI Kompol Rini Pujiarti mengatakan untuk sampel DNA ini harus dikirim ke laboratorium di Jakarta terlebih dulu. “Di sini tidak ada lab, yang ada di Jakarta,” katanya. Dia mengatakan, sebenarnya untuk identifikasi DNA tidak terlalu lama, hanya sekitar 2 sampai tiga hari sudah bisa diketahui hasilnya.
Namun yang agak lama adalah saat pengambilan sampel DNA. Kabiddokkes Polda Jatim sekaligus Ketua Tim DVI Kombes Pol Budiono mengatakan, penggunaan DNA untuk identifikasi ketika kondisi jenazah rusak.
Budiono menegaskan, dari dua jenazah yang berhasil diidentifikasi kemarin, keduanya menggunakan metode DNA. Mereka adalah jenazah berlabel B009 ada kesamaan DNA antara korban dengan DNA yang diambil dari ibu kandung dan bapak kandungnya.
Ditunjang dengan kesamaan antropologi jenis kelamin dan usia jenazah serta dari properti, seperti cincin kawin yang masih dikenakan ada inisial nama Ria, yaitu istri korban Ria Ratna Sari yang menjadi penumpang pesawat nahas itu. Karena itu, bisa dipastikan bahwa jenazah tersebut adalah Martinus Djomi, laki-laki, 27 tahun, asal Surabaya. Jenazah kedua adalah berlabel B020 juga ada kesamaan DNA jenazah dengan DNA anak kandungnya.
Didukung dengan temuan medis jenis kelamin dan usia serta properti, seperti KTP, SIM A, dan SIM C atas nama korban. Karena itu, dipastikan bahwa jenazah itu adalah Marwin Soleh, laki-laki, usia 50 tahun, asal Tulungagung.
Lutfi Yuhandi
Di depan pintu sisi kanan dan kiri posko yang menggunakan Gedung Mahameru itu selalu berdiri pria-pria bertubuh kekar berseragam polisi dan berseragam AirNav. Mereka hanya membukakan pintu untuk para keluarga korban dan petugas yang berkepentingan. Namun kemarin pagi, ruang terlarang untuk media itu menjadi sangat bersahabat.
Para insan media mendapat kesempatan masuk dan melihat langsung kondisi ruangan itu. Bahkan, dibimbing langsung Koordinator Ante Mortem AKBP Christina yang menerangkan mulai dari proses pendaftaran keluarga, family assistant , ruang konseling, psikiater, hingga ada ruang pengambilan ante mortem. Di sini awal proses identifikasi dilakukan.
Di ruangan itu sudah berjajar beberapa meja dengan para petugasnya, mulai dari pengambilan ante mortem saat boarding pesawat, mengenali para keluarga dalam rekaman CCTV saat boarding , pengambilan sampel DNA, dan pendalaman ante mortem, seperti pendalaman tentang struktur gigi hingga pada foto terbaru penumpang AirAsia QZ 8501 itu.
Mungkin masyarakat umum berpikiran bahwa proses identifikasi itu dianggap cukup ketika menemukan kartu identitas, seperti KTP, SIM, atau yang lainnya, di tubuh korban. Ternyata tidak semudah itu. Proses identifikasi itu cukup rumit dan menguras tenaga para petugasnya. “Saat berada di (bagian) boarding ini, keluarga diminta mengingat properti yang digunakan penumpang, pakai baju apa, aksesori apa, dan lainnya,” kata Christina.
Hal yang menjadi tantangan, lanjutnya, saat awal banyak keluarga yang susah mengingat karena mereka masih dalam kondisi syok . Tak kalah rumitnya lagi adalah saat pengambilan sampel DNA. Petugas harus mengambil sampel dari keluarga yang bergaris lurus, yaitu orang tua atau anak. Jika masih ada orang tua atau anak, sampel yang diambil adalah darah dan jaringan yang gampang seperti rambut atau air liur.
Namun yang menjadi kendala ketika seluruh keluarga ikut hilang bahkan ada yang sampai tiga generasi, maka akan susah mendapatkan sampel DNA. Karena DNA pembanding tidak ada maka petugas harus mendapatkan sampel DNA dari korban sendiri, seperti mencari sisir korban yang masih ada sisa rambutnya atau sikat gigi korban.
“Yang menjadi susah itu ketika mereka tinggal satu rumah dan menggunakan sisir bersama, jadinya bingung,” kata petugas DNA Kompol Rini Pujiarti. Ada juga satu kos lima orang menjadi korban semua sehingga pada awal petugas sempat kesulitan untuk mendapatkan sampel dari sikat gigi karena tidak tahu sikat gigi itu milik siapa saja.
“Itu memang susah, tapi kami harus mendapatkannya. Kemarin, kami juga mendatangi rumah korban di Malang yang satu keluarganya ikut dalam pesawat. Kami mencari properti mereka,” katanya.
Untuk mendapatkan sampel, para petugas seakan tidak mengenal lelah. Mereka bekerja mulai dari pagi hingga larut malam. Bahkan tak jarang mereka harus pulang pukul 23.00 WIB karena harus merekonsiliasi. Meski demikian, mereka juga sempat mendapat protes dari keluarga korban.
Protes itu terjadi ketika Posko Ante Mortem masih berada di Bandara Internasional Juanda. Saat itu ruangan sangat sempit dan tidak nyaman, keluarga korban yang masih syok ada yang protes karena tempatnya kecil dan tidak nyaman. Pengambilan ante mortem gigi juga tidak kalah susahnya, meski anggota tim ini banyak.
Ada 3 dokter gigi dari Kementerian Perhubungan, tiga lagi dari Universitas Indonesia. Ada juga dari Universitas Negeri Jember, Universitas Hangtuah, dan lainnya, namun mereka tetap menemukan banyak kendala.
Salah satu kesulitan sama seperti yang dihadapi tim DNA, yaitu ketika satu keluarga ikut dalam penerbangan itu dan hilang semua, maka susah mencari sampel. “Biasanya, kami akan kesulitan mendapatkan informasi dari keluarga dan juga sulit mencari dokter gigi pribadi mereka,” kata Anggota Tim Gigi drg Saiful.
Hal lebih sulit lagi ketika korban jarang memeriksakan gigi sehingga tidak punya dokter gigi pribadi. Bagaimana langkah yang akan dilakukan? Dokter Yurika yang duduk sebelah kanan drg Saiful mengatakan, cara yang dilakukan adalah mencari atau meminta foto korban yang tersenyum pada keluarga dekat korban.
“Jadi, keluarga harus punya foto korban yang tersenyum dan terbaru. Dari foto tersenyum itu akan kelihatan giginya,” kata Yurika. Dari sampel DNA itu sampai identifikasi akan memerlukan waktu lama. Sampel DNA harus dikirim ke laboratorium DNA di Jakarta terlebih dulu.
Anggota Tim DNA di DVI Kompol Rini Pujiarti mengatakan untuk sampel DNA ini harus dikirim ke laboratorium di Jakarta terlebih dulu. “Di sini tidak ada lab, yang ada di Jakarta,” katanya. Dia mengatakan, sebenarnya untuk identifikasi DNA tidak terlalu lama, hanya sekitar 2 sampai tiga hari sudah bisa diketahui hasilnya.
Namun yang agak lama adalah saat pengambilan sampel DNA. Kabiddokkes Polda Jatim sekaligus Ketua Tim DVI Kombes Pol Budiono mengatakan, penggunaan DNA untuk identifikasi ketika kondisi jenazah rusak.
Budiono menegaskan, dari dua jenazah yang berhasil diidentifikasi kemarin, keduanya menggunakan metode DNA. Mereka adalah jenazah berlabel B009 ada kesamaan DNA antara korban dengan DNA yang diambil dari ibu kandung dan bapak kandungnya.
Ditunjang dengan kesamaan antropologi jenis kelamin dan usia jenazah serta dari properti, seperti cincin kawin yang masih dikenakan ada inisial nama Ria, yaitu istri korban Ria Ratna Sari yang menjadi penumpang pesawat nahas itu. Karena itu, bisa dipastikan bahwa jenazah tersebut adalah Martinus Djomi, laki-laki, 27 tahun, asal Surabaya. Jenazah kedua adalah berlabel B020 juga ada kesamaan DNA jenazah dengan DNA anak kandungnya.
Didukung dengan temuan medis jenis kelamin dan usia serta properti, seperti KTP, SIM A, dan SIM C atas nama korban. Karena itu, dipastikan bahwa jenazah itu adalah Marwin Soleh, laki-laki, usia 50 tahun, asal Tulungagung.
Lutfi Yuhandi
(ftr)