Lagi, Sekolah Peras Calon Siswa

Kamis, 08 Januari 2015 - 10:41 WIB
Lagi, Sekolah Peras...
Lagi, Sekolah Peras Calon Siswa
A A A
SURABAYA - Praktik pungutan liar (pungli) yang memanfaatkan mutasi siswa asal luar kota masuk ke Surabaya kian marak. Belum tuntas proses hukum yang menyeret wakil kepala SMAN 15, kini kasus serupa mencuat lagi.

Kali ini praktik yang mencoreng dunia pendidikan itu terjadi di SMAN 3. Hanya pihak sekolah yang berada di kawasan Jalan Kenjeran itu belum menerima apa yang dimintai. Namun, upaya permintaan itu sudah disampaikan. Bahkan, calon korbannya sudah menyanggupi seiring penandatanganan surat kesanggupan bermeterai yang disodorkan pihak SMAN 3.

Octavianti Dwi Wulandari adalah orang yang nyaris “diperas” pihak sekolah. Warga Jalan Petemon Sidomulyo IV/5 ini sebelumnya mengurus proses mutasi anaknya, Salman Jahfal Aswita Akbar, yang masih tercatat sebagai kelas siswa kelas XI SMAN 1 Cilaku, Kabupaten Cianjur, Jabar.

Ditemui di Kantor Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya, Jalan Jagir Wonokromo kemarin, Octavianti membeberkan kronologis upaya pungli itu. Menurutnya, semua berawal saat dia mengurus proses mutasi sekolah anaknya. “Karena tempat kerja saya di Cianjur tutup, saya dipindah ke tempat kerja di Surabaya,” kata Octa yang akan kerja di salah satu klinik kecantikan di kawasan Kertajaya Indah Surabaya ini.

Sebelum benar-benar pindah tempat kerja, ibu berjilbab ini hendak memindahkan anaknya dari SMAN 1 Cilaku Cianjur ke Surabaya. “Sebelumnya, saya mendatangi SMAN 21 Surabaya,” tuturnya. DiSMAN 21, Octa ditemui salah seorang wakasek berinisial MAR.

Menurut Octa, secara terang-terangan MAR meminta dana partisipasi pendukung sarana prasarana (sarpras) sekolah senilai Rp8 juta. Merasa keberatan atas besaran dana itu, Octa mencari sekolah lain sebagai alternatif. “Berkas rencana pindahan sekolah yang semula saya masukan ke SMAN 21 pada 3 Oktober 2014, saya tarik lagi pada 6 Oktober 2014,” tuturnya.

Octa lantas mendatangi SMAN 7. Hanya sang anak, Salman, diharuskan menjalani tes. “Karena belum ujian, anak saya disuruh mengikuti ujian di Cianjur. Sekarang sudah selesai ujian,” tuturnya. Belum mendapatkan sekolah baru untuk anaknya, Octa mendatangi SMAN 3 Surabaya pada 28 Desember 2014 karena SMAN 7 tidak jadi dipilih.

“Oleh wakasek bidang kesiswaan (SMAN 3) bernama Pak Asik, saya diminta menyumbang dua unit AC (air conditioner) yang masing-masing ukuran dua PK,” kata Octa. Dia pun menyanggupi dan bahkan menandatangani surat kesanggupan. Surat ini mencantumkan nama Octa selaku orang tua siswa dengan Kepala SMAN 3 Nuri Maria Ulfa.

“Saya sempat akan membelikan AC merek China, Chang Hong. Cuma waka SMAN 3 menunjukkan dan mencontohkan AC bermerek Mitsubishi dari proses kepindahan cucu jenderal. Kalau merek Mitsubishi, saya tidak mampu,” katanya.

Rupanya kesanggupan Octa menyumbang belum menyelesaikan masalah. Belakangan pihak sekolah tidak mau menerima sumbangan dalam bentuk AC, melainkan uang. “Setelah saya cek ke toko, ternyata harga AC yang mereknya sesuai keinginan sekolah mahal. Bahkan jauh lebih mahal dari nilai yang ditawarkan pihak SMAN 21,” ujarnya.

Octa dan anaknya lantas mendatangi Kantor Dindik Surabaya. Dia ingin mengklarifikasi adanya keharusan menyumbang sarpras. Beberapa kali datang, Octa diterima pihak Bidang Pendidikan Menengah dan Kejuruan (Dikmenjur) Dindik Surabaya.

“Surat kesanggupan yang dikeluarkan SMAN 3 saya tunjukan. Orang dinas minta saya mengabaikan surat itu. Malahan pihak dinas menyarankan saya memilih sekolah nonkawasan untuk anak saya yang jauh dari rumah di Petemon,” katanya.

Sementara Salman yang mendampingi ibunya lebih banyak terdiam. “Saya merasa dipersulit masuk sekolah di Surabaya. Padahal kartu keluarga (KK) yang dimiliki ibu saya itu Surabaya,” ujarnya.

Anggota Dewan Pendidikan Surabaya Murpin Josua Sembiring menegaskan, proses mutasi siswa harus mengacu Permendikbud 44/2012 tentang Pungutan dan Sumbangan. Jika sekolah menerapkan pungutan dan nilainya ditentukan, ini tidak benar.

“Misalkan sumbangan, jika diterima sebelum sekolah menerima murid yang mutasi juga tidak benar. Jangan-jangan murid diterima karena sudah membayar sumbangan. Lain jika sumbangan diterima setelah murid diterima. Yang namanya sumbangan itu bersifat sukarela, bukan sekolah menyodorkan nominal,” ujarnya.

Jika sekolah memerlukan sarpras, kata Murpin, kenapa tidak diajukan melalui APBD. Kalau sekolah ingin mengikutsertakan muridnya dalam lomba dan memerlukan biaya, harus dianggarkan. “Kalau sudah dianggarkan, tidak akan ada celah. Sekolah sebaiknya juga memasang spanduk atau papan pengumuman berisi prosedur tetap (protap) yang menggambarkan alur layanan dan kepastian waktu proses,” katanya.

Sekretaris Dindik Surabaya Aston Tambunan mengatakan akan menindaklanjuti informasi ini. “Kami cek dulu. Yang pasti sumbangan tidak ada,” kata Aston. Dia menegaskan, sekolah tidak bisa menerima mutasi siswa tanpa mendapatkan rekomendasi Dindik.

Artinya, sekolah bukan pengambil kebijakan. Dia menyebutkan dinasnya tidak menerapkan kebijakan terkait pungutan- pungutan itu. Kalau benar praktik itu ada, Aston menegaskan, tidak akan ragu lagi menerapkan sanksi.

Soeprayitno
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1343 seconds (0.1#10.140)