Lapindo Diminta Serahkan Sertifikat Aset

Senin, 22 Desember 2014 - 10:46 WIB
Lapindo Diminta Serahkan Sertifikat Aset
Lapindo Diminta Serahkan Sertifikat Aset
A A A
SIDOARJO - Keraguan korban lumpur Lapindo atas kelancaran proses ganti rugi dari pemerintah dimaklumi Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo.

Proses pencairan dana Rp781 miliar dari pemerintah tersebut membutuhkan waktu panjang. “Proses pencairan dana hingga bisa diterima oleh korban lumpur memang membutuhkan waktu panjang. Kami meminta semua pihak terutama PT Minarak Lapindo Jaya kooperatif dengan menyerahkan semua persyaratan yang diminta oleh pemerintah,” ujar Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Mahmud, kemarin.

Dia mengatakan salah syarat dana talangan adalah adanya jaminan aset dari PT Minarak Lapindo yang diserahkan kepada pemerintah. Aset-aset ini secara otomatis akan dikuasai oleh pemerintah jika dalam jangka waktu empat tahun kedepan perusahaan milik Keluarga Bakrie tersebut tidak mampu mengembalikan dana talangan Rp781 miliar.”Semoga Lapindo mau memberi sertifikat asetnya sebagai jaminan atas dana talangan Rp 781 miliar itu,” tegas Mahmud.

Selain persoalan penyerahan aset dari Lapindo, proses pencairan ganti rugi ini juga membutuhkan perubahan peraturan presiden (Perpres) 14/- 2007 tentang penanganan lumpur. Perubahan ini penting karena bakal menjadi payung hukum atas pengunaan anggaran negara untuk menalangi ganti rugi yang harusnya menjadi tanggung jawab PT Minarak Lapindo.

Termasuk mekanisme pelunasan ganti rugi korban lumpur, apakah akan dibayarkan oleh Lapindo atau langsung pemerintah. “Hal-hal itu sebelumnya diatur dalam Pepres 14/2007, maka jika ada perubahan maka harus terlebih dahulu ada revisi sehingga payung hukumnya jelas,” ujar Mahmud.

Tak kalah pentingnya, lanjut Mahmud, dana talangan tersebut juga harus mendapat persetujuan dari Komisi V DPR RI. Sebab, jika DPR tidak sepakat terkait dana talangan bagi korban lumpur akan menjadi percuma. ”Pansus Lumpur juga akan menemui Komisi V terkait dana talangan itu,” tegasnya.

Sudibyo, salah satu korban lumpur asal Renokenongo, Kecamatan Porong mengatakan pihaknya masih menunggu bukti tertulis dana talangan dari pemerintah. Selama ini korban lumpur sudah sering diberi janji-janji terkait pelunasan ganti rugi, namun sampai sekarang belum direalisasikan.

Korban lumpur berharap agar dana talangan tersebut bisa segera direalisasikan dan dibayarkan dalam waktu dekat. ”Paling tidak bisa dianggarkan dalam APBN 2015 agar bisa segea dibayarkan kepada korban lumpur,” tandas Sudibyo.

Secara umum, korban lumpur menyambut baik keputusan Presiden Joko Widodo yang memberikan dana talangan pembayaran ganti rugi lumpur. Namun, keputusan tersebut harus segera ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait terutama untuk mekanisme pembayaran.

Berbeda dengan korban lumpur yang menyambut baik dana talangan. Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) kecewa karena belum dimasukkannya anggaran ganti rugi untuk pengusaha korban lumpur. Sebab, mereka juga sama-sama menjadi korban lumpur. ”Perusahaan kami sudah tebenam lumpur. Samasama menjadi korban lumpur tapi dianaktirikan,” keluhnya.

GPKLL mengaku juga kecewa terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Gubernur Jatim Soekarwo. Sebab, keduanya terkesan mengesampingkan untuk memperjuangkan pembayaran ganti rugi pengusaha korban lumpur.

Sementara itu pengamat Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto meminta pemerintah terlebih dahulu mempailitkan PT Minarak Lapindo Jaya sebelum memberikan dana talangan.

”Kalau disebut sebagai uang ganti rugi untuk korban lumpur seharusnya PT Minarak Lapindo Jaya dipailitkan terlebih dahulu dan baru asetnya disita untuk menyelesaikan ganti rugi. Kalau kurang barulah diselesaikan langsung oleh pemerintah sebagai bantuan sosial,” kata Suroto di Jakarta, Minggu.

Dia menilai kebijakan pemerintah menalangi ganti rugi korban Lapindo bisa menjadi menjadi preseden buruk bagi sistem hukum dan juga bisnis di Indonesia. Menurut dia akibat kebijakan itu kini setiap orang yang melakukan spekulasi bisnis dan bangkrut pada akhirnya dapat menuntut dana talangan pada pemerintah.

”Seharusnya perusahaan justru dihukum akibat kelalaian dan merugikan banyak orang secara kemanusiaan. Ini janggal dan terkesan sangat kolutif,” katanya. Suroto meminta pemerintah untuk berperilaku adil pada semua pelaku bisnis dan tidak membawa ”deal” politik ke dalam ranah hukum dan bisnis.

Ia berpendapat kebijakan pemberian dana talangan itu bisa memacu dilakukannya kegiatan ekploitatif dari korporasi lainya. ”Mereka akan lebih mudah membuat kesalahan dan menanggungkan bebannya pada pemerintah yang sumbernya adalah pajak yang dibayar rakyat,” katanya.

Suroto justru mempertanyakan kenapa pemerintah tidak mempedulikan UKM yang bangkrut padahal secara riil UKM menjadi penopang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. ”Demi rasa keadilan dan juga kepentingan hukum dan bisnis maka pemerintah harus batalkan kebijakan tersebut,” katanya.

Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menalangi ganti rugi pembelian lahan atas kasus lumpur Lapindo dimana total ganti rugi tanah yang harus dibayarkan di area terdampak sekitar Rp3,8 triliun dengan Rp3,03 triliun di antaranya sudah dibayar Lapindo, sehingga masih kurang Rp781 miliar. Dana Rp781 miliar tersebut akan diambil dari APBNP 2015.

Konsekuensinya, Lapindo harus menyerahkan keseluruhan tanah yang ada di peta terdampak dan perusahaan itu diberi waktu empat tahun untuk melunasi dana talangan dan memperoleh kembali tanah tersebut.

Abdul Rouf/ant
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5387 seconds (0.1#10.140)