Syarif Abdurrahman, Sosok di Balik Berdirinya Kota Pontianak
A
A
A
KOTA Pontianak, Ibu Kota Kalimantan Barat, tidak bisa dipisahkan dari Syarif Abdurrahman Alqadrie. Siapakah dia?
Cerita Pagi kali ini akan mengupas tentang Syarif Abdurrahman Alqadrie, sosok di balik berdirinya Kesultanan Kadriah Pontianak.
Syarif Abdurrahman Alqadrie, selanjutnya disebut Syarif Abdurrahman, adalah putra dari Sayid Habib Husein Alqadrie, penyebar agama Islam asal Timur Tengah.
Syarif Abdurrahman lahir 1739 M. Syarif Abdurrahman dinikahkan dengan putri Opu Daeng Menambon dari Ratu Kesumba bernama Putri Candramidi.
Syarif Abdurrahman dikenal suka berkelana. Setelah berkelana ke sejumlah wilayah, pada 1767 dia berlayar menuju Banjarmasin, lalu menetap di Kesultanan Banjar. Pada tahun 1769, Syarif Abdurrahman menikah lagi dengan putri Sultan Banjar bernama Syarifah Anum. Dia lalu mendapat gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam.
Saat tinggal di Banjarmasin, Syarif Abdurrahman kehilangan dua orang yang sangat berarti dan dia sayangi. Tahun 1766, Sultan Mempawah Opu Daeng Menambon meninggal dunia. Empat tahun kemudian, giliran sang ayah, Husein Alqadrie, menyusul Opu Daeng Menambon.
Kehilangan dua orang yang sangat disayangi, membuat Syarif Abdurrahman mencari permukiman baru.
Pada 1771, rombongan Syarif Abdurrahman mulai berlayar mencari permukiman baru. Mereka berangkat dengan 14 perahu kakap menyusuri Sungai Peniti. Waktu zuhur mereka sampai di sebuah tanjung. Syarif Abdurrahman bersama pengikutnya menetap di sana. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kelapa Tinggi Segedong.
Namun, Syarif Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk tempat tinggal dan dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu sungai. Tempat Syarif Abdurrahman dan rombongan salat zuhur itu kini dikenal sebagai Tanjung Dhohor.
Ketika menyusuri Sungai Kapuas, mereka menemukan sebuah pulau, yang kini dikenal dengan nama Batu Layang. Di tempat itulah Syarif Abdurrahman beserta keturunannya dimakamkan. Di pulau itu, mereka mulai mendapat gangguan hantu Pontianak. Masyarakat lokal menyebutnya sebagai kuntilanak, hantu yang konon berkelamin perempuan, suka mengambil anak kecil atau mengganggu wanita yang baru saja melahirkan
Syarif Abdurrahman lalu memerintahkan kepada seluruh pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu dengan meriam.
Namun, sebenarnya yang dimaksud dengan kuntilanak di atas adalah gerombolan perompak atau bajak laut yang biasa bersembunyi di persimpangan yang menjorok ke arah Sungai Landak. Meski demikian, nama "kuntilanak" lambat laun menjadi "Pontianak".
Pada 23 Oktober 1771 (sejak 21 Oktober 1968 ditetapkan sebagai Hari Lahir Kota Pontianak), rombongan Syarif Abdurrahman berhasil memukul mundur gerombolan perompak kuntilanak di muara Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Pada hari yang sama, rombongan Syarif Abdurrahman berlabuh di tepian Sungai Kapuas, lalu membangun surau yang kelak menjadi Masjid Agung Kesultanan Kadriah Pontianak.
Mereka lalu mempersiapkan permukiman di sebuah tempat yang menjorok ke darat, sekitar 800 meter dari surau. Permukiman inilah yang menjadi tempat dibangunnya Istana Kesultanan Kadriah Pontianak.
Pada 1778, dia dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie. Dia berkuasa sampai 1808.
Sumber: melayuonline.com dan wikipedia.
Cerita Pagi kali ini akan mengupas tentang Syarif Abdurrahman Alqadrie, sosok di balik berdirinya Kesultanan Kadriah Pontianak.
Syarif Abdurrahman Alqadrie, selanjutnya disebut Syarif Abdurrahman, adalah putra dari Sayid Habib Husein Alqadrie, penyebar agama Islam asal Timur Tengah.
Syarif Abdurrahman lahir 1739 M. Syarif Abdurrahman dinikahkan dengan putri Opu Daeng Menambon dari Ratu Kesumba bernama Putri Candramidi.
Syarif Abdurrahman dikenal suka berkelana. Setelah berkelana ke sejumlah wilayah, pada 1767 dia berlayar menuju Banjarmasin, lalu menetap di Kesultanan Banjar. Pada tahun 1769, Syarif Abdurrahman menikah lagi dengan putri Sultan Banjar bernama Syarifah Anum. Dia lalu mendapat gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam.
Saat tinggal di Banjarmasin, Syarif Abdurrahman kehilangan dua orang yang sangat berarti dan dia sayangi. Tahun 1766, Sultan Mempawah Opu Daeng Menambon meninggal dunia. Empat tahun kemudian, giliran sang ayah, Husein Alqadrie, menyusul Opu Daeng Menambon.
Kehilangan dua orang yang sangat disayangi, membuat Syarif Abdurrahman mencari permukiman baru.
Pada 1771, rombongan Syarif Abdurrahman mulai berlayar mencari permukiman baru. Mereka berangkat dengan 14 perahu kakap menyusuri Sungai Peniti. Waktu zuhur mereka sampai di sebuah tanjung. Syarif Abdurrahman bersama pengikutnya menetap di sana. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kelapa Tinggi Segedong.
Namun, Syarif Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk tempat tinggal dan dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu sungai. Tempat Syarif Abdurrahman dan rombongan salat zuhur itu kini dikenal sebagai Tanjung Dhohor.
Ketika menyusuri Sungai Kapuas, mereka menemukan sebuah pulau, yang kini dikenal dengan nama Batu Layang. Di tempat itulah Syarif Abdurrahman beserta keturunannya dimakamkan. Di pulau itu, mereka mulai mendapat gangguan hantu Pontianak. Masyarakat lokal menyebutnya sebagai kuntilanak, hantu yang konon berkelamin perempuan, suka mengambil anak kecil atau mengganggu wanita yang baru saja melahirkan
Syarif Abdurrahman lalu memerintahkan kepada seluruh pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu dengan meriam.
Namun, sebenarnya yang dimaksud dengan kuntilanak di atas adalah gerombolan perompak atau bajak laut yang biasa bersembunyi di persimpangan yang menjorok ke arah Sungai Landak. Meski demikian, nama "kuntilanak" lambat laun menjadi "Pontianak".
Pada 23 Oktober 1771 (sejak 21 Oktober 1968 ditetapkan sebagai Hari Lahir Kota Pontianak), rombongan Syarif Abdurrahman berhasil memukul mundur gerombolan perompak kuntilanak di muara Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Pada hari yang sama, rombongan Syarif Abdurrahman berlabuh di tepian Sungai Kapuas, lalu membangun surau yang kelak menjadi Masjid Agung Kesultanan Kadriah Pontianak.
Mereka lalu mempersiapkan permukiman di sebuah tempat yang menjorok ke darat, sekitar 800 meter dari surau. Permukiman inilah yang menjadi tempat dibangunnya Istana Kesultanan Kadriah Pontianak.
Pada 1778, dia dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie. Dia berkuasa sampai 1808.
Sumber: melayuonline.com dan wikipedia.
(zik)