10 Tahun Eko Temani Pramudya di Pulau Buru
A
A
A
SEMARANG - Di sisi timur laut Taman Menteri Supeno alias Taman KB Kota Semarang, kemarin, tampak puluhan orang mengerumuni panggung kecil. Di atas panggung, seorang kakek bernama Eko Sutikno, 74, memegang mikrofon sembari bercerita. Puluhan orang didominasi anak-anak muda itu takzim menyimak eks tahanan politik yang pernah merasakan menjadi tahanan di Pulau Buru tanpa peradilan itu.
“Saya dibawa ke Pulau Buru (Maluku) 17 Agustus 1969. Saat itu status saya mahasiswa sosial politik di Universitas Cokroaminoto Solo (sekarang UNS). Saya 10 tahun di sana (Pulau Buru),” kata warga asli Kaliwungu, Kabupaten Kendal itu. Eko ditahan pemerintah karena dianggap penganut komunisme.
Tanpa peradilan, Eko tiba-tiba diangkut menggunakan kapal ke pulau yang berlokasi di Maluku itu. “Saya sebelumnya sempat 6 bulan dipenjara di Kendal. Tanpa alasan jelas, tanpa peradilan, saya ditahan. Saat interogasi juga main pukul saja. Di Pulau Buru, saya bersama Pramoedya Ananta Toer,” ujarnya.
Menjadi tahanan politik di Pulau Buru benar-benar tidak bisa dilupakan oleh Eko. Dia merasakan bagaimana cuaca siang hari sangat panas, dan berubah drastis di kisaran 12- 16 derajat Celsius pada malam hari. “Kalau tidur harus pakai kaus kaki. Makannya pun paling banyak 90 butir jagung, dua kali sehari,” ungkapnya.
Pria yang memiliki 4 anak dan 4 cucu ini adalah salah satu dari sekian banyak pengisi acara di panggung kecil di Taman KB. Puluhan aktivis dari berbagai penjuru yang menamakan dirinya Gerakan Rakyat untuk Hak Asasi Manusia (GERAM) menggelar peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Koordinator GERAM Toni menyebut, sampai saat ini terus terjadi pelanggaran HAM oleh negara. “Sekarang pelanggaran HAM berbentuk penggusuran PKL, eksploitasi sumber daya alam (SDA) bukan untuk kepentingan warga hingga aturanaturan yang tidak berpihak ke masyarakat banyak, terutama perempuan,” ucapnya.
GERAM menegaskan pengakuan atas HAM dijamin konstitusi ataupun aturan lainnya. Bahkan, secara internasional pun diakui. Realitanya, hal itu masih jauh panggang dari api. Tingginya angka pelanggaran HAM, baik tindakan langsung maupun tidak langsung oleh negara menjadi salah satu indikatornya.
Di antaranya tragedi G 30 S 1965 yang membuat 3 juta penduduk meregang nyawa, kekerasan kejahatan terhadap perempuan dengan korban berjumlah 279.688 (data terakhir Komnas Perempuan), quo vadis reforma agraria dan keadilan ekologis, masih tingginya angka korupsi, hingga belum selesainya persoalan intoleransi.
“Kami menuntut negara serius menindaklanjuti pelanggaran berat HAM di masa lalu, mewujudkan negara bersih tanpa korupsi.”
Eka Setiawan
“Saya dibawa ke Pulau Buru (Maluku) 17 Agustus 1969. Saat itu status saya mahasiswa sosial politik di Universitas Cokroaminoto Solo (sekarang UNS). Saya 10 tahun di sana (Pulau Buru),” kata warga asli Kaliwungu, Kabupaten Kendal itu. Eko ditahan pemerintah karena dianggap penganut komunisme.
Tanpa peradilan, Eko tiba-tiba diangkut menggunakan kapal ke pulau yang berlokasi di Maluku itu. “Saya sebelumnya sempat 6 bulan dipenjara di Kendal. Tanpa alasan jelas, tanpa peradilan, saya ditahan. Saat interogasi juga main pukul saja. Di Pulau Buru, saya bersama Pramoedya Ananta Toer,” ujarnya.
Menjadi tahanan politik di Pulau Buru benar-benar tidak bisa dilupakan oleh Eko. Dia merasakan bagaimana cuaca siang hari sangat panas, dan berubah drastis di kisaran 12- 16 derajat Celsius pada malam hari. “Kalau tidur harus pakai kaus kaki. Makannya pun paling banyak 90 butir jagung, dua kali sehari,” ungkapnya.
Pria yang memiliki 4 anak dan 4 cucu ini adalah salah satu dari sekian banyak pengisi acara di panggung kecil di Taman KB. Puluhan aktivis dari berbagai penjuru yang menamakan dirinya Gerakan Rakyat untuk Hak Asasi Manusia (GERAM) menggelar peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Koordinator GERAM Toni menyebut, sampai saat ini terus terjadi pelanggaran HAM oleh negara. “Sekarang pelanggaran HAM berbentuk penggusuran PKL, eksploitasi sumber daya alam (SDA) bukan untuk kepentingan warga hingga aturanaturan yang tidak berpihak ke masyarakat banyak, terutama perempuan,” ucapnya.
GERAM menegaskan pengakuan atas HAM dijamin konstitusi ataupun aturan lainnya. Bahkan, secara internasional pun diakui. Realitanya, hal itu masih jauh panggang dari api. Tingginya angka pelanggaran HAM, baik tindakan langsung maupun tidak langsung oleh negara menjadi salah satu indikatornya.
Di antaranya tragedi G 30 S 1965 yang membuat 3 juta penduduk meregang nyawa, kekerasan kejahatan terhadap perempuan dengan korban berjumlah 279.688 (data terakhir Komnas Perempuan), quo vadis reforma agraria dan keadilan ekologis, masih tingginya angka korupsi, hingga belum selesainya persoalan intoleransi.
“Kami menuntut negara serius menindaklanjuti pelanggaran berat HAM di masa lalu, mewujudkan negara bersih tanpa korupsi.”
Eka Setiawan
(ftr)