Kian Santang dan Sayyidina Ali
A
A
A
Beragam versi berkembang di tengah masyarakat mengenai cerita Raden Kian Santang, yang merupakan salah satu putera dari Prabu Siliwangi.
Dalam satu versi disebutkan Kian Santang lahir dari rahim Dewi Kumalawangi di Padjajaran tahun 1315 M. Dia adalah seorang pemuda yang sangat cakap.
Tidaklah heran jika pada usianya yang masih muda Kian Santang diangkat menjadi Dalem Bogor kedua.
Konon, Raden Kian Santang juga sakti mandraguna. Tubuhnya kebal, tak bisa dilukai senjata jenis apapun. Auranya memancarkan wibawa seorang ksatria, dan sorot matanya menggetarkan hati lawan.
Diriwayatkan, Prabu Kian Santang telah menjelajahi seluruh tanah Pasundan. Tapi, seumur hidupnya dia belum pernah bertemu dengan orang yang mampu melukai tubuhnya.
Padahal pemuda ini ingin sekali melihat darahnya sendiri. Maka pada suatu hari, dia memohon kepada ayahnya agar dicarikan lawan yang hebat.
Untuk memenuhi permintaan putranya, Prabu Siliwangi mengumpulkan para ahli nujum. Dia meminta bantuan pada mereka untuk menunjukkan siapa dan dimana orang sakti yang mampu mengalahkan putranya.
Kemudian datang seorang kakek yang bisa menunjukkan orang yang selama ini dicari. Menurut kakek tersebut, orang gagah yang bisa mengalahkan Raden Kian Santang ada di tanah suci Mekkah, namanya Sayyidina Ali.
“Aku ingin bertemu dengannya,” ungkap Raden Kian Santang.
“Untuk bisa bertemu dengannya, ada syarat yang harus raden penuhi,” ujar si kakek.
Syarat-syarat tersebut adalah harus bersemedi dulu di Ujung Kulon, atau ujung barat Pasundan (waktu itu Banten masih menjadi daerah Pasundan).
Selain itu Kian Santang harus berganti nama menjadi Galantrang Setra. Dua syarat yang disebutkan tidak menjadi penghalang.
Dengan segera Raden Kian Santang memakai nama Galantrang Setra. Setelah itu dia segera pergi ke Ujung Kulon untuk bersemedi selama 40 hari.
Selanjutnya Galantrang Setra pergi ke Mekkah. Konon Kian Santang yang telah berganti nama menjadi Galantrang Setra ini pergi ke Mekkah dengan ilmu kesaktiannya sehingga tidak memakan waktu lama untuk sampai di sana. Sesampainya di Arab beliau langsung mencari Sayyidina Ali.
“Anda kenal dengan Sayyidina Ali?,” tanya Kian Santang pada seorang lelaki tegap yang kebetulan berpapasan dengannya.
“Kenal sekali,” jawabnya.
“Kalau begitu bisakah kau antar aku kesana?”
"Bisa, asal kau mau mengambilkan tongkatku itu.”
Demi untuk bertemu dengan Ali, Kian Santang menurut untuk mengambil tongkat yang tertancap di pasir.
Tapi alangkah terkejutnya dia ketika mencoba mencabut tongkat itu ia tak berhasil, bahkan meski dia mengerahkan segala kesaktiannya dan pori-porinya keluar keringat darah.
Begitu mengetahui Kian Santang tak mampu mencabut tongkatnya, maka pria itu pun menghampiri tongkatnya sambil membaca Bismillah tongkat itu dengan mudah bisa dicabut.
Kian Santang keheranan melihat orang itu dengan mudahnya mencabut tongkat tersebut sedang dia sendiri tak mampu mencabutnya.
“Mantra apa yang kau baca tadi hingga kau begitu mudah mencabut tongkat itu? Bisakah kau mengajarkan mantra itu kepadaku?”
“Tidak Bisa, karena kau bukan orang Islam.”
Ketika dia terbengong dengan jawaban pria itu, seorang yang kebetulan lewat di depan mereka menyapa; “Assalamu’alaikum Sayyidina Ali.”
Mendengar sapaan itulah kini dia tahu bahwa Sayyidina Ali yang dia cari adalah orang yang sedari tadi bersamanya.
Begitu menyadari ini maka keinginan Kian Santang untuk mengadu kesaktian musnah seketika. “Bagaimana mungkin aku mampu mengalahkannya sedang mengangkat tongkatnya pun aku tak mampu,” pikirnya.
Singkat cerita akhirnya Kian Santang masuk agama Islam. Dan setelah beberapa bulan belajar agama Islam dia berniat untuk kembali ke Padjajaran guna membujuk ayahnya untuk juga ikut memeluk agama Islam.
Sesampainya di Pajajaran, dia segera menghadap ayahandanya. Dia ceritakan pengalamannya di tanah Mekkah dari mulai bertemu Sayyidina Ali hingga masuk Islam.
Karena itu dia berharap ayahandanya masuk Islam juga. Tapi sayangnya ajakan Kian Santang ini tak bersambut dan ayahandanya bersikeras untuk tetap memeluk agama Hindu yang sejak lahir dianutnya.
Betapa kecewanya Kian Santang begitu mendengar jawaban ayahandanya yang menolak mengikuti ajakannya.
Untuk itu dia memutuskan kembali ke Mekkah demi memperdalam agama Islamnya dengan satu harapan seiring makin pintarnya dia berdakwah mungkin ayahnya akan terbujuk masuk Islam juga.
Setelah 7 tahun bermukim di Mekkah, Kian Santang pun kembali lagi ke Pajajaran untuk mencoba mengIslamkan ayahandanya.
Mendengar Kian Santang kembali Prabu Siliwangi yang tetap pada pendiriannya untuk tetap memeluk agama Hindu itu tentu saja merasa gusar.
Maka dari itu, ketika Kian Santang sedang dalam perjalanan menuju istana, dengan kesaktiannya Prabu Siliwangi menyulap keraton Padjajaran menjadi hutan rimba.
Bukan main kagetnya Kian Santang setelah sampai di wilayah keraton pajajaran tidak mendapati keraton itu dan yang terlihat malah hutan belantara, padahal dia yakin dan tidak mungkin keliru, disanalah keraton Padjajaran berdiri.
Dan akhirnya setelah mencari kesana kemari dia menemukan ayahandanya dan para pengawalnya keluar dari hutan.
Dengan segala hormat, dia bertanya pada ayahandanya, “Wahai ayahanda, mengapa ayahanda tinggal di hutan? Padahal ayahanda seorang raja. Apakah pantas seorang raja tinggal di hutan? Lebih baik kita kembali ke keraton. Ananda ingin ayahanda memeluk agama Islam.”
Prabu Siliwangi tidak menjawab pertanyaan putranya, malah dia balik bertanya, “Wahai ananda, lantas apa yang pantas tinggal di hutan?”
“Yang pantas tinggal di hutan adalah harimau,” jawab Kian Santang.
Konon, tiba-tiba Prabu Siliwangi beserta pengikutnya berubah wujud menjadi harimau. Kiansantang menyesali dirinya telah mengucapkan kata harimau hingga ayahanda dan pengikutnya berubah wujud menjadi harimau.
Maka dari itu, meski telah berubah menjadi harimau, namun Kian Santang masih saja terus membujuk mereka untuk memeluk agama Islam.
Namun rupanya harimau-harimau itu tidak mau menghiraukan ajakannya. Mereka lari ke daerah selatan, yang kini masuk wilayah Garut. Kian Santang berusaha mengejarnya dan menghadang lari mereka.
Dia ingin sekali lagi membujuk mereka. Sayang usahanya gagal. Mereka tak mau lagi diajak bicara dan masuk ke dalam goa yang kini terkenal dengan nama goa Sancang, yang terletak di Leuweung Sancang, di Kabupaten Garut.
Sumber : curentissue.blogspot.com (diolah berbagai sumber)
Dalam satu versi disebutkan Kian Santang lahir dari rahim Dewi Kumalawangi di Padjajaran tahun 1315 M. Dia adalah seorang pemuda yang sangat cakap.
Tidaklah heran jika pada usianya yang masih muda Kian Santang diangkat menjadi Dalem Bogor kedua.
Konon, Raden Kian Santang juga sakti mandraguna. Tubuhnya kebal, tak bisa dilukai senjata jenis apapun. Auranya memancarkan wibawa seorang ksatria, dan sorot matanya menggetarkan hati lawan.
Diriwayatkan, Prabu Kian Santang telah menjelajahi seluruh tanah Pasundan. Tapi, seumur hidupnya dia belum pernah bertemu dengan orang yang mampu melukai tubuhnya.
Padahal pemuda ini ingin sekali melihat darahnya sendiri. Maka pada suatu hari, dia memohon kepada ayahnya agar dicarikan lawan yang hebat.
Untuk memenuhi permintaan putranya, Prabu Siliwangi mengumpulkan para ahli nujum. Dia meminta bantuan pada mereka untuk menunjukkan siapa dan dimana orang sakti yang mampu mengalahkan putranya.
Kemudian datang seorang kakek yang bisa menunjukkan orang yang selama ini dicari. Menurut kakek tersebut, orang gagah yang bisa mengalahkan Raden Kian Santang ada di tanah suci Mekkah, namanya Sayyidina Ali.
“Aku ingin bertemu dengannya,” ungkap Raden Kian Santang.
“Untuk bisa bertemu dengannya, ada syarat yang harus raden penuhi,” ujar si kakek.
Syarat-syarat tersebut adalah harus bersemedi dulu di Ujung Kulon, atau ujung barat Pasundan (waktu itu Banten masih menjadi daerah Pasundan).
Selain itu Kian Santang harus berganti nama menjadi Galantrang Setra. Dua syarat yang disebutkan tidak menjadi penghalang.
Dengan segera Raden Kian Santang memakai nama Galantrang Setra. Setelah itu dia segera pergi ke Ujung Kulon untuk bersemedi selama 40 hari.
Selanjutnya Galantrang Setra pergi ke Mekkah. Konon Kian Santang yang telah berganti nama menjadi Galantrang Setra ini pergi ke Mekkah dengan ilmu kesaktiannya sehingga tidak memakan waktu lama untuk sampai di sana. Sesampainya di Arab beliau langsung mencari Sayyidina Ali.
“Anda kenal dengan Sayyidina Ali?,” tanya Kian Santang pada seorang lelaki tegap yang kebetulan berpapasan dengannya.
“Kenal sekali,” jawabnya.
“Kalau begitu bisakah kau antar aku kesana?”
"Bisa, asal kau mau mengambilkan tongkatku itu.”
Demi untuk bertemu dengan Ali, Kian Santang menurut untuk mengambil tongkat yang tertancap di pasir.
Tapi alangkah terkejutnya dia ketika mencoba mencabut tongkat itu ia tak berhasil, bahkan meski dia mengerahkan segala kesaktiannya dan pori-porinya keluar keringat darah.
Begitu mengetahui Kian Santang tak mampu mencabut tongkatnya, maka pria itu pun menghampiri tongkatnya sambil membaca Bismillah tongkat itu dengan mudah bisa dicabut.
Kian Santang keheranan melihat orang itu dengan mudahnya mencabut tongkat tersebut sedang dia sendiri tak mampu mencabutnya.
“Mantra apa yang kau baca tadi hingga kau begitu mudah mencabut tongkat itu? Bisakah kau mengajarkan mantra itu kepadaku?”
“Tidak Bisa, karena kau bukan orang Islam.”
Ketika dia terbengong dengan jawaban pria itu, seorang yang kebetulan lewat di depan mereka menyapa; “Assalamu’alaikum Sayyidina Ali.”
Mendengar sapaan itulah kini dia tahu bahwa Sayyidina Ali yang dia cari adalah orang yang sedari tadi bersamanya.
Begitu menyadari ini maka keinginan Kian Santang untuk mengadu kesaktian musnah seketika. “Bagaimana mungkin aku mampu mengalahkannya sedang mengangkat tongkatnya pun aku tak mampu,” pikirnya.
Singkat cerita akhirnya Kian Santang masuk agama Islam. Dan setelah beberapa bulan belajar agama Islam dia berniat untuk kembali ke Padjajaran guna membujuk ayahnya untuk juga ikut memeluk agama Islam.
Sesampainya di Pajajaran, dia segera menghadap ayahandanya. Dia ceritakan pengalamannya di tanah Mekkah dari mulai bertemu Sayyidina Ali hingga masuk Islam.
Karena itu dia berharap ayahandanya masuk Islam juga. Tapi sayangnya ajakan Kian Santang ini tak bersambut dan ayahandanya bersikeras untuk tetap memeluk agama Hindu yang sejak lahir dianutnya.
Betapa kecewanya Kian Santang begitu mendengar jawaban ayahandanya yang menolak mengikuti ajakannya.
Untuk itu dia memutuskan kembali ke Mekkah demi memperdalam agama Islamnya dengan satu harapan seiring makin pintarnya dia berdakwah mungkin ayahnya akan terbujuk masuk Islam juga.
Setelah 7 tahun bermukim di Mekkah, Kian Santang pun kembali lagi ke Pajajaran untuk mencoba mengIslamkan ayahandanya.
Mendengar Kian Santang kembali Prabu Siliwangi yang tetap pada pendiriannya untuk tetap memeluk agama Hindu itu tentu saja merasa gusar.
Maka dari itu, ketika Kian Santang sedang dalam perjalanan menuju istana, dengan kesaktiannya Prabu Siliwangi menyulap keraton Padjajaran menjadi hutan rimba.
Bukan main kagetnya Kian Santang setelah sampai di wilayah keraton pajajaran tidak mendapati keraton itu dan yang terlihat malah hutan belantara, padahal dia yakin dan tidak mungkin keliru, disanalah keraton Padjajaran berdiri.
Dan akhirnya setelah mencari kesana kemari dia menemukan ayahandanya dan para pengawalnya keluar dari hutan.
Dengan segala hormat, dia bertanya pada ayahandanya, “Wahai ayahanda, mengapa ayahanda tinggal di hutan? Padahal ayahanda seorang raja. Apakah pantas seorang raja tinggal di hutan? Lebih baik kita kembali ke keraton. Ananda ingin ayahanda memeluk agama Islam.”
Prabu Siliwangi tidak menjawab pertanyaan putranya, malah dia balik bertanya, “Wahai ananda, lantas apa yang pantas tinggal di hutan?”
“Yang pantas tinggal di hutan adalah harimau,” jawab Kian Santang.
Konon, tiba-tiba Prabu Siliwangi beserta pengikutnya berubah wujud menjadi harimau. Kiansantang menyesali dirinya telah mengucapkan kata harimau hingga ayahanda dan pengikutnya berubah wujud menjadi harimau.
Maka dari itu, meski telah berubah menjadi harimau, namun Kian Santang masih saja terus membujuk mereka untuk memeluk agama Islam.
Namun rupanya harimau-harimau itu tidak mau menghiraukan ajakannya. Mereka lari ke daerah selatan, yang kini masuk wilayah Garut. Kian Santang berusaha mengejarnya dan menghadang lari mereka.
Dia ingin sekali lagi membujuk mereka. Sayang usahanya gagal. Mereka tak mau lagi diajak bicara dan masuk ke dalam goa yang kini terkenal dengan nama goa Sancang, yang terletak di Leuweung Sancang, di Kabupaten Garut.
Sumber : curentissue.blogspot.com (diolah berbagai sumber)
(sms)