Merawat Alam Sekaligus Melestarikan Bahasa Tegal
A
A
A
Bukan Enthus Susmono namanya jika tak mampu membuat suasana menjadi gayeng. Tak terkecuali di acara-acara resmi yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tegal.
Bupati cumdalang itu memang dikenal nyentrik dan kerap berbicara ceplas-ceplos. Gaya yang sudah melekat dalam kesehariannya sebagai dalang itu tetap dipertahankannya meski sudah menjadi pejabat tertinggi di daerah.
Karakter Enthus itu pun membuat acara-acara resmi pemkab berubah menjadi cair dan tidak kaku. Acara ruwat bumi atau sedekah bumi yang kembali digelar pengelola obyek wisata Purwahamba Indah (Purin) di Desa Purwahamba, Kecamatan Suradai, kemarin menjadi berbeda dari biasanya karena kehadiran Enthus yang belum genap setahun menjadi bupati. Pangkal penyebabnya penggunaan bahasa Tegal dalam seluruh rangkaian acara yang dimulai dengan upacara.
“Wadul, upacararuwat bumi pan dimulai (lapor, upacara ruwat bumi akan dimulai),” ujar pemimpin upacara saat melapor kepada Enthus yang bertindak sebagai pembina upacara. Dengan enteng, Enthus menjawab laporan tersebut, “Terusna. Merad mana(lanjutkan. Pergi sana),” jawaban Enthus ini langsung mengundang tawa seluruh warga yang datang untuk menyaksikan jalannya acara ruwat.
Tak hanya dalam aba-aba upacara, sambutan yang dibacakan Camat Suradadi Tri Guntoro juga seluruhnya menggunakan bahasa Tegal atas instruksi Enthus. Alhasil, warga berulang kali kembali tertawa meskipun kata-kata yang diucapkan sebenarnya sudah biasa didengar dalam keseharian.
“Acara ruwat lemah tujuane nggo syukur akeh-akehe karo gusti Allah sing wis ngei alam seisine. Selain kuwe, nggo nguringuri budaya, terus menarik wisatawan lokal mbe internasional. Terus eben cahcah enom aja dolan sing ora-ora ning Purin. (Acara ruwat bumi bertujuan untuk mengucap syukur sebesar-sebesarnya kepada Allah yang sudah memberikan alam dan seisinya. Selain itu, untuk menarik wisatawan lokal dan internasional. Juga agar anak-anak muda tidak berbuat negatif di Purin),” papar Tri Guntoro.
Enthus ketika memberi sambutan menyinggung alasan digunakannya bahasa Tegal dalam acara. Dia menilai bahasa Tegal merupakan bahasa ibu yang paling baik sehingga harus terus dilestarikan. “Ada kesan kalau bahasa Tegal adalah bahasa humor. Sebenarnya bahasa Tegal itu bahasa ibu yang paling baik. Karena saat diucapkan membuat tertawa, artinya saat diucapkan itu membuat lega,” ujarnya.
Menurut Enthus, bahasa Tegal menunjukkan karakter orang Tegal yang apa adanya dan akrab satu sama lain. Dia menolak anggapan jika bahasa Tegal itu bahasa yang kasar. “Bahasa Tegal itu cablaka, apa anane(apa adanya). Orang Tegal itu kalau jengkel diucapkan terus terang. Tapi setelah itu, sudah, tidak ada dendam. Makanya, saya biasakan agar upacara seperti ini diupayakan menggunakan bahasa Tegal,” ungkapnya.
Acara ruwat bumi merupakan tradisi yang patut terus dilestarikan karena mengingatkan masyarakat untuk senantiasa merawat alam. Jika alam dijaga, alam juga akan menjaga manusia. “Hikmah dari ruwat bumi agar merawat bumi. Selain dengan Tuhan dan sesama, manusia juga harus menjaga hubungan dengan alam. Tidak satu pun makanan yang tidak berasal dari bumi, begitu juga dengan pakaian,” tandasnya.
Acara ruwat bumi yang digelar rutin tiap tahun diisi dengan arak-arakan gunungan hasil bumi serta sejumlah kesenian daerah. Setelah didoakan, gunung hasil bumi yang berjumlah satu kemudian menjadi rebutan warga.
Farid Firdaus
Slawi
Bupati cumdalang itu memang dikenal nyentrik dan kerap berbicara ceplas-ceplos. Gaya yang sudah melekat dalam kesehariannya sebagai dalang itu tetap dipertahankannya meski sudah menjadi pejabat tertinggi di daerah.
Karakter Enthus itu pun membuat acara-acara resmi pemkab berubah menjadi cair dan tidak kaku. Acara ruwat bumi atau sedekah bumi yang kembali digelar pengelola obyek wisata Purwahamba Indah (Purin) di Desa Purwahamba, Kecamatan Suradai, kemarin menjadi berbeda dari biasanya karena kehadiran Enthus yang belum genap setahun menjadi bupati. Pangkal penyebabnya penggunaan bahasa Tegal dalam seluruh rangkaian acara yang dimulai dengan upacara.
“Wadul, upacararuwat bumi pan dimulai (lapor, upacara ruwat bumi akan dimulai),” ujar pemimpin upacara saat melapor kepada Enthus yang bertindak sebagai pembina upacara. Dengan enteng, Enthus menjawab laporan tersebut, “Terusna. Merad mana(lanjutkan. Pergi sana),” jawaban Enthus ini langsung mengundang tawa seluruh warga yang datang untuk menyaksikan jalannya acara ruwat.
Tak hanya dalam aba-aba upacara, sambutan yang dibacakan Camat Suradadi Tri Guntoro juga seluruhnya menggunakan bahasa Tegal atas instruksi Enthus. Alhasil, warga berulang kali kembali tertawa meskipun kata-kata yang diucapkan sebenarnya sudah biasa didengar dalam keseharian.
“Acara ruwat lemah tujuane nggo syukur akeh-akehe karo gusti Allah sing wis ngei alam seisine. Selain kuwe, nggo nguringuri budaya, terus menarik wisatawan lokal mbe internasional. Terus eben cahcah enom aja dolan sing ora-ora ning Purin. (Acara ruwat bumi bertujuan untuk mengucap syukur sebesar-sebesarnya kepada Allah yang sudah memberikan alam dan seisinya. Selain itu, untuk menarik wisatawan lokal dan internasional. Juga agar anak-anak muda tidak berbuat negatif di Purin),” papar Tri Guntoro.
Enthus ketika memberi sambutan menyinggung alasan digunakannya bahasa Tegal dalam acara. Dia menilai bahasa Tegal merupakan bahasa ibu yang paling baik sehingga harus terus dilestarikan. “Ada kesan kalau bahasa Tegal adalah bahasa humor. Sebenarnya bahasa Tegal itu bahasa ibu yang paling baik. Karena saat diucapkan membuat tertawa, artinya saat diucapkan itu membuat lega,” ujarnya.
Menurut Enthus, bahasa Tegal menunjukkan karakter orang Tegal yang apa adanya dan akrab satu sama lain. Dia menolak anggapan jika bahasa Tegal itu bahasa yang kasar. “Bahasa Tegal itu cablaka, apa anane(apa adanya). Orang Tegal itu kalau jengkel diucapkan terus terang. Tapi setelah itu, sudah, tidak ada dendam. Makanya, saya biasakan agar upacara seperti ini diupayakan menggunakan bahasa Tegal,” ungkapnya.
Acara ruwat bumi merupakan tradisi yang patut terus dilestarikan karena mengingatkan masyarakat untuk senantiasa merawat alam. Jika alam dijaga, alam juga akan menjaga manusia. “Hikmah dari ruwat bumi agar merawat bumi. Selain dengan Tuhan dan sesama, manusia juga harus menjaga hubungan dengan alam. Tidak satu pun makanan yang tidak berasal dari bumi, begitu juga dengan pakaian,” tandasnya.
Acara ruwat bumi yang digelar rutin tiap tahun diisi dengan arak-arakan gunungan hasil bumi serta sejumlah kesenian daerah. Setelah didoakan, gunung hasil bumi yang berjumlah satu kemudian menjadi rebutan warga.
Farid Firdaus
Slawi
(ars)