Ulama Indonesia yang Menjadi Imam Masjidilharam (Bagian-2/Habis)

Sabtu, 01 November 2014 - 05:00 WIB
Ulama Indonesia yang...
Ulama Indonesia yang Menjadi Imam Masjidilharam (Bagian-2/Habis)
A A A
Selain Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ada nama ulama besar dari Indonesia yang juga pernah menjadi imam Masjidilharam. Dia adalah Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi.

Cerita Pagi bagian kedua ini akan menceritakan “orang istimewa” tersebut. Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (Syekh Nawawi) lahir di Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten, pada 1230 H (1815 M) dan wafat di Makkah pada 25 Syawal 1314 H (1897 M).

Tapi ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada 1316 H (1899 M). Makamnya terletak di pekuburan Ma'la di Makkah. Makam Syekh Nawawi bersebelahan dengan makam anak perempuan Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, Asma binti Abu Bakar As-Shiddiq.

Dia bergelar Al-Bantani karena berasal dari Banten, seorang ulama dan intelektual yang sangat produktif menulis kitab, meliputi bidang-bidang fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadist. Jumlah karyanya mencapai tidak kurang dari 115 kitab.

Syekh Nawawi lahir dengan nama Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi. Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat.

Syekh Nawawi merupakan keturunan dari Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten.

Nasab Syekh Nawawi melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Melalui keturunan Maulana Hasanuddin, yakni Pangeran Suniararas, yang makamnya hanya berjarak 500 meter dari bekas kediamannya di Tanara, nasab Ahlul Bait sampai ke Syekh Nawawi. Ayahnya seorang ulama Banten, Umar bin Arabi, ibunya bernama Zubaedah.

Sejak kecil, Syekh Nawawi memang terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya, sejak umur 5 tahun.

Pertanyaan-pertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung. Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya ke berbagai pesantren di Jawa.

Syekh Nawawi mula-mula mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, kemudian berguru kapada Kyai Sahal, Banten. Setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.

Di usia yang belum mencapai 15 tahun, Syekh Nawawi telah mengajar banyak orang. Sampai kemudian karena karomah (kejadian yang luar biasa yang diberikan Allah kepada hamba yang shaleh dan taat kepada-Nya) yang telah bersinar sebelia itu, Syekh Nawawi mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak.

Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi menunaikan ibadah haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Makkah, seperti Syekh Khatib Al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamid Daghestani, Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Junaid Al-Betawi.

Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh Junaid Al-Betawi dan Syekh Ahmad Dimyati, mereka adalah ulama terkemuka di Makkah.

Melalui ketiga gurunya inilah karakter Syekh Nawawi terbentuk. Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syekh Muhammad Khatib dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Medinah.

Tiga tahun bermukim di Makkah, Syekh Nawawi pulang ke Banten. Sampai di Tanah Air beliau menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Dia melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat.

Gelora jihad pun berkobar. Syekh Nawawi keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja, Pemerintah Belanda membatasi gerak-geriknya.

Dia dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825- 1830 M).

Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa boleh buat Syekh Nawawi terpaksa menyingkir ke Negeri Makkah, tepat ketika perlawanan Pangeran Diponegoro padam pada 1830 M.

Ulama besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia.

Begitu sampai di Makkah, dia segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya. Syekh Nawawi tekun belajar selama 30 tahun, sejak 1830 M hingga 1860 M.

Ketika itu, memang Syekh Nawawi memilih untuk mukim di tanah suci, karena satu dan lain hal untuk menghindari tekanan kaum penjajah Belanda.

Nama Syekh Nawawi mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib ‘Ali, Makkah. Dia mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tapi makin lama, jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia.

Maka jadilah Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.

Namanya semakin terkenal ketika Syekh Nawawi ditunjuk sebagai pengganti imam Masjidilharam, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Sejak itulah, dikenal dengan nama resmi Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi. Artinya Nawawi dari Banten, Jawa. Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama.

Tidak hanya di Kota Makkah dan Madinah saja Syekh Nawawi dikenal, bahkan sampai negeri Mesir. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Mesir adalah negara yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.

Syekh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Makkah.

Di sanalah dia menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal, Belanda pun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui beliau.

Ketika Snouck–yang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama Abdul Ghafur-bertanya, “Mengapa beliau (Syekh Nawawi) tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?”.

Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab, “Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang profesor berbangsa Arab.”

Lalu, kata Snouck lagi, ”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti Anda akan tetapi juga mengajar di sana?”

Syaikh Nawawi menjawab, “Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa."
Dari beberapa pertemuan dengan Syekh Nawawi, Orientalis Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan.

Menurutnya, Syekh Nawawi adalah ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi kepentingan agama dan bangsa.

Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, misalnya KH Hasyim Asyari (pendiri Nahdhatul Ulama), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Khalil Bangkalan, KH Asnawi Kudus, KH Tb Bakrie Purwakarta, KH Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.

Konon, KH Hasyim Asyari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika membaca kitab fiqih Fath Al-Qarîb yang dikarang oleh Syekh Nawawi.

Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati KH Hasyim Asyari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris kitab tersebut diajarkan kepada santri-santrinya.

Syekh Nawawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Sang istri wafat mendahuluinya.

Berkat keahliannya di berbagai bidang, beliau mendapat bermacam-macam gelar. Antara lain yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan.

Kalangan Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai Al-Imam wa Al-Fahm Al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam).

Syekh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar biasa sebagai Al-Sayyid Al-Ulama Al-Hijâz (Tokoh ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut Saudi Arabia. Sementara para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.

Kepakarannya tidak diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syekh Umar Abdul Jabbar dalam kitabnya Al-Durus min Madhi Al-Ta’lim wa Hadlirih bi Al-Masjidil Al-Haram (beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang pendidikan masa kini di Masjidilharam) menyebutkan bahwa Syekh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai lebih dari seratus judul, meliputi berbagai disiplin ilmu.

Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya Syekh Nawawi di antaranya Al-Tsamar Al-Yani’ah syarah Al-Riyadl Al-Badi’ah, Al-Aqd Al-Tsamin syarah Fath Al-Mubin, dan ratusan kitab lainnya.

Karya tafsirnya, Al-Munir, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsir Jalalain, karya Imam Jalaluddin Al-Suyuthi dan Imam Jalaluddin Al-Mahalli yang sangat terkenal itu.

Syekh Nawawi memiliki karomah yang luar biasa, di antaranya pada suatu waktu pernah beliau mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk beliau sebagai lampu, saat dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf (yakni rumah-rumahan di punggung unta), tempat yang dia huni.

Syekh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari kanannya yang digunakan untuk menulis.

Kitab yang kemudian lahir dengan nama Maraqi Al-Ubudiyyah syarah Matan Bidayah Al-Hidayah itu harus dibayarnya dengan cacat pada jari telunjuk kiri. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri Syekh Nawawi itu membawa bekas yang tidak hilang.

Karomah Syekh Nawawi yang lain, juga diperlihatkannya saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta, yakni Masjid Pekojan, Jakarta.

Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah SAW Sayyid Utsman bin Agil bin Yahya Al-Alawi, ulama dari Betawi (sekarang Jakarta), ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi masjid itu adalah Sayyid Utsman sendiri.

Tak ayal, saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsman. Diskusi pun terjadi dengan seru antara mereka berdua.

Sayyid Utsman tetap berpendirian kiblat Masjid Pekojan sudah benar. Sementara Syekh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat harus dibetulkan.

Saat kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syekh Nawawi remaja menarik lengan baju Sayyid Utsman. Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat.

“Lihatlah Sayyid!, itulah Kakbah tempat kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Kakbah itu terlihat amat jelas? Sementara, kiblat masjid ini agak ke kiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Kakbah,” ujar Syekh Nawawi remaja.

Sayyid Utsman termangu. Kakbah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syekh Nawawi remaja memang terlihat jelas.

Sayyid Utsman merasa takjub dan menyadari, remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karomah itu, dimana pun Syekh Nawawi berada, Kakbah tetap terlihat.

Dengan penuh hormat, Sayyid Utsman langsung memeluk tubuh kecil Syekh Nawawi. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.

Keistimewaan lainnya terjadi saat ada penggalian makam Syekh Nawawi. Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali.

Nah
, setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari Pemerintah Arab Saudi untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim.

Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan, seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan, kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikit pun.

Tentu saja, kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan.

Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma’la, Makkah.

Selama 69 tahun mengabdikan dirinya, sebagai guru umat Islam telah memberikan pandangan-pandangan cemerlang atas berbagai masalah umat Islam hingga kini.

Sumber: wikipedia (diolah dari berbagai sumber)
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1654 seconds (0.1#10.140)