Menengok Kampung Gurami di Bantul
A
A
A
BANTUL - Kampung Gurami, begitu sebutan bagi Dusun Kergan, Desa Tirtomulyo, Kabupaten Bantul. Dusun Kergan adalah sebuah wilayah yang letaknya sekitar 5 kilometer (km) dari Pantai Samas.
Dahulu, dusun ini dikenal sebagai dusun tertinggal dengan mayoritas penduduknya suka bermain judi (berjudi). Hampir setiap hari, kala ada kesempatan penduduk laki-laki di dusun ini selalu berjudi.
Ada saja yang dijadikan sebagai media judi. Batu dilempar pun bisa menjadi sarana untuk taruhan. Dan, yang paling sering dilakukan adalah adu jago (ayam jantan) dan judi kartu. Tua dan muda sudah akrab dengan judi, terlebih ketika ada hajatan kelahiran bayi, judinya bisa dilakukan tiga hari tiga malam.
"Dulu itu, melinjo ditata di atas bilah bambu terus dilempar pakai melinjo aja bisa dijadikan ajang taruhan," tutur Sunarto (74).
Namun, perlahan predikat dan kebiasaan berjudi tersebut mulai berkurang. Pascagempa, kira-kira tahun 2007/2008, di saat ekonomi di Kabupaten Bantul terpuruk akibat imbas bencana alam yang memporak-porandakan seluruh Bantul, kebiasaan berjudi tersebut juga semakin berkurang.
Tahun 2007/2008, beberapa penduduk dusun ini mulai merintis usaha yang sebelumnya tidak pernah ada dan tidak pernah mereka pikirkan. Mereka mulai merintis budi daya ikan, khususnya ikan gurami untuk meningkatkan perekonomian atau sekadar memenuhi kebutuhan lauk-pauk mereka.
Salah satu perintis "Kampung Gurami" di Kergan, Bantul, Sunarto, mengatakan, berawal dari segelintir orang tersebut, akhirnya mampu membuka mata dan pikiran warga sekitar. Kini, Kergan dikenal sebagai Kampung Gurami, sebuah tempat budi daya ikan yang digunakan untuk meningkatkan perekonomian warga setempat.
Sunarto bercerita, awalnya pada 2008 hanya enam orang kepala keluarga yang membudidayakan ikan gurami dengan cara tradisional yakni mengeruk tanah dijadikan kolam. Namun, saat ini setidaknya ada 70 persen dari sekitar 150 KK di Kergan yang mengembangkan kolam-kolam untuk budi daya ikan terutama gurami.
Kini, setidaknya ada 272 kolam di seluruh penjuru Dusun Kergan. Lahan-lahan marginal dan pekarangan rumah milik warga yang dulu tak banyak dimanfaatkan oleh pemiliknya, kini banyak disulap menjadi kolam-kolam ikan untuk budi daya beberapa jenis mulai dari nila, lele, atau gurami.
Yang menarik, kolam di dusun ini tak sekadar kolam dengan kedalaman tertentu. Kolam yang mereka buat justru berada di atas permukaan tanah. Untuk menahan air supaya tidak lari, mereka menggunakan terpal.
"Teknologi yang belum dikembangkan di daerah lain mungkin adalah di bawah terpal kami beri sekam padi," jelasnya.
Ya, sekam padi ini sengaja mereka taruh di bawah dan di sela-sela sekat terpal untuk menjaga kehangatan suhu air kolam. Jika kolam yang dibuat dengan mengeruk tanah kedalaman tertentu biasanya bersuhu dingin, di kolam ini suhunya tetap hangat kendati musim kemarau dengan tingkat suhu terendah sekalipun.
"Untuk bisa berkembang sampai seperti sekarang ini memang butuh waktu, mulai dari melihat kolam tetangga terlebih dulu, dan setelah terlihat hasilnya kemudian tertarik mengembangkan kolam di lahan sendiri," katanya.
Menurut dia, masyarakat Kergan yang mengatasnamakan kelompok "Minomulyo" tersebut saat ini telah mengembangkan kolam lele, bukan hanya kolam gurami. Namun, ada kelompok yang fokus pada pengembangan gurami untuk memenuhi permintaan pasar maupun tempat kuliner.
Untuk sekali panen, butuh waktu sekitar tiga bulan setiap kolam dengan tebaran sekitar 400 bibit gurami. Hasilnya, sekitar tiga kuintal ikan yang dijual dengan harga ke pengepul sebesar Rp26 ribu per kilogram.
"Yang menjadi keunggulan di sini adalah kebersamaan dalam menjual panenan. Misalnya warga wilayah ini dapat berapa, kemudian wilayah lain berapa itu digabung untuk dijual secara bersama dan keuntungan dibagi," katanya.
Bahkan, kata dia sampai saat ini "Kampung Gurami" sering mendapat pesanan untuk memenuhi permintaan gurami dari warung kuliner ikan, serta jejaring di wilayah Kulon Progo (DIY) dan Jakarta. Bahkan, pesanan tersebut jauh di atas kemampuan produksi mereka selama ini.
"Kami itu dapat pesanan seminggu satu ton, tetapi kami belum mampu."
Dahulu, dusun ini dikenal sebagai dusun tertinggal dengan mayoritas penduduknya suka bermain judi (berjudi). Hampir setiap hari, kala ada kesempatan penduduk laki-laki di dusun ini selalu berjudi.
Ada saja yang dijadikan sebagai media judi. Batu dilempar pun bisa menjadi sarana untuk taruhan. Dan, yang paling sering dilakukan adalah adu jago (ayam jantan) dan judi kartu. Tua dan muda sudah akrab dengan judi, terlebih ketika ada hajatan kelahiran bayi, judinya bisa dilakukan tiga hari tiga malam.
"Dulu itu, melinjo ditata di atas bilah bambu terus dilempar pakai melinjo aja bisa dijadikan ajang taruhan," tutur Sunarto (74).
Namun, perlahan predikat dan kebiasaan berjudi tersebut mulai berkurang. Pascagempa, kira-kira tahun 2007/2008, di saat ekonomi di Kabupaten Bantul terpuruk akibat imbas bencana alam yang memporak-porandakan seluruh Bantul, kebiasaan berjudi tersebut juga semakin berkurang.
Tahun 2007/2008, beberapa penduduk dusun ini mulai merintis usaha yang sebelumnya tidak pernah ada dan tidak pernah mereka pikirkan. Mereka mulai merintis budi daya ikan, khususnya ikan gurami untuk meningkatkan perekonomian atau sekadar memenuhi kebutuhan lauk-pauk mereka.
Salah satu perintis "Kampung Gurami" di Kergan, Bantul, Sunarto, mengatakan, berawal dari segelintir orang tersebut, akhirnya mampu membuka mata dan pikiran warga sekitar. Kini, Kergan dikenal sebagai Kampung Gurami, sebuah tempat budi daya ikan yang digunakan untuk meningkatkan perekonomian warga setempat.
Sunarto bercerita, awalnya pada 2008 hanya enam orang kepala keluarga yang membudidayakan ikan gurami dengan cara tradisional yakni mengeruk tanah dijadikan kolam. Namun, saat ini setidaknya ada 70 persen dari sekitar 150 KK di Kergan yang mengembangkan kolam-kolam untuk budi daya ikan terutama gurami.
Kini, setidaknya ada 272 kolam di seluruh penjuru Dusun Kergan. Lahan-lahan marginal dan pekarangan rumah milik warga yang dulu tak banyak dimanfaatkan oleh pemiliknya, kini banyak disulap menjadi kolam-kolam ikan untuk budi daya beberapa jenis mulai dari nila, lele, atau gurami.
Yang menarik, kolam di dusun ini tak sekadar kolam dengan kedalaman tertentu. Kolam yang mereka buat justru berada di atas permukaan tanah. Untuk menahan air supaya tidak lari, mereka menggunakan terpal.
"Teknologi yang belum dikembangkan di daerah lain mungkin adalah di bawah terpal kami beri sekam padi," jelasnya.
Ya, sekam padi ini sengaja mereka taruh di bawah dan di sela-sela sekat terpal untuk menjaga kehangatan suhu air kolam. Jika kolam yang dibuat dengan mengeruk tanah kedalaman tertentu biasanya bersuhu dingin, di kolam ini suhunya tetap hangat kendati musim kemarau dengan tingkat suhu terendah sekalipun.
"Untuk bisa berkembang sampai seperti sekarang ini memang butuh waktu, mulai dari melihat kolam tetangga terlebih dulu, dan setelah terlihat hasilnya kemudian tertarik mengembangkan kolam di lahan sendiri," katanya.
Menurut dia, masyarakat Kergan yang mengatasnamakan kelompok "Minomulyo" tersebut saat ini telah mengembangkan kolam lele, bukan hanya kolam gurami. Namun, ada kelompok yang fokus pada pengembangan gurami untuk memenuhi permintaan pasar maupun tempat kuliner.
Untuk sekali panen, butuh waktu sekitar tiga bulan setiap kolam dengan tebaran sekitar 400 bibit gurami. Hasilnya, sekitar tiga kuintal ikan yang dijual dengan harga ke pengepul sebesar Rp26 ribu per kilogram.
"Yang menjadi keunggulan di sini adalah kebersamaan dalam menjual panenan. Misalnya warga wilayah ini dapat berapa, kemudian wilayah lain berapa itu digabung untuk dijual secara bersama dan keuntungan dibagi," katanya.
Bahkan, kata dia sampai saat ini "Kampung Gurami" sering mendapat pesanan untuk memenuhi permintaan gurami dari warung kuliner ikan, serta jejaring di wilayah Kulon Progo (DIY) dan Jakarta. Bahkan, pesanan tersebut jauh di atas kemampuan produksi mereka selama ini.
"Kami itu dapat pesanan seminggu satu ton, tetapi kami belum mampu."
(zik)