Cerita dari Blok Roda, Pekerjaan Bebuyutan Tak Lagi Diminati
A
A
A
BANDUNG - Matahari bersinar terik seakan ingin membakar bumi. Di sudut Jalan Kopo Sayati, ada sebuah tempat yang bernama Blok Roda, yang dimana hampir seluruh kepala keluarga di sana bekerja menjadi kusir delman secara turun-temurun (bebuyutan).
Penamaan delman sesuai dengan nama orang yang mengenalkannya yaitu Charles Theodore Deeleman, seorang litografer dan insinyur pada masa Hindia Belanda, penamaan delman pun berbagai macam di pelosok indonesia, seperti Keretek (Jawa Barat), Andong (Yogyakarta, Solo, Klaten), Bendi (Minangkabau), Cimodo (Lombok), Sado (Jakarta)
Tehitung ada sebelas Keretek atau delman terparkir membelah Jalan Manglid, RW 10, Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung .
Dengan santun seorang kusir menghampiri KORAN SINDO yang saat itu sudah sampai di Blok Roda.
Pembicaran pun berlanjut dengan suasana santai di warung kopi, dengan menghisap rokok kreteknya dalam-dalam Suhendar, (38) menjelaskan kalau profesinya sebagai kusir delman merupakan profesi yang diturunkan dari bapaknya, yang juga diturunkan terus dari generasi sebelumnya.
Hampir sekitar 20 orang kepala keluarga di daerah Blok Roda tersebut masih menjadi kusir, kesemuanya terbiasa menjalin kerjasama dalam merawat kuda dan delman. Keahlian mengurus kuda dan delman juga diajarkan secara turun temurun, di antaranya teknik memijit kuda, dan cara merawat dan mengendalikan delman.
Dalam sehari, delman yang bisa mengangkut sampai lima orang ini mangkal di pintu masuk Taman Kopo Indah, dengan hasil Rp45.000 per hari, dinilai sudah cukup untuk biaya hidup.
Biasanya mereka mulai mangkal jam tiga dini hari, karena mulai ramai yang mau ke pasar, sedang hari minggu kereta kuda yang beroda empat dibawa ke kebun binatang. Maklum kereta kuda yang beroda empat memiliki perawatan yang lebih dibanding delman yang biasa.
Delman beroda dua perawatannya dicuci dan diganti kayu jika ada yang patah atau keropos, sedangkan kereta kuda yang beroda empat memiliki roda dari kayu sehingga lebih rumit merawatnya, dan dengan adanya gear ditengah badan kereta maka harus diperhatikan stempetnya.
Harga delman beragam dimulai dari Rp5 juta sampai dengan Rp3 juta, dengan bahan dari kayu jati sampai dengan kayu nangka, sedang harga kuda sekarang juga beragam, dari seharga Rp10 juta sampai dengan harga Rp5 juta dengan usia minimal lima tahun dan sudah sanggup mengangkut delman.
Mengurus kuda juga diajarkan secara temurun, dengan teknik memijit setiap sore, kuda juga harus dimandikan setiap hari dan air hangat bila kehujanan, rumput yang harus disiapkan sekarung perhari kadang harus membeli karena sudah sulit menemukan rumput.
Belum legi pemilik delmam juga harus menamba pakan kudanya dengan bekakatul sebanyak 2 kg perhari atau bisa juga ampas aci. ”Kalau sepatu kuda setiap dua minggu diganti,” ujar Suhendar menjelaskan.
Dengan kemajuan jaman memang sudah tidak dapat dipungkiri kalau keberadaan delman sudah mulai ditinggalkan.
Meski pekerjaan ini warisan bebuyutan, namun Suhendar berkeinginan anaknya tidak mengikuti jejaknya lagi menjadi kusir, lantaran pelerjaan ini dinilai tidak menjanjikan “Karunya kang, cape,” ucapya.
Penamaan delman sesuai dengan nama orang yang mengenalkannya yaitu Charles Theodore Deeleman, seorang litografer dan insinyur pada masa Hindia Belanda, penamaan delman pun berbagai macam di pelosok indonesia, seperti Keretek (Jawa Barat), Andong (Yogyakarta, Solo, Klaten), Bendi (Minangkabau), Cimodo (Lombok), Sado (Jakarta)
Tehitung ada sebelas Keretek atau delman terparkir membelah Jalan Manglid, RW 10, Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung .
Dengan santun seorang kusir menghampiri KORAN SINDO yang saat itu sudah sampai di Blok Roda.
Pembicaran pun berlanjut dengan suasana santai di warung kopi, dengan menghisap rokok kreteknya dalam-dalam Suhendar, (38) menjelaskan kalau profesinya sebagai kusir delman merupakan profesi yang diturunkan dari bapaknya, yang juga diturunkan terus dari generasi sebelumnya.
Hampir sekitar 20 orang kepala keluarga di daerah Blok Roda tersebut masih menjadi kusir, kesemuanya terbiasa menjalin kerjasama dalam merawat kuda dan delman. Keahlian mengurus kuda dan delman juga diajarkan secara turun temurun, di antaranya teknik memijit kuda, dan cara merawat dan mengendalikan delman.
Dalam sehari, delman yang bisa mengangkut sampai lima orang ini mangkal di pintu masuk Taman Kopo Indah, dengan hasil Rp45.000 per hari, dinilai sudah cukup untuk biaya hidup.
Biasanya mereka mulai mangkal jam tiga dini hari, karena mulai ramai yang mau ke pasar, sedang hari minggu kereta kuda yang beroda empat dibawa ke kebun binatang. Maklum kereta kuda yang beroda empat memiliki perawatan yang lebih dibanding delman yang biasa.
Delman beroda dua perawatannya dicuci dan diganti kayu jika ada yang patah atau keropos, sedangkan kereta kuda yang beroda empat memiliki roda dari kayu sehingga lebih rumit merawatnya, dan dengan adanya gear ditengah badan kereta maka harus diperhatikan stempetnya.
Harga delman beragam dimulai dari Rp5 juta sampai dengan Rp3 juta, dengan bahan dari kayu jati sampai dengan kayu nangka, sedang harga kuda sekarang juga beragam, dari seharga Rp10 juta sampai dengan harga Rp5 juta dengan usia minimal lima tahun dan sudah sanggup mengangkut delman.
Mengurus kuda juga diajarkan secara temurun, dengan teknik memijit setiap sore, kuda juga harus dimandikan setiap hari dan air hangat bila kehujanan, rumput yang harus disiapkan sekarung perhari kadang harus membeli karena sudah sulit menemukan rumput.
Belum legi pemilik delmam juga harus menamba pakan kudanya dengan bekakatul sebanyak 2 kg perhari atau bisa juga ampas aci. ”Kalau sepatu kuda setiap dua minggu diganti,” ujar Suhendar menjelaskan.
Dengan kemajuan jaman memang sudah tidak dapat dipungkiri kalau keberadaan delman sudah mulai ditinggalkan.
Meski pekerjaan ini warisan bebuyutan, namun Suhendar berkeinginan anaknya tidak mengikuti jejaknya lagi menjadi kusir, lantaran pelerjaan ini dinilai tidak menjanjikan “Karunya kang, cape,” ucapya.
(ilo)