Mengenal Batu Bersejarah di Pantai Malalayang

Minggu, 07 September 2014 - 05:05 WIB
Mengenal Batu Bersejarah di Pantai Malalayang
Mengenal Batu Bersejarah di Pantai Malalayang
A A A
KOTA Manado, memiliki beberapa peninggalan purbakala, salah satunya batu bersejarah di Pantai Malalayang.

Cerita Pagi kali ini mencoba mengulas mengenai kisah di balik Batu Irana, yang dalam buku Potensi dan Peluang Investasi Kota Manado ditulis Batu Lrana.

Batu Irana atau batu bekas dua telapak kaki leluhur Minahasa, yaitu Opo Posumah atau Dotu Kaburoi, hingga saat ini masih berbekas di pesisir Pantai Malalayang, Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut).

Menurut cerita warga setempat, sebenarnya ada tiga batu. Dua batu lainnya adalah tempat duduk dan bersandar, sedangkan dua batu lainnya adalah tempat kaki dari dua orang dotu/leluhur Bantik, anak suku Minahasa.

"Nama kedua dotu tersebut yakni Dotu Tumampasa dari Kalrasey (Kalasey) dan Dotu Kaburoi dari Minanga Malalayang dengan tugas sebagai penjaga perbatasan (pantai) dari serangan 'seke' atau musuh yang datang dari darat dan 'sedong' musuh yang datang dari laut," ujar Erna Bempa, warga Malalayang saat ditemui sembari menunjuk batu yang ada bekas kaki itu.

Saat ini, kata dia, Batu Irana tinggal satu batu dengan tanda dua telapak kaki dari Dotu Kaburoi. Dua batu lain keberadaannya sudah tidak diketahui.

Konon, kedua dotu ini sering duduk bercerita dan diskusi di batu tersebut, di samping tugas utamanya adalah menjaga perbatasan.

"Menurut cerita orang Minahasa Suku Tombulu, jauh sebelum Bantik menempati lokasi Minanga Malalayang, lokasi ini disebut 'Winereyan', asal kata Wirey yang berarti tempat menjemur baju dari orang-orang Warembungan-Sea," jelas ibu lima anak tersebut.

Suatu ketika, lanjut dia mengisahkan, Opo Posumah berjalan-jalan di tepi pantai dan melihat orang-orang yang sedang 'Mangasin' (membuat garam di tepi pantai, sekitar Pantai Sario).

"Yang terasa asing bagi Opo Posumah, menurut cerita yang saya dengar dari mulut ke mulut, termasuk kisah ini, nenek buyut saya pernah menceritakannya, saat itu Opo Posumah merasa ada yang aneh. Pasalnya orang yang dilihatnya di sekitar Pantai Sario itu, warna kulitnya berbeda dengan orang-orang yang sebelumnya ia pernah jumpai," ujarnya.

Merasa penasaran, Opo Posumah menyapa orang-orang tersebut. Ternyata, mereka berasal dari pulau seberang yaitu daerah Siau-Sanger.

Rasa ingin tahu lebih dalam, mereka itu datang dari mana, maka Opo Posumah memanggil teman yang bernama Opo Sarayar (kata Sarayar dari nama daun yang lebar). Opo Sarayar dikenal sebagai opo yang jago di laut atau raja laut.

Ketika orang-orang Siau-Sanger ini akan pulang, kata dia, bertanyalah Opo Posumah. "Dengan apa kalian datang ke sini," tanyanya.

Orang Siau-Sanger itu menjawab, dengan perahu yang kebetulan ditambat jauh di tengah laut (depan Pulau Manado Tua).

Selanjutnya, ketika orang-orang Siau-Sanger itu menaiki perahu, sekonyong-konyong Opo Posumah melompat dengan menancapkan kakinya di atas batu sebagai tumpuan, dan mendaratlah Opo Posumah di perahu orang Siau-Sanger tersebut.

"Telapak kedua kaki tersebut kemudian berbekas, dan hingga saat ini masih ada di sini," terangnya didampingi anak bungsunya itu, Naila.

Beberapa warga sekitar lainnya saat ditanyai membenarkan hal tersebut. "Memang betul, itu adalah telapak kaki leluhur kami. Sayangnya batu tersebut tidak dibuatkan pagar atau pembatas. Pasalnya bukan tidak mungkin, jika hanya dibiarkan begitu, bisa-bisa batu itu hilang atau ada yang pecahkan," ujar Markus Moningka, yang mengaku memiliki lapak di kawasan Sabua Bulu (tempat kuliner) Malalayang.

Adanya batu tersebut, kata Moningka, adalah bukti sejarah yang harus dijaga dan dipertahankan. "Cerita ini menandai hubungan Minahasa dan Siau-Sanger khususnya dengan adanya cerita rakyat Sanger, yakni Raja Lokonbanua," kata Moningka.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6328 seconds (0.1#10.140)
pixels