Mengingat Kembali Sejarah Raja Ibadat
A
A
A
RAJA Ibadat adalah salah satu dari Rajo Tigo Selo, institusi tertinggi kerajaan Pagaruyung yang dalam tambo adat disebut Limbago Rajo. Bagaimana sosok dan kiprah Raja Ibadat?
Sebelumnya, Cerita Pagi telah mengulas tentang Rajo Tigo Selo yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat. Hari ini, Cerita Pagi khusus mengulas tentang Raja Ibadat. Bicara tentang Raja Ibadat, ingatan kolektif orang Minang akan tertuju pada lembaran sejarah triumvirat yang memerintah di Minangkabau. Dalam lembaran sejarah Minangkabau itu, mereka dikenal sebagai Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo, dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus.
Kepada Sindonews.com, pemerhati sejarah Fikrul Hanif mengatakan, Raja Ibadat adalah sosok pemegang hukum agama, orang yang dituakan, dan tempat para penghulu dan tuan kadi bertanya atau mendamaikan sengketa dan menyelesaikan konflik dalam masyarakat. Keberadaan Raja Ibadat tidak bisa dipisahkan dari struktur genealoginya sebagai keturunan langsung dari Raja Adityawarman, pendiri Kerajaan Minangkabau. Wilayah kekuasaannya di Sumpur Kudus.
Masyarakat Sumpur Kudus meyakini oral history yang diperoleh secara turun-temurun bahwa setelah dinobatkan menjadi raja pada 1347, Adityawarman meninggalkan Dharmasraya menuju pedalaman Minangkabau beserta istrinya dengan mengikuti hulu Batanghari hingga Batang Kawas (Sinamar). Di Kumanis, Adityawarman diterima dengan baik oleh tiga Ninik (tetua) dan empat Ninik di Tanjung Bonai Aur, serta Raja Sekutu di Sumpur Kudus. Adityawarman kemudian mendirikan kerajaan pertama di Tanjung Alam Nagari Kumanis.
"Hubungan genealogi antara Adityawarman dengan Raja Ibadat telah dimulai ketika Adityawarman menikahi seorang putri asal Sumpur Kudus, guna mempererat hubungan dengan daerah itu. Putri itu bernama Puti Pinang Masak yang kemudian melahirkan keturunan Raja Ibadat," kata Fikrul yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh.
Wujud dari kekuasaan seorang raja Minangkabau dilukiskan dalam pepatah adat "Luhak ba penghulu, rantau Barajo". Maksud dari pepatah ini adalah di kawasan luhak yang berkuasa adalah penghulu, sedangkan di rantau dikuasakan pada raja kecil. Pepatah ini rupanya berlaku untuk Raja Ibadat. Bedanya, adat istiadat dan kekuasaan penghulu tidak berlaku dalam perkampungan raja. Raja Ibadat yang mendiami istana Kampung Dalam, tidak terikat dengan adat istiadat di Sumpur Kudus. Sumpur Kudus dikenal sebagai Mekkah Darek (Mekkah Darat), ketika Rajo Pandito III (Raja Ibadat) telah mengikuti ajakan Syekh Ibrahim untuk memeluk agama Islam.
Rusli Amran dalam buku "Sumatra Barat hingga Plakat Panjang" menjelaskan, menurut catatan Van Bezel, pada abad ke-16 secara bertahap keluarga kerajaan Sumpur Kudus telah menganut agama Islam. Sehingga, Van Bezel tidak heran jika Mekkah Darek melekat pada daerah pertama penganut agama Islam ini.
Setelah raja memeluk agama Islam, seluruh masyarakat Sumpur Kudus mengikutinya. Tepat di Sungai Langsat, Syekh Ibrahim dan Rajo Pandito III mengambil sumpah masyarakat Sumpur Kudus. Peristiwa pengambilan sumpah (Sumpah Satie) ini terjadi tahun 1507. Salah satu isi dari perjanjian itu adalah rakyat Sumpur Kudus berjanji tidak akan pindah agama (murtad). Bila mereka melanggar, kutukan bakal menimpa Nagari Sumpur Kudus.
Adapun Raja Ibadat yang memerintah setelah Rajo Pandito III adalah Sultan Samiek (1543), Sultan Alif Khalifatullah (1641-1680), mempunyai kekuasaan sampai ke Cerenti Indragiri Hulu dan daerah sekitar Rantau Minang "nan kurang aso duo puluah" yakni Teluk Kuantan dan sekitarnya. Setelah Sultan Alif meninggal, ia digantikan oleh Sultan Sembahyang II, Sultan Sembahyang III, dan terakhir Sultan Pandak. Pada masa pemerintahan Sultan Pandak, seluruh wilayah Minangkabau sudah menerapkan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah.
Masa ini bertepatan pasca peristiwa Paderi dan perjanjian Bukit Marapalam. Keadaan Nagari Sumpur Kudus pada akhir abad ke-19 tampak pada pepatah "Perahu bakemudi Bakain Baselendang (perahu berkemudi berkain berselendang), Penghulu dahulu baru bamonti (penghulu dulu baru bermanti), Bamalin dulu baru badubalang" (bermalin dulu baru berdubalang). Maksudnya adalah, putusan diambil dari tingkat paling rendah yakni penghulu, lalu manti, dan terakhir dubalang.
Sultan Pandak merupakan raja terakhir yang menjabat Raja Ibadat. Ketika ia wafat pada tahun 1879, tidak seorang pun yang patut dinobatkan menjadi raja. Syarat seorang Raja Ibadat adalah ayahnya keturunan raja dan ibunya keturunan puti. Bila salah satu syarat itu tidak terpenuhi, seseorang tidak diakui sebagai Raja Ibadat. Selain itu, pemerintah kolonial Belanda sudah menerapkan sistem birokrasi, sehingga kedudukan Raja Ibadat sudah berada di bawah struktur pemerintahannya.
Lalu, kenapa Raja Ibadat dan Sumpur Kudus memiliki makna tersendiri dalam ingatan kolektif orang Minang? Hal itu disebabkan lembaran historis Minangkabau telah menunjukkan bahwa Nagari Sumpur Kudus merupakan wilayah paling awal menerima Islam, dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Sumatera Barat. Ada yang menyatakan abad ke-16, ada juga yang menegaskan awal abad 17.
Sebelumnya, Cerita Pagi telah mengulas tentang Rajo Tigo Selo yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat. Hari ini, Cerita Pagi khusus mengulas tentang Raja Ibadat. Bicara tentang Raja Ibadat, ingatan kolektif orang Minang akan tertuju pada lembaran sejarah triumvirat yang memerintah di Minangkabau. Dalam lembaran sejarah Minangkabau itu, mereka dikenal sebagai Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo, dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus.
Kepada Sindonews.com, pemerhati sejarah Fikrul Hanif mengatakan, Raja Ibadat adalah sosok pemegang hukum agama, orang yang dituakan, dan tempat para penghulu dan tuan kadi bertanya atau mendamaikan sengketa dan menyelesaikan konflik dalam masyarakat. Keberadaan Raja Ibadat tidak bisa dipisahkan dari struktur genealoginya sebagai keturunan langsung dari Raja Adityawarman, pendiri Kerajaan Minangkabau. Wilayah kekuasaannya di Sumpur Kudus.
Masyarakat Sumpur Kudus meyakini oral history yang diperoleh secara turun-temurun bahwa setelah dinobatkan menjadi raja pada 1347, Adityawarman meninggalkan Dharmasraya menuju pedalaman Minangkabau beserta istrinya dengan mengikuti hulu Batanghari hingga Batang Kawas (Sinamar). Di Kumanis, Adityawarman diterima dengan baik oleh tiga Ninik (tetua) dan empat Ninik di Tanjung Bonai Aur, serta Raja Sekutu di Sumpur Kudus. Adityawarman kemudian mendirikan kerajaan pertama di Tanjung Alam Nagari Kumanis.
"Hubungan genealogi antara Adityawarman dengan Raja Ibadat telah dimulai ketika Adityawarman menikahi seorang putri asal Sumpur Kudus, guna mempererat hubungan dengan daerah itu. Putri itu bernama Puti Pinang Masak yang kemudian melahirkan keturunan Raja Ibadat," kata Fikrul yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh.
Wujud dari kekuasaan seorang raja Minangkabau dilukiskan dalam pepatah adat "Luhak ba penghulu, rantau Barajo". Maksud dari pepatah ini adalah di kawasan luhak yang berkuasa adalah penghulu, sedangkan di rantau dikuasakan pada raja kecil. Pepatah ini rupanya berlaku untuk Raja Ibadat. Bedanya, adat istiadat dan kekuasaan penghulu tidak berlaku dalam perkampungan raja. Raja Ibadat yang mendiami istana Kampung Dalam, tidak terikat dengan adat istiadat di Sumpur Kudus. Sumpur Kudus dikenal sebagai Mekkah Darek (Mekkah Darat), ketika Rajo Pandito III (Raja Ibadat) telah mengikuti ajakan Syekh Ibrahim untuk memeluk agama Islam.
Rusli Amran dalam buku "Sumatra Barat hingga Plakat Panjang" menjelaskan, menurut catatan Van Bezel, pada abad ke-16 secara bertahap keluarga kerajaan Sumpur Kudus telah menganut agama Islam. Sehingga, Van Bezel tidak heran jika Mekkah Darek melekat pada daerah pertama penganut agama Islam ini.
Setelah raja memeluk agama Islam, seluruh masyarakat Sumpur Kudus mengikutinya. Tepat di Sungai Langsat, Syekh Ibrahim dan Rajo Pandito III mengambil sumpah masyarakat Sumpur Kudus. Peristiwa pengambilan sumpah (Sumpah Satie) ini terjadi tahun 1507. Salah satu isi dari perjanjian itu adalah rakyat Sumpur Kudus berjanji tidak akan pindah agama (murtad). Bila mereka melanggar, kutukan bakal menimpa Nagari Sumpur Kudus.
Adapun Raja Ibadat yang memerintah setelah Rajo Pandito III adalah Sultan Samiek (1543), Sultan Alif Khalifatullah (1641-1680), mempunyai kekuasaan sampai ke Cerenti Indragiri Hulu dan daerah sekitar Rantau Minang "nan kurang aso duo puluah" yakni Teluk Kuantan dan sekitarnya. Setelah Sultan Alif meninggal, ia digantikan oleh Sultan Sembahyang II, Sultan Sembahyang III, dan terakhir Sultan Pandak. Pada masa pemerintahan Sultan Pandak, seluruh wilayah Minangkabau sudah menerapkan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah.
Masa ini bertepatan pasca peristiwa Paderi dan perjanjian Bukit Marapalam. Keadaan Nagari Sumpur Kudus pada akhir abad ke-19 tampak pada pepatah "Perahu bakemudi Bakain Baselendang (perahu berkemudi berkain berselendang), Penghulu dahulu baru bamonti (penghulu dulu baru bermanti), Bamalin dulu baru badubalang" (bermalin dulu baru berdubalang). Maksudnya adalah, putusan diambil dari tingkat paling rendah yakni penghulu, lalu manti, dan terakhir dubalang.
Sultan Pandak merupakan raja terakhir yang menjabat Raja Ibadat. Ketika ia wafat pada tahun 1879, tidak seorang pun yang patut dinobatkan menjadi raja. Syarat seorang Raja Ibadat adalah ayahnya keturunan raja dan ibunya keturunan puti. Bila salah satu syarat itu tidak terpenuhi, seseorang tidak diakui sebagai Raja Ibadat. Selain itu, pemerintah kolonial Belanda sudah menerapkan sistem birokrasi, sehingga kedudukan Raja Ibadat sudah berada di bawah struktur pemerintahannya.
Lalu, kenapa Raja Ibadat dan Sumpur Kudus memiliki makna tersendiri dalam ingatan kolektif orang Minang? Hal itu disebabkan lembaran historis Minangkabau telah menunjukkan bahwa Nagari Sumpur Kudus merupakan wilayah paling awal menerima Islam, dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Sumatera Barat. Ada yang menyatakan abad ke-16, ada juga yang menegaskan awal abad 17.
(zik)