Si Pahit Lidah, Antara Mitos dan Temuan Arkeolog
A
A
A
INDONESIA memiliki beragam budaya dan cerita rakyat dari Sabang sampai Merauke. Keunikan budaya Nusantara itu terkadang diikuti dengan mitos yang bahkan menjadi legenda. Cerita Pagi mencoba menelisik sebuah cerita rakyat di Sumatera Selatan (Sumsel).
Bagi pembaca, mungkin pernah mendengar cerita seorang pangeran bernama Serunting yang dipercaya merupakan anak keturunan raksasa yang namanya Putri Tenggang.
Serunting mempunyai kesaktian yang bisa mengutuk apapun menjadi batu, hingga dia dijuluki Si Pahih Lidah.
Kesaktian tokoh suci folklorik itu menjadi salah satu hiasan info populer perihal banyaknya arca batu bertatahkan torehan bentuk manusia dan binatang.
Secara ilmiah, cerita rakyat peninggalan Si Pahit Lidah sebenarnya hanya imbuhan, karena para pakar arkeologi sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini masih terkagum-kagum dan takjub dengan peninggalan budaya masa lampau, yang konon ditaksir sudah ada sejak beratus-ratus tahun silam itu.
Tapi cerita masyarakat Sumsel, arca batu yang bertahtahkan torehan bentuk manusia, bahkan kapal batu di laut, dan sebuah goa merupakan bukti kutukan yang pernah dilakukan Si Pahit Lidah pada zamannya.
Berikut beberapa mitos peninggalan kutukan Si Pahit Lidah di Sumatera Selatan.
Batu Macan
Patung ini terdapat di Kecamatan Pulau Pinang, Desa Pagar Alam Pagun, sudah ada sejak zaman Majapahit pada abad 14. Batu macan ini merupakan simbol sebagai penjaga (terhadap perzinahan dan pertumpahan darah) dari 4 daerah, yaitu: Pagar Gunung, Gumai Ulu, Gumai Lembah dan Gumai Talang.
Menurut Wikipedia berdasarkan keterangan yang diperoleh dari penjaga situs setempat, kisah batu macan terkait dengan legenda Si Pahit Lidah.
Ceritanya pada waktu itu, Si Pahit Lidah sedang berjemur di Batu Penarakan Sumur Tinggi. Pada saat sedang berjemur, Si Pahit Lidah melihat seekor macan betina yang sering menggangu masyarakat desa.
Oleh Si Pahit Lidah, macan tersebut diingatkan agar tidak mengganggu masyarakat desa. Namun, macan tersebut tidak menuruti apa yang disampaikan Si Pahit Lidah. Hingga Si Pahit Lidah murka dan mengutuk macan tersebut menjadi batu. Sampai saat ini patung dua ekor macan itu masih tetap ada.
Anehnya, bukan hanya macan yang menerima kutukkan dari Si Pahit Lidah, wanita berserta anak yang sedang digendongnya turut menjadi batu. (Wanita ini sebelumnya akan diterkam oleh macan).
Menurut cerita wanita tersebut adalah wanita pezinah sedangkan anak yang sedang digendongnya adalah anak hasil perzinahan.
Dari kisah itu, penduduk setempat mempercayai, apabila seseorang diketahui berzinah, maka terdapat hal-hal yang harus dilakukan si pelaku, yakni menyembelih kambing sebagai basoh rumeh (pembersih rumah), dan apabila si wanita mengandung dan melahirkan, maka harus menyembelih kerbau sebagai basoh marge (pembersih lingkungan).
Hanya saja, sebelum kedua hewan tersebut disembelih maka pelaku harus dikucilkan dan tidak boleh bergaul seperti diungsikan di daerah lain atau di pegunungan, dan akan dapat diterima di masyarakat kembali setelah memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut.
Goa Putri
Menurut legenda, dulu tinggallah seorang Putri Balian bersama keluarganya. Suatu saat, Sang Putri mandi di Muara Sungai Semuhun (sungai yang mengalir di dalam goa, bermuara di Sungai Ogan), persis pada pertemuan sungai itu dengan sungai Ogan.
Pada suatu saat Si Pahit Lidah melihat Sang Putri di sungai hendak mandi, Si Pahit Lidah mencoba menegur Putri. Karena tidak dipedulikan oleh Sang Putri, Si Pahit Lidah berguman.
“Sombong benar si Putri ini, diam seperti batu saja,” kutukan itupun mengenai Sang Putri, sehingga serta merta Sang Putri berubah menjadi batu. Itulah batu yang terdapat di Sungai Ogan.
Patung Gajah
Sebuah patung gajah pun menurut mitos juga diyakini kutukan Si Pahit Lidah. Lokasi situs megalitik itu letaknya di Alam Bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di Kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Sebenarnya, secara ilmiah beberapa peneliti telah melakukan penelitiannya terkait temuan beberapa arca dan batu-batu berbentuk manusia dan binatang di Sumsel.
Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk (1921), Th Van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan misteri keberadaan kompleks situs megalitik yang penuh serakan peninggalan arkeologi.
Van der Hoop bahkan tercatat pernah membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar tahun 1930-an tanpa penjelasan rinci. Jika ditinjau secara ilmiah, seluruh peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa pada masa lampau, di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal manusia.
Menurut cerita rakyat Sumsel masih banyak peninggalan legenda Si Pahit Lidah, antara lain lesung, subik, dan batu sirmol. Tapi Cerita Pagi hanya mengutip sebagian yang terkenal di masyarakat.
Sumber: Wikipedia dan berbagai sumber lainnya
Bagi pembaca, mungkin pernah mendengar cerita seorang pangeran bernama Serunting yang dipercaya merupakan anak keturunan raksasa yang namanya Putri Tenggang.
Serunting mempunyai kesaktian yang bisa mengutuk apapun menjadi batu, hingga dia dijuluki Si Pahih Lidah.
Kesaktian tokoh suci folklorik itu menjadi salah satu hiasan info populer perihal banyaknya arca batu bertatahkan torehan bentuk manusia dan binatang.
Secara ilmiah, cerita rakyat peninggalan Si Pahit Lidah sebenarnya hanya imbuhan, karena para pakar arkeologi sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini masih terkagum-kagum dan takjub dengan peninggalan budaya masa lampau, yang konon ditaksir sudah ada sejak beratus-ratus tahun silam itu.
Tapi cerita masyarakat Sumsel, arca batu yang bertahtahkan torehan bentuk manusia, bahkan kapal batu di laut, dan sebuah goa merupakan bukti kutukan yang pernah dilakukan Si Pahit Lidah pada zamannya.
Berikut beberapa mitos peninggalan kutukan Si Pahit Lidah di Sumatera Selatan.
Batu Macan
Patung ini terdapat di Kecamatan Pulau Pinang, Desa Pagar Alam Pagun, sudah ada sejak zaman Majapahit pada abad 14. Batu macan ini merupakan simbol sebagai penjaga (terhadap perzinahan dan pertumpahan darah) dari 4 daerah, yaitu: Pagar Gunung, Gumai Ulu, Gumai Lembah dan Gumai Talang.
Menurut Wikipedia berdasarkan keterangan yang diperoleh dari penjaga situs setempat, kisah batu macan terkait dengan legenda Si Pahit Lidah.
Ceritanya pada waktu itu, Si Pahit Lidah sedang berjemur di Batu Penarakan Sumur Tinggi. Pada saat sedang berjemur, Si Pahit Lidah melihat seekor macan betina yang sering menggangu masyarakat desa.
Oleh Si Pahit Lidah, macan tersebut diingatkan agar tidak mengganggu masyarakat desa. Namun, macan tersebut tidak menuruti apa yang disampaikan Si Pahit Lidah. Hingga Si Pahit Lidah murka dan mengutuk macan tersebut menjadi batu. Sampai saat ini patung dua ekor macan itu masih tetap ada.
Anehnya, bukan hanya macan yang menerima kutukkan dari Si Pahit Lidah, wanita berserta anak yang sedang digendongnya turut menjadi batu. (Wanita ini sebelumnya akan diterkam oleh macan).
Menurut cerita wanita tersebut adalah wanita pezinah sedangkan anak yang sedang digendongnya adalah anak hasil perzinahan.
Dari kisah itu, penduduk setempat mempercayai, apabila seseorang diketahui berzinah, maka terdapat hal-hal yang harus dilakukan si pelaku, yakni menyembelih kambing sebagai basoh rumeh (pembersih rumah), dan apabila si wanita mengandung dan melahirkan, maka harus menyembelih kerbau sebagai basoh marge (pembersih lingkungan).
Hanya saja, sebelum kedua hewan tersebut disembelih maka pelaku harus dikucilkan dan tidak boleh bergaul seperti diungsikan di daerah lain atau di pegunungan, dan akan dapat diterima di masyarakat kembali setelah memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut.
Goa Putri
Menurut legenda, dulu tinggallah seorang Putri Balian bersama keluarganya. Suatu saat, Sang Putri mandi di Muara Sungai Semuhun (sungai yang mengalir di dalam goa, bermuara di Sungai Ogan), persis pada pertemuan sungai itu dengan sungai Ogan.
Pada suatu saat Si Pahit Lidah melihat Sang Putri di sungai hendak mandi, Si Pahit Lidah mencoba menegur Putri. Karena tidak dipedulikan oleh Sang Putri, Si Pahit Lidah berguman.
“Sombong benar si Putri ini, diam seperti batu saja,” kutukan itupun mengenai Sang Putri, sehingga serta merta Sang Putri berubah menjadi batu. Itulah batu yang terdapat di Sungai Ogan.
Patung Gajah
Sebuah patung gajah pun menurut mitos juga diyakini kutukan Si Pahit Lidah. Lokasi situs megalitik itu letaknya di Alam Bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di Kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Sebenarnya, secara ilmiah beberapa peneliti telah melakukan penelitiannya terkait temuan beberapa arca dan batu-batu berbentuk manusia dan binatang di Sumsel.
Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk (1921), Th Van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan misteri keberadaan kompleks situs megalitik yang penuh serakan peninggalan arkeologi.
Van der Hoop bahkan tercatat pernah membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar tahun 1930-an tanpa penjelasan rinci. Jika ditinjau secara ilmiah, seluruh peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa pada masa lampau, di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal manusia.
Menurut cerita rakyat Sumsel masih banyak peninggalan legenda Si Pahit Lidah, antara lain lesung, subik, dan batu sirmol. Tapi Cerita Pagi hanya mengutip sebagian yang terkenal di masyarakat.
Sumber: Wikipedia dan berbagai sumber lainnya
(ilo)