Soekarwo Tegaskan Penutupan Dolly Tidak Melanggar HAM
A
A
A
SURABAYA - Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyatakan penutupan lokalisasi Dolly harus jalan terus. Alasannya, jika dibiarkan ada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh pemerintah kepada warganya.
"Penutupan Dolly justru memperkuat HAM. Karena kehidupan bermartabat adalah HAM. Kalau kita membiarkan seperti itu saya selaku Gubernur melanggar HAM," kata Pakde Karwo, sapaan akrab Soekarwo, di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis (12/6/2014).
Menurutnya, jika Gubernur Jawa Timur tidak mengoordinir bupati/walikota untuk melakukan penutupan lokalisasi, sama halnya melanggar HAM. Karena, tidak ada masyarakat yang bercita-cita ingin hidup dan bekerja di lokalisasi. Masyarakat bercita-cita memiliki hidup yang layak dan bermartabat. Dan, harus difasilitasi oleh pemerintah.
Kata Soekarwo, penutupan lokalisasi Dolly tidak melanggar prinsip-prinsip HAM. "Mereka di situ bukan cita-citanya. Pengin hidup bermartabat kok tidak difasilitasi. Apa pun yang terjadi, penutupan Dolly harus jalan terus," katanya.
Soekarwo menambahkan, pengertian HAM sangat luas. Tidak harus dikaitkan dengan pola pikir HAM yang ekstrem seperti penculikan, pembunuhan, dan kebutuhan ekonomi. "Dan, hidup bermartabat adalah hak penghuni lokalisasi. Pemerintah harus memfasilitasi agar warga hidup bermartabat. Jika tidak ya sama halnya melanggar HAM. Pertanyaannya, apakah menjadi PSK dan mucikari itu masuk kategori hidup layak dan bermartabat," ujarnya.
Ia mencontohkan sebuah putusan Mahkamah Agung (MA) di Belanda yang memberikan denda kepada salah satu wali kota. Kesalahannya adalah ada orang yang berjalan di sebuah trotoar kemudian terperosok dan terluka. "Wali kota di Belanda didenda karena membiarkan orang lain celaka. Dia tidak melindungi hak asasi orang jalan sehingga terperosok karena karena fasilitas trotoarnya rusak. Nah itu contohnya. Jadi HAM itu luas," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menunda penutupan lokalisasi Dolly. Ini menyusul adanya sikap penolakan dari ribuan Pekerja Seks Komersial (PSK), mucikari, dan warga di sekitar lokalisasi di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan itu.
"Kasus Dolly ini berkaitan dengan HAM. Sebab, ini menyangkut hak masyarakat untuk hidup sejahtera. Jika tidak, pemkot sama saja mengabaikan HAM. Maka, pemkot harus menyelesaikan masalah ini dengan baik," kata Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi.
"Penutupan Dolly justru memperkuat HAM. Karena kehidupan bermartabat adalah HAM. Kalau kita membiarkan seperti itu saya selaku Gubernur melanggar HAM," kata Pakde Karwo, sapaan akrab Soekarwo, di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis (12/6/2014).
Menurutnya, jika Gubernur Jawa Timur tidak mengoordinir bupati/walikota untuk melakukan penutupan lokalisasi, sama halnya melanggar HAM. Karena, tidak ada masyarakat yang bercita-cita ingin hidup dan bekerja di lokalisasi. Masyarakat bercita-cita memiliki hidup yang layak dan bermartabat. Dan, harus difasilitasi oleh pemerintah.
Kata Soekarwo, penutupan lokalisasi Dolly tidak melanggar prinsip-prinsip HAM. "Mereka di situ bukan cita-citanya. Pengin hidup bermartabat kok tidak difasilitasi. Apa pun yang terjadi, penutupan Dolly harus jalan terus," katanya.
Soekarwo menambahkan, pengertian HAM sangat luas. Tidak harus dikaitkan dengan pola pikir HAM yang ekstrem seperti penculikan, pembunuhan, dan kebutuhan ekonomi. "Dan, hidup bermartabat adalah hak penghuni lokalisasi. Pemerintah harus memfasilitasi agar warga hidup bermartabat. Jika tidak ya sama halnya melanggar HAM. Pertanyaannya, apakah menjadi PSK dan mucikari itu masuk kategori hidup layak dan bermartabat," ujarnya.
Ia mencontohkan sebuah putusan Mahkamah Agung (MA) di Belanda yang memberikan denda kepada salah satu wali kota. Kesalahannya adalah ada orang yang berjalan di sebuah trotoar kemudian terperosok dan terluka. "Wali kota di Belanda didenda karena membiarkan orang lain celaka. Dia tidak melindungi hak asasi orang jalan sehingga terperosok karena karena fasilitas trotoarnya rusak. Nah itu contohnya. Jadi HAM itu luas," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menunda penutupan lokalisasi Dolly. Ini menyusul adanya sikap penolakan dari ribuan Pekerja Seks Komersial (PSK), mucikari, dan warga di sekitar lokalisasi di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan itu.
"Kasus Dolly ini berkaitan dengan HAM. Sebab, ini menyangkut hak masyarakat untuk hidup sejahtera. Jika tidak, pemkot sama saja mengabaikan HAM. Maka, pemkot harus menyelesaikan masalah ini dengan baik," kata Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi.
(zik)